Surat buat Ade

Pelita Raya, 11 Desember 2011
Buat Ade yang senyap
di
ruang rindu
Salam rindu Ade.

Ketika kutuliskan surat ini, aku sedang berada pada puncak rindu yang bahagia. Betapa tidak, sebelas jam yang lalu aku baru saja mengusaikan pertemuanku denganmu. Dan tidak lagi bermimpi!

Suatu waktu, aku menyukai komentarmu di facebook. Dan memang aku menyukai itu karena menyangkut laki-laki lain yang jelas ingin masuk di kehidupanmu. Aku  memang tak punya hak untuk melarangmu, tapi bagiku itu adalah sebuah cemburu. Maka berbalaslah dengan salam darimu dengan senyum yang lama tak kutemui. Semuanya berawal pada setitik kenangan dan pada akhirnya akan kembali pada kenangan itu. Suatu mantra yang selalu menjadi pembalut rindu yang lalu lalang tak bertuan bagiku.

Kurasa, pertemuan itu masih akan lama. Namun, sabtu subuh itu ternyata lebih cepat. Dan kau ternyata lebih mengerti definisi rindu.

Sabtu sore itu indah bukan? Tepat ketika kita usai membunuh waktu pada dentang jarum jam tiga dengan tiga jam dengan rindu yang menganga selama tiga tahun pula. Kesempurnaan pada angka tiga!
Dengan rokmu yang hijau, sepadan pada kerudungmu yang mungil, lengkap dengan kemeja putihmu, kau telah menjadi tuan pada rindu yang lalu lalang. Memelukku dengan senyum sumringahmu yang masih itu-itu saja! Tak banyak berubah. Ade yang kutemui tiga tahun lalu, masih Ade yang kutemui di sabtu sore yang mengap. Tak banyak berubah reniknya.

Ade,menemuimu di mimpi-mimpiku pada malam yang lembut telah membuatku  berada pada bahagia yang tak berujung. Mendengar kisahmu pada tiap detik yang dibunuh oleh menit dan menit yang dibunuh oleh jam. Aku tak kan pernah menceritakan mimpiku pada yang lain dan tidak juga kau! Biarlah ia menemukanmu pada kisah yang nyata.

Tiap malam, itulah yang berulang. Entah kenapa! Kurasa kau telah tak ada untukku tapi ternyata kau juga sedang menagih janjiku. Dan kita telah bertemu pada kisah yang nyata.

Membaca karya pujangga, penyair dan pesastra memang telah membuat mayoritas perempuan menjadi kebal akan kata-kata cinta yang terlalu manis dan itu juga kau. Tapi maaf, saya juga senang bersastra. Apapun itu, dia akan tetap kutuliskan dengan jari-jari sastra. 

Aku menuliskan rangkaian kata dari hatiku. Karena kurasa hati yang terdalam memang tak akan pernah bisa berbohong, apapun itu. Dan lagi, tak kan pernah ada alasan untuk itu.

Kita telah berada pada akhir tahun dan akhir tahun itu aku menemukanmu. Waktu yang kurasa memang telah membuat kita berada pada tingkat kedewasaan. Berpikirlah bahwa sejak tiga tahun lalu, aku memang masih menyayangimu dan lagi, tak kan pernah ada alasan untuk itu.

Saat ini, aku tidak butuh pengakuan dan pernyataan yang sama darimu. Cukup kau tahu bahwa tiga tahun itu tidak mengubah rasa cinta pertamaku padamu. Mungkin kedengarannya biasa, tapi itulah aku. Sebuah kenangan yang kita tanam hanya terselip pada lipatan zaman namun ia tetap tersimpan rapi.

Maaf, aku telah terlalu banyak ngalor ngidul. Cerita ini mungkin hanya bisa dijadikan cibiran. Tapi, itulah  aku!

Demikian suratku. Hari sudah pagi. Dan pakaianku selama seminggu sudah menunggu! Oh iya, surat-suratmu masih tersimpan rapi di lemari di bawah pakaianku. Mungkin akan menemuimu kembali.

Nih buat jajan