Hari ke-5: Masih tentang petandang pagi

Ketika anak perempuanku satu-satunya meminta ini dan itu, maka sebisaku akan kupenuhi. Bahkan tanpa meminta pun akan kuberikan. Namun, suatu waktu, Kenangan yang telah lama tak kutemui datang menyapa di hari-hariku.


Sekadar menelpon dan mengirim pesan-pesan singkat yang bertanya tentang kabar yang telah lama ia tak ketahui. Aku dan Kenangan telah dipisahkan oleh sebuah jarak dan waktu. Hingga akhirnya, saya memiliki satu-satunya anak perempuan yang kian hari tumbuh menjadi perempuan dewasa.

Jutaan hari telah kulewati berdua dengan anak perempuanku. Kadang, Sepi menyelisik. Ia bicara denganku dalam keadaan yang kosong melompong, tanpa suara tanpa wujud, hanya kami berdua. Dan ini tak pernah diketahui oleh anak perempuanku. Hingga akhirnya, jadilah kami bertiga, aku, anak perempuanku dan Sepi.

Beberapa bulan belakangan ini, Kenangan datang meneror anak perempuanku dan anak perempuanku tidak menyukainya betapapun manisnya janji-janji kebahagiaan.

"Bu, bukankah dari dulu kita cuma berdua? Dan masa-masa itu, kita telah lalui dengan sangat bahagia. Aku bisa membahagiakanmu, bu" ucap anak perempuanku dengan tiga empat bulir air di sudut matanya ketika ia merasakan ketakutan akan kedatangan Kenangan.

Aku hanya bisa diam.

Teror yang Kenangan berikan ke anakku semakin menjadi. Suatu malam yang hujan, ia datang dengan membawa rupa-rupa makanan dari tempat tinggalnya. Ia menyalami anakku, memegang bahunya, seakan Kenangan dan anak perempuanku telah lama kenal. Seakan Kenangan menaruh kasih sayang mendalam ke anakku.

Anak perempuanku sangat keras kepala, turunan dariku. Ia teguh terhadap pendiriannya untuk tidak menerima Kenangan. Padahal, Kenangan bagiku adalah sesuatu yang menyimpan masa-masa paling indah dan selalu memintaku untuk menggantikan Sepi. Ia mau bertiga denganku, aku, anak perempuanku, dan ia, Kenangan. Ia menjanjikan kebahagiaan yang lebih hal ini juga dijanjikan kepada anak perempuanku.

Ketika diminta berkata dengan jujur, maka aku akan bilang bahwa aku mau Kenangan menggantikan Sepi. Dan aku mau kebahagiaan yang lebih. Lantas, pertanyaan terbesar adalah apakah aku harus membiarkan ketakutan anak perempuanku itu menjadi nyata dengan menerima Kenangan? Atau aku harus menghapuskan segala ingatan tentang Kenangan lengkap dengan deretan nomor-nomor teleponnya di ponselku?

"Kau tidak berhak terhadap kehidupanku! Menerima atau menolak kehadiran Kenangan itu adalah hakku. Kau tidak bisa melarangku karena aku yang melahirkanmu!" kalimat yang mungkin suatu waktu akan keluar dari mulutku terhadap kekeraskepalaan anakku dengan tidak mau menerima Kenangan.

Nih buat jajan