Menjadi Kekinian di Novel Akhir Abad 19

Remy Sylado

Kenapa banyak judul foto pakai bahasa Inggris?” kekasih saya menceritakan pertanyaan seorang kurator dalam pameran foto yang dia ikuti. Kiranya pertanyaan ini menohok, sebab, apa iya kosakata bahasa Indonesia terbatas?


Seorang Remy Silado dalam novelnya Malaikat Lereng Tidar (lagi-lagi) membuktikan bahwa kosakata bahasa Indonesia tidaklah terbatas. Jika anda kehabisan kata untuk menyebut “sesudah itu, kemudian daripada itu” ada dua padanan kata yang tidak kalah keren dan digunakan dalam novel setebal 544 halaman. Pemilik nama asli Yapi Panda Abdiel Tambayong makin menobatkan dirinya sebagai munsyi di Malaikat Lereng Tidar (selanjutnya disingkat menjadi MLT), ada banyak suku dengan bahasa berbeda dalam novel ini. Selain menobatkan diri sebagai munsyi di MLT, penulis kelahiran Makassar ini juga menunjukkan kualitasnya sebagai mantan wartawan. Novel ini adalah novel fiksi sejarah yang dilengkapi banyak catatan kaki yang rata-rata rujukannya berkisar pada abad 18, 19, dan 20.

Apalah saya jika harus mengulas tentang seorang Remy Sylado.

Selama 10 ramadan saya menghabiskan novel ini. Percayalah ini adalah novel tebal pertama tercepat yang saya habiskan. Latar belakang waktu dalam ceritanya berada pada akhir abad 19 dan awal abad 20 masih terasa kekinian. Ada beberapa hal yang ternyata tidak berubah dalam kurun waktu 100 tahun di Indonesia.
  1. Kisah cinta jarak jauh. Bahwasanya hubungan sepasang muda mudi secara jarak jauh atau yang lebih hits dengan nama LDR sudah ada sejak perang dunia I berlangsung. Bersyukurlah anak muda zaman sekarang. Walaupun terpisah oleh ruang, jarak, dan waktu mereka masih dapat berhubungan, melalui personal message yang kian hari kian canggih kian intim, dengan fasilitasvideo call. Bayangkan dalam Malaikat Lereng Tidar, ada seorang laki-laki berumur 17 tahun, bernama Jez, meninggalkan Manado menuju Magelang karena ingin menjadi marsose, korps khusus ketentaraan Belanda. Berharap pulang untuk memperistrikan kembang desa di kampungnya. Namun apa daya, Jez terjebak oleh pandangan pertama dengan anak perempuan si empunya kedai minum di daerah tempat dia menempuh pendidikan. Sebulan sebelum keberangkatannya berperang di Aceh dia menikahi wanita tersebut, namanya Mirah. Setelah itu, Jez dan Mirah harus merasakan siksanya menjalani kisah cinta jarak jauh, tanpa telepon, apalagi Line, Whatsapp, dan BBM. Jez hanya bisa mengirim surat singkat yang baru tiba dua bulan kemudian. Pulang-pulang, Jez telah punya anak, namun sayang harus meninggal karena konflik yang membuat saya mengumpat setengah mati ketika membaca novel ini. Barangkali ceritanya harus dibikin pelik supaya cinta yang sejati memiliki arti istimewa bagi anak cucunya kelak.
  1. Aparat korup. Di halaman 430, Remy Sylado menulis puisi 4 baris : polisi bisa jadi sahabat barangkali/jika polisi tidak diperhamba uang/tapi polisi menjadi musuh masyarakat/ketika polisi bisa dibeli oleh uang. Usahlah kita membincangkan hal ini. Karena tivi-tivi kita sudah saban hari membincangkannya, walaupun tidak secara langsung, tapi penonton dapat menilai dengan baik, maka usahlah kita bercuap-cuap disini. Pening.
Jika kamu pernah membaca Namaku Mata Hari, novel pendahulu Malaikat Lereng Tidar, maka kamu tidak akan heran dengan pertemuan Jez dan suami Mata hari, Rudolph John McLeod. Sebab Namaku Mata Hari dan Malaikat Lereng Tidar memang berada pada zaman yang sama. Betapa hebatnya Remy Sylado. Tiap bab MLT ada puisi empat baris yang awalan katanya diambil dari akhiran kata tiap bab dan ujung kata baris pertama selalu menggunakan kata ‘barangkali’. Oiya, MLT pun disajikan dengan sangat filmis.

Alhasil, Rp 108.000,-mu tak kan sia-sia ketika membeli MLT. Di dalamnya memuat banyak pengetahuan dan fakta sejarah yang dikemas dalam kisah cinta. Remy Sylado benar, sebelum buku ini menjadi wujud, sudah ada biaya yang keluar lumayan ramai, yaitu ketika fiksi mesti dibangun dengan serangkaian riset.


Nih buat jajan