Makassar Mencakar Langit



Membangun bersama masa depan dengan bangunan bertingkat hanya akan membuat para manusia lanjut usia kota ini tertutupi dari sinar matahari pagi. Sementara, akan kemanakah manusia-manusia penikmat matahari terbenam akan pergi? Naik ke skylounge hotel dan membayar mahal?


Salah dua jalanan Makassar yang saya lalui ke kampus yang menurut saya tidak cukup memanusiakan manusia adalah Jalan Rappocini Raya dan Jalan Manuruki Raya, selain Jalan Pettarani (karena di ujung menuju Jalan Alauddin bertebaran penjual es kelapa, bikin adem). Penandanya begini :

1. Jalan Rappocini Raya
DI jalan ini terdapat sebuah kampus. Karenanya, kadang saya kasihan kepada sepasang mudamudi yang pergi pulang berjalan kaki dari kampus. Bagaimana mereka harus nyelip-nyelip berjinjit menyebrang di kerumunan kendaraan. Bagaimana mereka tidak kebagian bahu jalan sebab telah dikuasai oleh para pengendara motor dan mobil. Kampus ini punya lahan parkir untuk para mahasiswanya. Hanya saja, jumlah kendaraan bermotor yang parkir tidak sebanding dengan luas parkiran. Maka tentu saja, mobil pun tidak akan kebagian parkiran. Jadi, mobil yang jumlahnya tidak hanya satu ini akan memarkir ban kirinya di bahu jalan dan ban kanannya di jalan raya. Suasana ini kamu akan dapati dari pagi hingga menjelang sore hari. Tak jauh dari kampus ini, berjejeran toko-toko  penjual telepon genggam. Saking padatnya, mereka pun berlomba membuat pengguna jalan untuk singgah. Dan kamu tahu bagaimana bentuk promosi penjualannya? Mereka menggunakan pengeras suara. Bayangkan, ketika, ada dua saja, toko yang menyetel pengeras suara yang diisi oleh rekaman suara manusia dengan suara latar house music. Toa masjid pun dibuat tak berkutik.

2. Jalan Manuruki Raya
Lokasi ini merupakan pemukiman strategis dengan tiga kampus berdekatan, yakni Universitas Negeri Makassar, Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, dan Universitas Muhammadiyah. Jalan ini pun berubah menjadi jalan ‘dollar’ dengan beragam usaha di dalamnya, seperti; kos-kosan, warung makan, toko campuran, hingga tempat penjualan jilbab dan kaos kaki, minimarket waralaba pun tak mau kalah. Demi menarik perhatian mahasiswa untuk membeli, memakai, memakan, meminum, para pengusaha ini pun menggunakan papan reklame di depan usahanya. Papan reklame yang digunakan pun beragam. Mulai dari neon box, spanduk berbahan vinyl, hingga tripleks yang ditulistangani. Muatan papan reklame ini kemudian berbaur dengan coret-coretan dinding, baik mural, graffiti, atau sekedar coret-coretan non estetis. Dampaknya, kekacauan visual pun tak bisa dielakkan lagi.

Memasuki jalan Manuruki Raya, kita akan disambut oleh gerbang selamat datang yang dibangun oleh sebuah perusahaan semen. Bagi pemerintah kota, ini sangat membantu tagline “Makassar Tidak Rantasa’ dan Makassar Sombere”. Di sampingnya terdapat tembok memanjang yang sebelumnya dihuni oleh sebuah iklan produk operator telekomunikasi seluler. Tembok itu bertuliskan “Together We Build A Better Future” dengan siluet bangunan-bangunan tinggi di bawahnya. Dalam perjalanannya, mural dimulai dari lukisan di dinding goa yang dikerjakan oleh manusia zaman prasejarah. Jauh setelah itu, mural kemudian difungsikan sebagai propaganda politik negara-negara konflik di Eropa, dan berlanjut menjadi media bagi para seniman  untuk berkarya. Namun cerdiknya korporasi, mereka melihat mural sebagai salah satu media untuk mengiklankan dagangannya. Tak ayal, mereka menggunakan jasa para seniman untuk membuat mural.

Melintasi mural ini hampir setiap hari kemudian membuat saya jengah dengan penggunaan kata ‘future’ dan siluet bangunan-bangunan tinggi di bawahnya. Menerjemahkan future ke dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai masa depan, yang akan datang. Di pikiran saya kemudian terngiang film-film fiksi ilmiah dengan gedung-gedung berlomba menggapai langit sebagai lanskapnya.

Future, barangkali, tidak melulu mengenai bangunan yang berlomba mencakar langit.
Future, barangkali, adalah gelaran karpet di ruang-ruang terbuka hijau bagi para keluarga
menghabiskan akhir pekan.

“Masyarakat kelas atas digiring untuk tinggal menjulang ke atas, menjauhi bumi yang harusnya dipijaki. Mereka tinggal dalam lingkungan yang bersih (steril) dan aman (terisolasi). Seolah dengan menjauhnya mereka dari bumi, mereka akan semakin terhindar dari segala macam persoalan sosial kota seperti, ancaman kemiskinan, penyakit, kotoran, polusi, kejahatan, dan lainnya,” Yuka Dian Narendra.

Benarlah bahwa iklan-iklan di ruang kota dapat bercerita banyak mengenai kota itu sendiri. Iklan-iklan di ruang kota menjelaskan apakah warganya hidup dengan layak atau hidup dalam balutan kapitalisme global. Usahlah terlalu jauh mengaitkan pembangunan Centre Point of Indonesia  dengan mural di gerbang jalan Manuruki Raya karena jaraknya memang jauh. Lihat saja kawasan Panakukang, disana berdiri bangunan menjulang dan terlihat sangat tinggi dibanding bangunan lainnya. Tak jauh dari Mall Panakkukang, sebuah lokasi yang tertutup yang jika kamu mengintip, kamu akan mendapati galian yang sangat dalam. Galiannya yang dalam tidak jadi soal, masalahnya adalah galian ini berada di pusat bisnis kawasan Panakkukang. Menurut kawan saya, itu untuk pondasi sebuah bangunan bertingkat-tingkat.

Dua tahun lalu ketika saya mengunjungi Rammang-Rammang, Daeng Beta yang menjadi pemandu di tempat ini menunjukkan gunung-gunung karst di sebelah timur yang katanya tidak lama lagi akan dibom untuk pembuatan semen. Gunung-gunung itu memang telah menjadi milik korporasi. Kalimat motivasi ‘semakin besar sesuatu yang dituju, maka semakin besar pula pengorbanan yang dibutuhkan’ pun semakin berlaku dan sahih dalam urusan pendirian bangunan. 

Pemerintah kota ini, selain senang memajang foto portrait diri mereka di baliho, mereka juga senang memamerkan tumpukan foto-foto gedung.
Seolah  foto-foto tersebut merupakan indikator keberhasilan mereka dalam memimpin.

Tampaknya kota ini memang serius mewujudkan ‘future’ dari segi pembangunan fisik, sebab jika tidak, pengambil kebijakan tentu tidak akan memberi izin mendirikan bangunan. Mereka tidak akan dengan sering menumpuk foto-foto bangunan tinggi untuk dipasang di baliho-baliho. Dikiranya perekonomian sebuah kota dapat diukur dari seberapa banyaknya bangunan tinggi. Padahal, penilaian indeks kota cerdas Indonesia 2015 tidak memasukkan jumlah bangunan tinggi dalam penilaiannya. Daripada sibuk mengurusi ‘future’ di tembok di jalan Manuruki Raya bagaimana jika kita (aku dan kamu) membicarakan baik-baik ‘future’ secara bersama dan serius? Eh?

*Tulisan ini tayang pada 21 September 2015 di http://revi.us/makassar-mencakar-langit/

Nih buat jajan