Toa di Persimpangan Jalan

Ilustrasi oleh : Herman Pawellangi
Salam satu hati! Bla bla bla dan.. Hompimpa!

Lampu merah kemudian menghijau bersamaan dengan bunyi klakson kendaraan dan motor berknalpot racing yang digas-gas seolah sedang start di sirkuit MotoGP. Brumm.. Brumm.. Pip..pip.. Piiiip.. Bruummm…

Sejak melabeli dirinya Smart City, kota ini kemudian bertingkah aneh. Mirip dengan mode perempuan terkini yang menyulam alis dan memerahi bibirnya. Celetuk teman saya, tidakkah para perempuan itu sadar bahwa sebenarnya mereka tidak cocok dengan dandanan seperti itu? Dan celakanya, dengan percaya diri swafoto muka bebeknya diunggah di sosial media. Haha.

Tiap berhenti di lampu merah, saya selalu bertanya-tanya, apa iya salah satu penanda sebuah kota dikatakan kota cerdas adalah adanya pengeras suara di lampu merah yang teriak-teriak dengan informasi yang itu-itu saja? Dan, oh, dari musik latarnya adalah produsen motor yang seolah peduli dengan pengguna jalan yang mensponsori pengeras suara tersebut.

Padahal katanya, pengadaan pengeras suara —yang selanjutnya akan saya sebut sebagai toa dan kamera pemantau (cctv), kemudian diistilahkan Automatic Traffic Control System (ATCS) atau lampu lalu lintas digital. Pengadaan ini dimaksudkan agar dapat memantau kondisi persimpangan dan mengatasi masalah pengaturan lalu lintas dari jauh. Setidaknya informasi ini yang saya dapat dari koran kota mengenai perangkat pendukung smart city ini. Tapi kok ya, ujung-ujungnya jadi menambah kebisingan kota?

“Polusi suara atau pencemaran suara adalah gangguan pada lingkungan yang diakibatkan oleh bunyi atau suara yang mengakibatkan ketidaktentraman makhluk hidup di sekitarnya. Pencemaran suara diakibatkan suara-suara bervolume tinggi yang membuat daerah sekitarnya menjadi bising dan tidak menyenangkan,” Wikipedia.

Jika boleh memetakan suara di jalan raya kota ini, maka ada bebunyian seperti sirine iring-iringan pejabat, ambulans berisi orang sakit yang sedang gawat, ambulans berisi jenazah lengkap dengan pasukan bermotor-berknalpot racing mengibas-ngibaskan bendera putihnya, mobil yang juga berknalpot racing, bentor dengan house musicnya, serta sahutan klakson motor-mobil pribadi, pete-pete, dan truk — yang jika bunyi bersamaan secara berulang-ulang maka akan menghasilkan kebisingan, polusi suara.

Itu belum termasuk jika daerah sekitar ada toa masjid yang berbunyi juga mahasiswa yang tengah berteriak-teriak menggunakan toa di perempatan sambil membakar ban. Sialnya, penentu kebijakan tampaknya belum puas dengan suara-suara tadi, ditambahkanlah toa di tiap lampu merah jalan protokol kota ini. Yang berteriak si toa agar menjadi pelopor keselamatan berlalu lintas untuk Indonesia tertib, bersatu, keselamatan nomor satu. Jika dikerucutkan, penyebab polusi suara kota ini adalah bunyi kendaraan dan bunyi pengeras suara.

Memang sih, jika berada dalam mobil pribadi apalagi mobil mewah, kebisingan di sekeliling tidak akan jelas terdengar. Lantas, bagaimana nasib para pria tuna asmara yang mengendarai motor tanpa gandengan?

***

Makassar adalah tempat yang ramai untuk bertemu. Demikian kata mantan pacar saya ketika saya ajak bertemu saat masih mahasiswa baru. Dan hingga saat mama di kampung tiap hari menelpon menanyakan kapan saya ujian hasil, Makassar masih terus ramai dan nampaknya akan terus ramai —dengan bebunyian, dengan kendaraan, dengan baliho-spanduk yang dipasang secara serampangan.

Dampak buruk polusi suara bagi kesehatan penghuni kota tidak akan saya beberkan. Sebab saya tahu Google punya banyak penjelasan tentang hal ini dan saya tahu anda dapat mengaksesnya setelah membaca tulisan ini. Saya cukup memberi contoh dari apa yang saya perhatikan di jalan raya. Jika terjadi insiden baku senggol, entah mobil dengan mobil, motor dengan mobil, motor dengan motor atau pete-pete dengan semua, maka para pengemudi akan perang urat saraf, tidak akan ada yang mau mengalah.

Pernah suatu waktu di Jalan Rappocini Raya saat matahari tengah terik-teriknya dan saat kendaraan mengular, tak jauh dari jejeran penjual smartphone dengan pengeras suara yang mendentum, seorang anak muda pengendara motor yang berboncengan dengan perempuan yang saya tebak adalah pacarnya, mengata-ngatai seorang kakek yang bersepeda tua.

Konon cerita si anak muda dalam gerutunya, si kakek tidak mau mengalah, tidak mau memberi jalan dan hampir menabrak si anak muda ini. Seandainya saja tidak dilerai oleh seorang tukang parkir, maka si kakek akan kena bogem mentah si anak muda. Sementara pacarnya teriak-teriak, We..Sudahmi! Sudahmi!

Tensi yang meninggi akibat hiruk pikuk kendaraan dan riuh bebunyian, membuat orang punya amarah yang siap meledak kapan saja. Sebagai kota yang sedang mengalami perkembangan pesat di seluruh sisi, Makassar sebaiknya mulai waspada terhadap polusi suara; penyakit perkotaan yang mulai mewabah. Alih-alih menyelesaikan satu masalah, yang timbul adalah masalah baru yang justru kian pelik. Jika sudah seperti itu, tampaknya kita masih harus berpikir untuk melabeli diri kota cerdas.

***

Tayang di revi.us 1 Desember 2015 : http://revi.us/toa-di-persimpangan-jalan/

Nih buat jajan