ArtJog 9, semesta kehidupan

Foto: Jumardan Muhammad
Saya tidak pernah berniat mengunjungi Jogja hanya dalam satu dua hari sebab kota ini, bagi saya masuk dalam kota ter-artsy garis keras. Tidak akan puas saya merasakan ke-artsy-an Jogja dalam sehari. Namun, kemarin (5/6) aforisme tersebut sirna seketika.

Setelah dikirimi upah yearbook akhir bulan kemarin, saya kemudian memutuskan untuk ke Pare, Kediri, hingga akhir tahun. Kebetulan saja akhir bulan kemarin Jogja resmi menggelar ArtJog 9. Karena pembelajaran di Pare belum dimulai, saya tergoda untuk mengunjungi ajang pameran seni rupa kontemporer ini. Dari hasil penelusuran di Google, jarak tempuh dari Pare ke Jogja menghabiskan waktu sekira 5-6 jam. Hitung-hitungannya sama seperti Sengkang ke Makassar. Bersama seorang kawan, saya kemudian berangkat.

Karya Ugo Untoro ini terkesan sangat sederhana.
Tidak butuh waktu lama bagi saya untuk melanjutkan ke karya berikutnya.
Di konsep karya, hanya tertera :
Keindahan adalah yang pertama, yang sendiri,
yang tunggal, yang ganjil, yang selamanya.
Pengantar karya Eko Nugroho
Display karya Eko Nugroho
Artjog 9 digelar di Jogja National Museum (JNM) selama sebulan, dari 27 Juni hingga 27 Juli 2016. Ada 72 orang seniman yang berpartisipasi, baik dari dalam maupun luar negeri. Tema yang diangkat adalah Universal Influence. Saya menerjemahbebaskannya sebagai sesuatu yang terjadi di dunia saat ini, hari ini, yang lahir dari dalam diri maupun masyarakat. Tema ini melintasi waktu digelarnya pameran, baik dari masa lalu, sekarang, dan masa mendatang.

Apa yang membuat saya tertarik datang adalah banyak seniman yang saya kagumi dan telah lama saya untit kehidupan serta karya-karyanya di dunia maya, berpameran dalam satu waktu dan satu tempat. Saya tidak mau terus menerus hanya melihat karya mereka di dunia maya. Lokasi saya sudah sedekat ini dengan tempat mereka menggelar pameran, kenapa tidak menemui karya-karya mereka di dunia nyata?

Gambar pemandangan yang sejak kecil kita kenal berupa
dua gunung, satu matahari, dan jalan memanjang di tengah dua gunung
ternyata tak habis dieksplorasi, bahkan oleh para seniman.
Aditya Nofali pun melakukannya. Merekonstruksi dan
mendekonstruksi tema sederhana tersebut.
Kata-kata kotor se-Indonesia dipajang dalam satu ruang pamer.
Setidaknya itu yang saya perhatikan. Deskripsi karya ini bisa dibaca disini.
"Putuskanlah rantai-rantai yang menganggu kemerdekaan darahmu untuk memberi tempat, memelihara benih menjadi garuda yang besar dan bersayap kuat bisa membawamu ke langit yang biru melayang-layang melihat dan menghisap kebagusan dunia, bulan, bintang-bintang dan matahari, alam ciptaan Tuhan," S. Sudjojono.
Saya salah satu penggemar Agan Harahap. Teknik photoshop yang digunakan
dalam berkarya selalu saja lucu dan tidak jarang menohok.
Foto-foto yang dipamer adalah foto feature dari rangkaian foto esai
yang kelanjutannya bisa disaksikan di gawai sebelah kanan display karya.
Mengumpulkan kenangan dalam bentuk foto dan memajangnya
seperti ini adalah cerdas. Sumbu kosmik memori karya Angki Purbandono ini
terinspirasi dari bentuk Candi Borobudur. 
Entah di media mana saya telah membaca konsep karya
Davy Linggar ini. Menyaksikan dokumentasi 17 orang seniman
yang dipajang, secara langsung adalah keberuntungan!
Hampir bersamaan dengan pembukaan ArtJog 9,
Farid Stevy Asta juga menggelar pameran tunggalnya di Kedai Kebun.
Sialnya, saya gagal menyaksikan hajatan pribadinya tersebut. Duh.
Namun bersuyukur masih bisa menyaksikan display dari potongan
lagu Hal-Hal Ini Terjadi.
Saya telah menyaksikan secara langsung penampilan
Tisna Sanjaya di Pasar Seni ITB 2014. Seniman asal Bandung ini
memang merupakan perupa sekaligus penampil.
Dan kali ini saya menonton karya hasil dari penampilannya.
Keseluruhan karya di ArtJog 9 disebar di tiga lantai 3 JNM. Karya penutup terletak di bagian belakang dengan kapasitas besar. Karya tersebut merupakan hasil Commisioned Artist yang konon mengajak audience untuk membayangkan berbagai tingkat spekulasi dan hipotesa tentang kemungkinan adanya bentuk koloni makhluk cerdas di luar planet bumi. Dari hasil pendengaran saya melalui headset yang tersedia seolah membawa kita ke luar angkasa dengan suara berupa pancaran gelombang radio. 
Karya penutup dari Universal Influence adalah karya ini dengan menara
setinggi 36 meter disertai lampu suar di atasnya berdaya jangkau 10km.
Karya ini dibuat oleh Venzha Christiawan & ISSS
(Indonesian Space Science Society)
Jika di sebelah kiri kita menyaksikan karya Venzha dan ISSS,
maka di sebelah kanannya kita bisa menemukan booth merchandise ArtJog 9.
Puluhan karya yang terpajang ini membuat saya kembali seolah membaca ulang dan belajar mengenai semesta kehidupan. Masa kecil, perbincangan terhadap diri sendiri, agama dan ketuhanan, sosial masyarakat, budaya, politik, perkembangan teknologi, hingga pengidentifikasian makhluk luar angkasa.

Nih buat jajan