Tiba Sebelum Berangkat, Pesan Bapak Sebelum Berangkat

tiba sebelum berangkat faisal oddang

Ketika pertama kali mendengar Faisal Oddang akan merilis buku terbarunya Tiba Sebelum Berangkat (TBS), saya sudah menduga jika ceritanya pasti berlatarbelakang kebudayaan Bugis.

Judul tersebut, seperti dugaan saya, adalah pesan bapak sebelum anak-anaknya melangkahkan kaki keluar rumah tiap kali akan bepergian jauh.
Saya tidak ingin berangkat sebagai perempuan. Dia mundur kemudian memperbaiki posisi duduk dan ingatannya. Dia konsentrasi. (hlm. 131)
Pernah membayangkan penis kamu ditindih kursi? Atau pernah terpikir untuk memakan tai sendiri yang telah mengering?

Begitu setidaknya Faisal menggambarkan dengan detail adegan menyakitkan dan menjijikkan bahkan di kalimat pertama buku yang saat saya beli telah memasuki cetakan kedua.

Di bagian lain, penulis Puya ke Puya ini menceritakan dengan detail adegan persetubuhan laki-laki dan laki-laki serta laki-laki dan perempuan.

Baca juga: Menyusur Jalur Sutra Sengkang dan Danau Tempe

Buku ini dibagi ke dalam 20 bagian di mana tokoh utamanya adalah Mapata dengan latar waktu di tahun 1950 hingga 1960-an di Sulawesi Selatan, tepatnya di Sengkang dan Makassar.

Saya tidak dapat menghafal dengan jelas tahun-tahunnya. Kenapa?

Adat-adat dan kebiasaan orang-orang Bugis di dalam cerita ini jauh lebih menarik perhatian saya. Sebagai seorang yang lahir dan besar di keluarga Bugis, buku ini menegaskan cerita-cerita dan hal-hal yang sering dilakukan oleh keluarga kakek dan nenek; baca-baca (mantra), susunan rumah panggung, juga penamaan anggota tubuh dalam bahasa Bugis.

Iya, konon sebelum sebuah tubuh ditiupkan roh, Dewata telah membuat dan menamai satu per satu anggota tubuh manusia dalam bahasa Bugis.

Masih segar di ingatan saya mengenai masa kecil di mana nenek sering memanjati rumah rakkeang atau plafon rumah panggung Bugis untuk mengambil beras. Dia akan mengambil tangga, menaikinya, dan menurunkan beras untuk konsumsi sehari-hari. 

Kabarnya, beras adalah makanan sakral pemberian Dewata yang harus ditempatkan di bagian teratas rumah dan diperlakukan dengan baik. Jika tidak, bisa saja di lain waktu beras tidak akan ada lagi di rumah.

tiba sebelum berangkat faisal oddang

Di suatu malam di bilangan Jakarta Selatan saya bertemu dengan teman-teman yang berasal dari keluarga Bugis. Saya iseng menanyakan tentang Gurilla.

"Kakek saya Gurilla," ujar seorang di antaranya yang kemudian ditimpali oleh yang lainnya.

Kami larut mengenai kisah heroik terkait misi Gurilla untuk mendirikan negara DI/TII pimpinan Kahar Muzakkar di kurun 1960-an. Di buku-buku sejarah di sekolah, gerakan ini memang tercatat dengan jelas.

Istilah Gurilla ini sebenarnya berasal dari bahasa Indonesia, yakni gerilya. Lidah orang Bugis yang yang melafalkannya sebagai Gurilla.

Oleh pemerintah, mereka disebut sebagai pemberontak yang menolak untuk bergabung dengan Republik Indonesia di awal-awal kemerdekaan. Selain untuk melawan pemerintah, mereka juga menolak keberadaan kepercayaan lokal di Sulawesi Selatan.
kepercayaan-kepercayaan lokal di Sulawesi Selatan, seperti Tolotang di Sidrap, Aluk Todolo di Toraja, Patuntung di Bulukumba—dan tentu Komunitas Bissu yang tersebar di Bone, Soppeng, Sidrap, Pangkep, dan tentu Wajo. (hlm.47)
Hal ini menuntun saya ke pemikiran bahwa apakah Tiba Sebelum Berangkat benar-benar adalah fiksi atau malah kisah nyata yang hanya diganti nama pelakunya?

Di buku setebal 215 halaman ini dikutip setidaknya 5 buku non fiksi, yaitu Pemberontakan Kahar Muzakkar dari Tradisi ke DI/TT dan Tradition, Islam, and Rebellion: South Sulawesi 1950-1965 karma Barbara Sillars Harvey, Bissu: Pergulatan dan Perannya di Masyarakat Bugis karya Halilintar Latief, Peristiwa Sulawesi Selatan 1950 karya Mayor Bardosono, Kekerasan Budaya Pasca 1965 karya Wijaya Herlambang, dan Sejarah Masyarakat Tionghoa Makassar oleh Yerry Wirawan.

Keberadaan para Bissu sangat ditentang oleh Gurilla.  Mereka, dalam TBS terlibat pertempuran sengit di Arajang—rumah tempat menyimpan pusaka-pusaka suci pada masa itu. Terlihat jelas bentrok antara senjata dan baca-baca.
bissu diburu seperti musuh atau dianggap kafir dan bisa dibunuh serta darahnya halal dan tidak akan dibela oleh siapa pun begitu pula hukum yang hanya akan tutup mata terhadap pembantaian bissu (hlm. 21)
Perihal baca-baca ini juga melarutkan saya ke ingatan masa-masa SMP. Tidak sedikit dari kami yang menghabiskan masa sekolah dengan berburu mantra Bugis. Dalam banyak situasi, baca-baca memang bisa diandalkan, termasuk menaklukkan lawan jenis.

Mapata dalam TBS yang disekap dan dipotong lidahnya oleh penculiknya sebenarnya mampu melawan hanya dengan memusatkan pikirannya.
ada tiga tingkatan dalam penguasaan ilmu kebatinan, dan saba'-saba' atau baca-baca atau mantra, gau-gaukeng atau lakuan...dan paling sering ia gunakan adalah paringngerang atau ingatan. (hlm 57)

Yeay or Nay?

tiba sebelum berangkat faisal oddang

Buku ini membawa saya jalan-jalan dan belajar banyak ke berbagai hal perihal kebudayaan masyarakat Bugis di masa sebelum saya lahir.  Tidak hanya itu, membaca Tiba Sebelum Berangkat seperti melihat rentetan kisah perih yang tidak diceritakan oleh buku sejarah.

Bagian belakang buku ini ternyata benar bahwa kisah TBS adalah tentang pengkhianatan, air mata, penyiksaan, dendam, kematian, amarah, dan cerita cinta yang muram.

Baca juga: The Vegetarian Bukan Untuk Vegan

Mapata, dalam hal ini, adalah orang yang disekap kemudian menunggu satu per satu anggota tubuhnya ditanggalkan sebelum dijual. Dia, oleh Faisal Oddang, membuat saya gemas di akhir cerita.

Jika kamu menggemari kisah-kisah berlatarbelakang sejarah dan cinta, maka saya merekomendasikan buku yang menjadi finalis Kusala Sastra Khatulistiwa 2017-2018 ini. 

***

Nih buat jajan