Wajah-wajah di Rumah Ibadah


Foto: Jumardan Muhammad
Adalah seorang Wahyu yang saat itu mengajari saya mengirim ucapan ke salah satu radio swasta yang terletak di terminal lama Kota Sengkang. Dia teman SMP saya saat masih duduk di kelas VII dan menyambi sebagai penjual kertas ucapan di radio dekat rumahnya. Kertas ini berukuran mungkin 10x6 sentimeter dan dijual seharga Rp. 1500,- per lembar waktu itu. Tiap orang yang membelinya dapat menuliskan ucapan kepada siapapun dan minta untuk diputarkan lagu apapun. Kertas ini akan dibacakan di sore hari keesokan hari setelah ditulisi—kita dapat menyetornya kembali Wahyu atau mengantarkannya langsung ke studio radio tersebut.

Sekira 2005 hingga 2007, kegiatan berkirim ucapan melalui stasiun radio bergelombang modulasi frekuensi (FM) ini marak dilakukan oleh remaja yang saat itu duduk  di bangku sekolah menengah pertama dan atas di Kota Sengkang. Jumlah radio FM yang digawangi dan digemari oleh anak-anak muda tersebut mencapai lima stasiun. Media elektronik ini sekaligus menjadi media sosial pertama yang saya kenal dimana orang-orang dapat memamerkan dirinya, pasangannya, atau lagu favoritnya dan tentu saja saling balas ucapan. Namun seiring waktu, radio-radio swasta ini kemudian berhenti beroperasi—alasannya karena tidak mampu menutupi biaya produksi sementara rata-rata dari penyiarnya harus lanjut kuliah ke Makassar. Wajar saja, tren radio FM ini adalah hasil kreativitas musiman anak muda saat itu.

Hal ini sebenarnya angin segar bagi saya kala itu, sebelum radio-radio anak muda ini menjamur, stasiun radio yang  telah mengudara sebelumnya hanyalah radio Suara As’adiyah yang saban subuh hingga pagi hari saya dengarkan melalui radio National milik ibu yang disetelnya di dapur sambil memasak. Pun saat ramadan, dibanding mendengarkan lagu-lagu kasidah di sore hari menjelang buka puasa, saya kemudian punya pilihan untuk mendengarkan lagu-lagu band yang saat itu populer seperti, Radja, Samsons, Linkin Park atau My Chemical Romance. Maklum saja, saat itu saya selalu merasa jarak antara asar ke magrib terlampau jauh, salah satu cara membunuh kebosanan adalah mendengarkan lagu-lagu di radio. Menjelang adzan magrib, seluruh stasiun radio dan masjid akan menyetel radio Suara As’adiyah sebagai rujukan berbuka puasa. Ini tidak hanya terjadi di masjid-masjid di Kota Sengkang, tapi juga di tiap-tiap masjid desa di 14 kecamatan yang ada di Kabupaten Wajo. Bagian paling melegakan memang pada adzan magrib, namun bagian paling mendongkolkan sebelumnya adalah mendengarkan ucapan selamat berbuka puasa dari para pimpinan partai politik maupun anggota dan ketua DPRD—terakhir dari bupati dan wakilnya.
Saat akan memasuki masjid untuk melaksanakan salat jumat, sehari sebelum ramadan, saya disodori selebaran berupa jadwal imsakiyah Kota Makassar oleh seorang anak yang kemudian saya perhatikan bahwa hampir tiap teman sebayanya membawa dan membagikan selebaran yang sama kepada semua orang yang datang ke masjid hari itu. Selebaran itu saya lipat dan kantongi, di perjalanan pulang saya membuka selebaran tadi—yang bikinan oleh salah seorang anggota DPRD Kota Makassar, nama dengan huruf yang ditebalkan serta dua foto tersenyumnya yang membuat saya tahu hal ini. Dibagikannya selebaran ini ternyata merupakan penanda bahwa ramadan sudah di depan mata, tentu saja saya menyimpan kecurigaan lain akan selebaran ini.

Penanda lainnya adalah sesaknya pagar masjid-masjid, lorong-lorong, perempatan jalan, dan ruas jalan protokol Kota Makassar oleh spanduk dan baliho raksasa bergambar wajah-wajah orang berkopiah/berjilbab dengan berbagai senyum, pose, dan ucapan dalam menyambut bulan ramadan. Memamerkan diri di media promosi luar ruang ini memang adalah usaha termudah mereka untuk lebih dekat kepada masyarakat agar tali silaturahminya tidak putus, barangkali. Tak ayal, para kepala pemerintahan, kepala instansi, anggota dewan hingga mereka yang berniat menjadi kepala pemerintahan pun berlomba menginvasi ruang-ruang publik dengan potret dirinya. Di media lain, radio dan televisi swasta Kota Makassar juga melakukan hal demikian. Di masjid kitaran Rappocini tempat saya tinggal misalnya, memperdengarkan ucapan-ucapan selamat menjalankan ibadah puasa dan selamat berbuka puasa dari para orang-orang yang tidak saya kenali dan tentu saja tidak mengenal saya melalui toa yang membuat  dongkol tiap menjelang adzan magrib. Di masjid berbeda suatu waktu saya mendapati stiker salam di tempeli di depan pintu, bahkan kalender pun pernah terlihat menggantung di salah satu dindingnya—tentu saja potret seorang politisi mengambil bagian porsi lebih di layoutnya. Abraham Maslow, seorang psikolog Amerika, meneorikan hal ini sebagai self-actualization. Adagium ini menempati puncak tertinggi dalam hierarki kebutuhan seorang manusia setelah kebutuhan dasar seperti kebutuhan fisiologis, keamanan, sosial, dan harga diri terpenuhi. Namun, secara terang-terangan para pengucap selamat-selamat ini pun seolah membuat pengakuan bahwa selain aktualisasi diri, merebut perhatian masyarakat untuk ajang pemilihan kepala daerah Sulawesi Selatan dan Makassar adalah tujuan utama mereka. Menurut Walikota Makassar pada wawancara yang tayang di laman Harian Berita Kota Makassar menyebut bahwa fenomena yang terjadi ini hanyalah dinamika politik yang masih dalam batas kewajaran, dan menurutnya, mereka memang wajib memperkenalkan diri.

Karena merupakan sebuah dinamika, bukan tidak mungkin setelah lebaran hingga hari pencoblosan pemilihan kepala daerah kuantitas wajah-wajah lengkap dengan janji-janji menyejahterakan khalayak yang tersebar di ruang publik akan jauh melebihi batas kewajaran, bersaing dengan iklan komersil yang tak terbendung. Jika memperkenalkan diri saja sudah mengikat, menggantung, memaku spanduk maupun baliho di tiang listrik dan pohon bagaimana dengan kampanye yang dijadwalkan oleh Komisi Pemilihan Umum?

Saya mengingat tulisan Ivan Kralj berjudul Selfie as Declaration of Stupidity tentang dedek-dedek gemes yang memborbardir karya-karya seni rupa di Galeri Nasional bahwa dengan tidak merekam dan memamerkan swafoto di media sosial kita seolah takut untuk tidak mendapat perhatian dan apresiasi dari orang lain. Layaknya media sosial, ruang publik pun adalah media paling murah nan mudah diakses untuk mempromosikan diri dan merebut simpati masyarakat. Momentum ramadan kemudian dimanfaatkan oleh para bakal calon kepala daerah untuk memamerkan potret mereka di depan bahkan hingga ke dalam masjid. Namun bagaimana pun selalu menggelikan melihat tingkah anak kecil kitaran kompleks yang mencoreti atau melubangi wajah-wajah yang terpampang di spanduk pagar masjid sambil berteriak ke teman-temannya, “Woe liatkoe, kayak setang. Lobangki matana, baru panjang gigina.

***

Tulisan ini tayang di laman Makassar Nol Kilometer tanggal 22 Juni 2017.

Nih buat jajan