Menyusur Jalur Sutra Sengkang dan Danau Tempe
Gerbang Kota Sengkang dari arah Pare-Pare. |
Tiga abad sebelum de Montesquieu di Prancis mengenalkan konsep trias politica dalam bukunya The Spirit of Laws (1784), salah satu kerajaan tertua di selatan Sulawesi telah lebih dulu membagi sistem pemeritahannya menjadi tiga kekuasaan terpisah.
Bugis Wajo
Adalah Arung Matoa sebagai pemegang kekuasaan eksekutif dimana pemilihannya tidak didasarkan pada garis keturunan, melainkan dipilih secara diplomatis oleh rakyat. Arung Bettempola dan Arung Patappulo menjalankan fungsi kekuasaan legislatif, sedangkan Arung Mabbicara melaksanakan fungsi kekuasaan yudikatif.
Kabupaten Wajo yang beribukotakan Sengkang terletak di utara Makassar, ibu kota Provinsi Sulawesi Selatan. Butuh sekisar 4 jam menempuh perjalanan sejauh 200 kilometer untuk sampai ke tempat ini. Jika kamu mencari alternatif lain untuk berwisata di Sulawesi Selatan, maka kota yang didiami oleh suku Bugis dan sedari dulu terkenal sebagai kota para pedagang ulung ini memiliki dua potensi wisata yang tidak begitu terekspos untuk kamu eksplor.
Proto Sejarah Lipa' Sabbe
Perjalanan menjadi turis di kota tempat saya besar ini dimulai awal 2015 ketika sedang mengerjakan tugas akhir. Kala itu saya mengajukan 3 judul yang mengeksplorasi Sutra Sengkang dan Danau Tempe untuk menghadirkan kemungkinan-kemungkinan baru dalam pendokumentasian dan promosinya sebagai situs pariwisata.
Terang saja, Sutra Sengkang yang sudah ada sejak beratus tahun lalu belum punya catatan lengkap yang komprehensif. Sutra Sengkang pada awalnya mewujud dalam sarung. Sedangkan sarung sendiri bak tubuh kedua bagi masyarakat Bugis, meminjam istilah Abdi Karya—seorang art performer yang kerap kali menggunakan sarung dalam penampilannya.
Sebelum Pelras, ada Thomas Forrest yang telah mencatat hal ini dalam A Voyage From Calcutta to The Mergui Archipelago [...] (1729). Dia menyatakan bahwa penduduk di Sulawesi sangat terampil menenun kain, umumnya kain kapas bergaya kambai yang mereka eksplor ke seluruh Nusantara. Kain-kain itu bermotif kotak-kotak merah bercampur biru. Mereka juga membuat sabuk sutra indah, tempat menyelipkan kerisnya.
Keterikatan mereka dengan sarung bahkan dimulai saat bayi. Orang tua di masyarakat Bugis akan memberikan sarung kepada anaknya yang baru lahir, pun saat aqiqah mereka ditidurkan di atas berlembar-lembar sarung sutra untuk didoakan. Sarung juga menjadi ayunan bagi bayi.
Saya teringat akhir pekan di masa kecil dimana saya menginap di rumah nenek. Tiap datang, saya diberikan sarung. Sarung sebagai pengganti selimut untuk tidur akan berbeda dengan sarung untuk mandi. Tante atau sepupu saya yang ketika mandi di sumur dapat dengan lihai menjadikan sarung sebagai tempat mengganti pakaian mereka. Ketika bermain, saya juga menggunakan sarung, mengubahnya dan menjadikannya bahan dalam pelbagai permainan.
Sementara aktivitas menghasilkan sarung yakni tenun menenun bagi seorang perempuan Bugis merupakan penentu harkat mereka. Ana' dara (gadis) yang telah terampil dalam menenun dianggap sebagai gadis yang matang dan ideal untuk dijadikan istri oleh para Kallolo (pemuda). Hingga muncul adagium, "Tannia ana' dara Wajo narekko de' nissengngi mattennungnge" yang berarti, bukan gadis Wajo jika ia tidak bisa menenun.
Di seluruh rangkaian proses pernikahan masyarakat Bugis juga menggunakan lipa' sabbe. Mulai dari dari mappacci hingga busana yang dikenakan oleh si pengantin hingga seluruh keluarga yang hadir. Perempuan dan laki-laki mengenakan lipa' sabbe untuk bawahan. Sementara atasan untuk perempuan menggunakan baju bodo dan jas tutup serta songko' to bone untuk laki-laki.
Penggunaan warna dan corak lipa' sabbe mampu menyimbolkan banyak hal, seperti status sosial seseorang dalam masyarakat—apakah dia bangsawan, masyarakat, atau budak, apakah dia sudah menikah atau belum. Corak balo renni', misalnya, yang terdiri garis vertikal dan horizontal tipis berjumlah puluhan membentuk kotak-kotak kecil dikenakan perempuan yang belum menikah.
Terang saja, Sutra Sengkang yang sudah ada sejak beratus tahun lalu belum punya catatan lengkap yang komprehensif. Sutra Sengkang pada awalnya mewujud dalam sarung. Sedangkan sarung sendiri bak tubuh kedua bagi masyarakat Bugis, meminjam istilah Abdi Karya—seorang art performer yang kerap kali menggunakan sarung dalam penampilannya.
Perempuan dengan tennung walida. Dokumentasi pribadi |
"Sejak lama keterampilan bertenun merupakan salah satu sumber penghasilan utama orang Bugis," tulis Christian Pelras di Manusia Bugis (2006; 289).
Sebelum Pelras, ada Thomas Forrest yang telah mencatat hal ini dalam A Voyage From Calcutta to The Mergui Archipelago [...] (1729). Dia menyatakan bahwa penduduk di Sulawesi sangat terampil menenun kain, umumnya kain kapas bergaya kambai yang mereka eksplor ke seluruh Nusantara. Kain-kain itu bermotif kotak-kotak merah bercampur biru. Mereka juga membuat sabuk sutra indah, tempat menyelipkan kerisnya.
Penggunaan lipa' sabbe di aqiqah masyarakat Bugis. Foto: Aziz Said |
Perempuan zaman dulu tidak diperkenankan memandang langsung laki-laki yang disukai, maka mereka pun dengan senang hati memberikan sarung hasil tenunannya sebagai ungkapan suka tanpa melanggar nilai yang ada. Pun dengan laki-laki, ungkapan "satu sarung berdua" merupakan pernyataan cinta sekaligus lamaran kepada seorang perempuan.
Penggunaan Lipa' Sabbe di acara Mappacci. Foto repro |
Haji Jannah, tetua bissu Kabupaten Wajo. Dokumentasi pribadi |
"Dahulu jika pria Bugis ingin mencari pasangan hidup, mereka menghadiri hajatan demi hajatan, mencermati perempuan mana yang mengenakan lipa' sabbe bercorak balo renni karena bisa dipastikan perempuan tersebut belum menikah," papar Haji Jannah, angkuru bissu Wajo.
Lini Produksi
Perempuan dengan aktivitas menenun ini dapat kamu temui hampir di semua kecamatan—jumlah kecamatan di Wajo ada 14, namun khusus untuk pengembangan sutra berbasis rumah tangga dan produksi benang hanya berpusat di Kecamatan Sabbangparu dan daerah pengembangannya tersebar di Kecamatan Pammana, Tempe, Bola, Gilireng, dan Majauleng. Sementara pusat industri pertenunan sutra terdapat di Kecamatan Tanasitolo.
Proses pembuatan benang sutra Sengkang. Dokumentasi pribadi |
Seluruh proses pembuatan perawatan ulat hingga menjadi benang sutra bisa kamu saksikan sendiri di salah satu desa di Kecamatan Sabbangparu, Desa Ugi. Mayoritas perempuan di sana memang menjadikan pekerjaan ini sebagai industri rumah tangga. Karena rumah-rumah di sana adalah rumah panggung, kolong rumah pun dimanfaatkan sebagai tempat untuk memeroses benang sutra dan menenun.
Jika telah menjadi benang, proses berikutnya adalah penenunan menjadi lipa' sabbe. Namun sebelumnya, benang sutra akan diwarnai lebih dulu menggunakan pewarna alam untuk mendapatkan warna yang diinginkan. Kunyit misalnya, digunakan untuk mendapatkan warna kuning atau oranye. Sayangnya, pewarna alami yang memang butuh proses lama mulai kehilangan popularitas—tergantikan oleh pewarna buatan. Hal yang kita tidak bisa tampik hari ini adalah kecenderungan orang-orang dalam menggunakan bahan-bahan instan untuk hasil yang cepat.
"Sekarang susah mencari orang yang maccello (bugis: mewarnai) dengan pewarna alami. Proses pengerjaannya lama dan pemesan selalu ingin cepat jadi," tutur Hj. Mintang (68 tahun) dalam bahasa Bugis.
Bahan pewarna sutra Sengkang. Dokumentasi pribadi |
Tennung walida dan tennung bola-bola (ATBM). Dokumentasi pribadi |
Kampung Sutra Sengkang, Kecamatan Tanasitolo, Kabupaten Wajo. Dokumentasi pribadi |
Mengedar Pandang di Danau Tempe
Petitih gajah di pelupuk mata tak tampak, semut di seberang lautan tampak ternyata bukan isapan jempol belaka. Tak sedikit dari teman saya yang juga besar dan menetap di Sengkang membuat saya tercenung ketika membicarakan Danau Tempe, salah satu lokasi wisata populer di Sulawesi Selatan. "Seumur-umur belumpa' pernah ke sana."Padahal kami mengunjungi banyak tempat wisata di luar sana ketika liburan tiba.
Untuk ke tempat ini kamu bisa naik perahu yang ada di kitaran Jembatan Paduppa atau di Jembatan 45, dermaga tempat pelelangan ikan di Sengkang. Perjalanan akan menghabiskan waktu 30 hingga 45 menit perjalanan melalui Sungai Walennae untuk sampai di tengah danau, di rumah terapung.
Terakhir kali ke sana ada sekisar empat belas-lima belas rumah yang membentuk seperti perkampungan nelayan. Rumah-rumah ini pada bulan-bulan tertentu akan berpindah mengikuti angin. Setibanya di sana, kita akan ditawari kopi atau teh dengan penganan pisang goreng atau ubi goreng—yang harganya terserah kita karena mereka memang tidak mematok harga.
Dari rumah terapung, kamu bisa menyaksikan matahari terbit atau terbenam di balik gunung yang mengelilingi Danau Tempe sambil menyantap kudapan yang tersedia.
Rumah terapung, nelayan, dan lanskap Danau Tempe. Dokumentasi pribadi |
"Danau Tempe adalah mangkuk raksasanya ikan tawar di Indonesia," ujar Ir. Soekarno ketika ke Sengkang pada 1950 dalam rangka peletakan batu pertama Mesjid Raya Sengkang.
Di titimangsa tersebut Danau Tempe memang merupakan pemasok ikan tawar ke hampir seluruh Indonesia. Danau yang luasnya mencapai 13.0000 hektar ini merupakan danau purba yang terbentuk bersamaan dengan daratan di Sulawesi Selatan sekisar 10.000 tahun SM. Ada banyak ikan endemik juga burung yang terbang di langit Danau Tempe.
Burung di Danau Tempe. Dokumentasi pribadi |
Ikan hasil tangkapan nelayan di Danau Tempe. Dokumentasi pribadi |
Pada bulan Maret atau Agustus, masyarakat setempat sering menggelar upacara adat maccera' tappareng (menyucikan danau) yang ditandai dengan peyembelihan sapi, inilah waktu terbaik untuk mengunjungi Danau Tempe. Akan ada banyak atraksi wisata yang ditawarkan seperti mappadendang yang dilakukan oleh para bissu dan lomba balap perahu.
Epilog
Setelah menyusur jalur Sutra Sengkang dan Danau Tempe yang kaya akan cerita-cerita setempat, maka singgahlah menikmati kopi dan bolu paranggi di warung kopi temangnge. Kopi yang tersedia di sini adalah kopi toraja yang airnya direbus menggunakan kayu bakar. Nikmat kopi yang tidak akan kamu temukan di tempat lain serta suasana kota yang berpendar di sekelilingnya membuat kamu akan merasa nyaman di sini. Letaknya di Jalan Masjid Raya Sengkang, tepat di tengah kota, tak jauh dari Pasar Mini Sengkang. Lokasi ini pula yang digunakan Riri Riza dan Mira Lesmana dalam membuat film Athirah (2016).Untuk masalah kuliner, kamu tidak usah khawatir karena ada banyak makanan khas Bugis yang bisa kamu nikmati, seperti nasu palekko, songkolo, atau putu.
Jika informasi yang ada di internet masih kamu rasa kurang, tenang saja. Kamu bisa download aplikasi gratis Hi Wajo di handphonemu. Linknya di sini. Semua petunjuk yang kamu butuhkan tersedia.
Sengkang yang berasal dari bahasa Bugis, siengkang yang berarti berdatangan, akan terus memanggil kamu di tengah popularitas destinasi-destinasi pariwisata yang ada di daerah sekelilingnya. Jika sedang berada di Sulawesi Selatan, sempatkanlah bermalam di sana barang satu atau dua malam untuk menyusur jalur Sutra Sengkang dan Danau Tempe.
***
Cara ke Sengkang:
Dari Jakarta, kamu bisa naik pesawat ke Makassar dan tiba di Bandara Sultan Hasanuddin. Sampai di sana, kamu hanya perlu keluar dan menunggu depan Indomaret seberang bandara. Di sana akan ada mobil tujuan Sengkang yang akan singgah mencari atau menunggu penumpang. Perjalanan akan menghabiskan 4 hingga 5 jam dengan ongkos Rp. 90.000,-.
Berkeliling kota, ada banyak Bentor (Becak dan Motor) yang siap mengantarmu kemana-mana.
Teman Jalan di Sengkang:
Untuk pemandu, silakan menghubungi teman saya Epi di Instagramnya https://www.instagram.com/ephy_djufri/ atau Whatsappnya +62823-3037-7839. Epi akan dengan senang hati akan menemanimu!
*Tulisan ini diikutkan dalam Gramedia Blog Competition yang berlangsung dari 1 November 2017 hingga 7 Januari 2018. Info selengkapnya di fanspage Facebook Gramedia Store.
Post a Comment