5 Buku Terbaik yang Sempat Saya Selesaikan di 2019 & Bisa Jadi Bacaanmu di 2020


Untuk menulis yang baik, berhentilah menulis dan mulailah membaca. Tulisanmu akan membaik jika kamu berhenti menulis dan mulai membaca.

Begitu kira-kira penerjemahan sebuah postingan Ogilvy di Instagram yang melintas di lini masa saya beberapa waktu lalu.

Selama 2019, pekerjaan penuh waktu sebagai SEO Content Writing dan Lifestyle Blogger untuk paruh waktu kerap membuat saya enek melihat kata-kata. Tidak jarang penglihatan saya berputar. Belum lagi target yang saya buat di Instagram di mana setiap postingan harus berisi minimal lebih dari 2-3 kalimat.

Satu kali teman saya bahkan pernah bertanya, “Kamu tidak capek otakmu bekerja terus memikirkan kata-kata?”

Untuk mengatasi kondisi ini saya selalu membawa satu buku di tas. Bertahun-tahun belakangan saya menargetkan untuk membaca satu buku setiap minggunya. Namun apa daya, beberapa kali target tersebut melenceng dan saya benar-benar kecapaian.

Trus gimana dong?

Beberapa bulan jelang akhir tahun saya dengan sadar berlangganan Netflix dan mulai menonton satu per satu seri yang ada di sana. Tapi, saya tidak akan bercerita mengenai tontonan tersebut. Sebaliknya, saya akan membeberkan buku-buku yang berkesan dan berhasil saya selesaikan selama 2019.

Hidup Begitu Indah dan Hanya Itu yang Kita Punya


Buku yang saya lahap ini merupakan cetakan pertamanya: Januari 2019. Saya juga menghadiri diskusi dan peluncuran buku ini di Post Santa. Sebelumnya saya sempat membaca Dea Anugrah melalui kumpulan cerpennya Bakat Menggongong.

Berbeda dengan buku sebelumnya, Hidup Begitu Indah dan Hanya Itu yang Kita Punya merupakan kumpulan esai.  Memiliki ketebalan 181 halaman Dea mengajak para pembaca melihat ke sekeliling, tentang hal-hal terkecil yang kemudian dikuatkan oleh ragam penelitian, buku, serta film.

20 esai di buku ini membawa saya ke kompleksitas bacaan serta olok-olok yang menohok.

“Dunia ideal, bagi saya kini, Cuma selaput tipis di kaki langit yang terus menjauh saban kita mendekatinya. Yang ada hanyalah dunia ini beserta hidup yang bergulir terus, terus, di dalamnya,” halaman 175.

Yang paling menarik perhatian saya adalah esai Ada Apa denga Pisang? Dipaparkan secara menarik betapa buah yang dengan mudah kita temui sehari-hari itu bisa mengubah dunia. Satu lagi yang tidak kalah menarik yakni esai yang diangkat menjadi judul buku.

Kenapa tulisan ini menarik saya?

Karena berisi pengalaman debat Dea dengan seorang sahabat lamanya yang saya kira sedang mabuk agama. Penyakit yang belakangan merebak di Indonesia. Terakhir, judul tulisan ini pun menjadi judul terbaik yang saya baca tahun ini.

Lara Tawa Nusantara


Industri pariwisata Indonesia memang sedang ganas-ganasnya. Salah satu jargon andalan yang digunakan di mana-mana untuk memasarkan negara ini di negara lain yaitu Wonderful Indonesia. Buku dengan ketebalan 349 halaman ini menyajikan cerita-cerita lain di balik betapa bombastisnya jargon negeri ini.

“Seakan semua tempat di republik ini adalah tempat yang indah dan mesti dikunjungi. Mungkin memang begitu, mana ada kabupaten yang tidak ada dinas pariwisatanya?” halaman XIII.

Ada 12 cerita yang dimulai dari Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, dan berakhir di Sumatera, kampung halaman Fatris MF. Perjalanannya sendiri tidak jarang dikaitkan dengan catatan-catatan perjalanan orang-orang Eropa yang menjelajah Indonesia beratus tahun sebelum mal-mal menjamur hingga ke pelosok.

Penulis menyaksikan alam setempat, mengobrol dan menjalin kedekatan dengan masyarakat sekitar, lalu mulai mempertanyakan banyak hal. Tak jarang dia menawarkan pembacanya bahan-bahan renungan, yang menurut saya, adalah hal yang memang tidak kita sadari.

Waktu berputar dengan cepat, pembangunan terjadi di mana-mana, hngga keseragaman menjadi satu hal yang tidak bisa ditawar. Jadilah industri pariwisata kita menjadi semu dan penuh citra manis di balik lara masyarakat adat, misalnya.

Teh dan Pengkhianat


Karaeng Pattingaloang, mangkubumi dari Kerajaan Gowa Tallo, satu kali pernah menggegerkan ilmuwan di Eropa. Dia memesan bola dunia berukuran raksasa dari Benua Biru di mana bola tersebut belum pernah ada sebelumnya.

Cerita ini menjadi bagian dari salah satu kumpulan cerpen Iksaka Banu. Melalui bukunya yang terbit pada April 2019 dan berhasil memenangkan Kusala Sastra Khatulistiwa ke-19 untuk  kategori prosa, penulis membawa sudut pandang menarik mengenai orang-orang Belanda di zaman kolonialisme.

Jika selama ini kita menganggap mereka adalah orang jahat yang menjajah, maka di buku ini kita akan bertemu dengan beberapa dari orang Belanda baik yang berpihak pada masyarakat Indonesia. Sebagai manusia biasa, mereka tetap tidak kehilangan kemanusiaannya.


Di sisi lain, masyarakat kita sebagai pihak yang dijajah pun ternyata ada yang lebih beringas dari para penjajah tersebut. Bahwa orang-orang Barat tidak selamanya beradab dan orang-orang Timur tidak selalu halus menjadi daya tawar menarik di buku tipis 164 halaman ini.

"Lima tahun bersama Nazi adalah mimpi terburuk yang pernah kami alami. Aku membayangkan, seperti apa mereka yang tanah airnya dikuasai bangsa lain selama ratusan tahun? Menjadi budak di negeri mereka sendiri," halaman 152.

Orang-Orang Oetimu


Jika boleh menyebut satu dosa terbesar Indonesia, maka dosa tersebut adalah penjajahan terhadap Timor Timur. Di masa sebelum Portugis dan Belanda datang, Timor Timur dan Nusa Tenggara Timur adalah satu daerah di mana masyarakatnya hidup berdampingan satu sama lain.

Kehadiran orang-orang kulit putih ini kemudian memisahkan mereka. Setelahnya Indonesia datang untuk memaksa Timor Timur bergabung menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam proses ini banyak hal-hal yang tidak diceritakan.

Buku fiksi Felix K. Nesi inilah yang kemudian membangun imajinasi saya dengan keberadaan tokoh-tokoh di kitaran masyarakat Oetimu; wilayah kecil di pelosok Nusa Tenggara Timur, tentara, gereja, serta keberadaan negara sebagai entitas terbesar dan paling kuat.

Melalui karyanya yang memenangkan sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2019 ini, Felix pun tidak tampak menghadirkan lokalisasi memaksa di dalam bukunya. Semuanya natural saja, lengkap dengan kepelikan yang terjadi.


Mengapa Aku Harus Membaca?


Meski terbilang menyenangkan, beberapa orang bisa saja menganggap keempat buku di atas tadi adalah bacaan yang berat. Jika sudah demikian, buku yang bisa saya rekomendasikan adalah Mengapa Aku Harus Membaca?

Buah pikir dari seorang anak berusia 9 tahun, Abinaya Ghina Jamela. Apabila selama ini kita hanya membaca buku anak-anak yang ditulis oleh orang dewasa, maka kali ini, akhirnya, ada buku yang ditulis oleh anak SD kelas 4 dengan olok-olok dan protes terhadap orang dewasa.

“Anak-anak disuruh membaca. Lalu anak-anak itu difoto. Orang tua memperlakukan anak-anak yang membaca seperti mereka makhluk asing dari luar angkasa dan baru saja sampai di bumi,” halaman 4.

Saya yang awalnya tidak berekspektasi apa-apa terhadap buku ini ternyata beberapa kali seolah diberi bogem mentah tepat di ulu hati. Naya dengan kepolosannya menunjukkan kita betapa menjadi orang dewasa itu norak.

“Orang dewasa itu tidak mau dikritik, tidak mau disalahkan, apalagi oleh anak-anak. Orang dewasa itu adalah orang yang selalu benar dan sudah pasti benar di atas dunia ini,” halaman 15.

Dari semua buku yang sempat saya baca selama 2019, maka buku Naya inilah yang ingin saya rekomendasikan buat kamu. 2020 yang sudah di depan mata akan semakin tidak mudah dan kita sebagai orang dewasa harus tetap waras sebab di tangan kitalah bumi yang tua ini bergantung.


***

Nih buat jajan