ORANGEFEST nyampah visual?

Adalah sebuah keriangan ketika saya mendapati tugas mata kuliah tinjauan desain yang disuruh membuat tulisan dengan tema fenomena desain. Fenomena desain sebenarnya merupakan sebuah hal menarik dan mendasar dari dunia desain untuk diperbincangkan. Bagaimana tidak dunia desain di era postmodern seperti saat ini berkembang begitu cepat dan dinamis. Baiklah, mari mengulasnya.

Pada 2013 dan 2014 di Indonesia adalah tahun-tahun politik, terlebih khusus di Makassar. Bulan Februari lalu pesta pemilihan kepala daerah di Sulawesi Selatan usai dilaksanakan. Selepas itu, pemilihan walikota Makassar pun siap dilaksanakan. Lantas, apa kaitannya dengan dunia desain? Begini, para perebut tahta kekuasaan ini dalam kampanyenya menggunakan semua media yang ada, termasuk publikasi dengan memanfaatkan ruang publik. Dalam hal ini, atribut kampanye berupa spanduk, baliho, stiker, umbul-umbul, dan sebagainya. Pemasangannya pun memanfaatkan semua yang tersedia di ruang publik, mulai dari tiang listrik, tembok bangunan, hingga batang pohon. Dengan memamerkan wajah yang tersenyum dan merunut janji-janji politik, mereka secara tidak sadar melakukan sebuah dosa besar dengan menyakiti orang lain dan pepohonan.  Dalam hal ini, seorang dosen ISI Yogyakarta bapak Sumbo Tinarbuko menyebutnya sebagai sampah visual. Menurutnya, sampah visual adalah iklan-iklan luar ruang yang secara ilegal terpasang. Beliau juga mengaturnya dalam lima sila sampah visual. Yakni, dilarang dipasang di taman kota dan ruang terbuka hijau, dilarang dipasang di trotoar, dilarang dipasang di dinding dan bangunan heritage, dilarang dipasang di jembatan, tiang listrik, tiang telepon, tiang rambu lalu lintas, dan lampu penerangan jalan, serta dilarang dipasang dan dipakukan di batang pohon. Berarti jika seperti itu, bukan hanya atribut kampanye yang jadi soal dalam pembahasan kita, tapi hal paling kecil seperti publikasi ‘sedot WC’ juga?

Ah, mungkin jika membahas semua ini, akan memakan waktu lama dan membuat alis kita berkerut membaca tulisan ini. Biarlah pak Sumbo yang menyusunnya ke dalam teori sampah visual. Saya, kamu, dan kita cukup melaksanakan praktik menentang sampah visual, dimulai dari hal kecil.

Masih segar ingatan kita tentang ORANGEFEST yang dihelat dari tanggal 11 hingga 13 Juni 2013. Kegiatan yang telah memasuki tahun keduanya ini dikerjakan oleh empat angkatan mahasiswa Desain Komunikasi Visual Fakultas Seni dan Desain Universitas Negeri Makassar yakni 2008, 2009, 2011 dan 2012 menghadirkan beberapa komunitas kreatif, clothing indie dan band indie se antero Makassar. Betapa kegiatan ini membuat crowded seluruh civitas Universitas Negeri Makassar dan pelaku industri kreatif se Makassar. Bahkan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Indonesia pun turut andil dengan mendatangkan founder Desain Grafis Indonesia yang juga berprofesi sebagai dosen DKV di Universitas Bina Nusantara, Hastjarjo Boedi Wibowo, sebuah pencapaian luar biasa bagi satu-satunya DKV di Indonesia Timur. Nah, mari menjadi antagonis!

Dalam pengerjaan publikasi sharing party ini, panitia menggunakan semua publikasi, mulai dari publikasi gratis yakni sosial media hingga publikasi seperti yang dilakukan oleh para politisi dalam mencitrakan dirinya di jalanan yakni spanduk dan baliho atau publikasi ‘sedot wc’. Kemudian muncul pertanyaan, apakah ORANGEFEST yang notabene kegiatan mahasiswa DKV ini juga telah menebarkan teror sampah visual dalam publikasinya? Pertanyaan ini silakan anda jawab sendiri dari foto-foto berikut:









Hal-hal semacam ini adalah fenomena desain yang tidak bisa kita tampik mengingat efektivitas dari penggunaannya, target masyarakat di ruang publik. Memang betul kata pak Sumbo bahwa publikasi yang telah didesain dengan layout sempurna kemudian akan gagal dengan penyajiannya yang salah. Bayangkan, desain grafis yang dihadirkan OF#2 adalah kolaborasi dari WPAP Chapter Sulsel dan mahasiswa DKV FSD UNM yang kemudian disajikan dalam bentuk foto-foto tadi. Hipokrit ketika kegiatan yang saya ketua-panitiai tahun lalu ini kemudian saya kritik, padahal tahun lalu juga memanfaatkan trotoar, tiang listrik, ruang hijau dan bahkan pohon dalam publikasinya. Sebagai program studi baru di Indonesia Timur, apalagi dengan umur lima tahun sudah selayaknya kami mahasiswa DKV FSD UNM berpikir kreatif mengenai alat peraga publikasi kegiatan. Mengutip apa yang dikemukakan pak Hast, butuh puluhan tahun untuk sebuah DKV dalam belajar dan menemukan jati dirinya. Menghadirkan publikasi-publikasi yang out of the box memang sudah harga mati. Jangan mengikut kepada ke-mainstream-an yang dilakukan pada pencitraan diri para politikus. Hingga akhirnya, mari kembali menyontek alat peraga publikasi yang digunakan oleh mahasiswa-mahasiswa DKV di Jawa dan Bali dalam berkegiatan, sebab jika kita masih menggunakan sampah visual tersebut di ORANGEFEST-ORANGEFEST berikutnya, maka sia-sialah ke-DKV-an kita apalagi dengan jenjang pendidikan strata satu yang notabene adalah jenjang pemikir. Bukankah proses desain itu adalah adopsi, tiru dan manipulasi?

Abdesir, 20 Juni 2013

Nih buat jajan