Visual yang Menyembuhkan


"My name's Temple Grandin. I'm not like other people. I think in pictures and I connect them."

Siapa yang menyangka bahwa wanita bertubuh tinggi ini adalah seorang autis?

Film biografi yang mengambil judul yang sama dengan namanya ini saya nonton sekira dua tahun lalu. Temple Grandin adalah seorang profesor wanita di bidang ilmu hewan di Colorado State University dan dia adalah seorang autis.

Kali pertama memiliki ketertarikan pada dunia hewan adalah ketika Grandin diajak tantenya yang memiliki peternakan sapi untuk berlibur di rumahnya. Wanita yang pada 2010 lalu masuk The 100 Most Influential People in The World versi Time ini kemudian menemukan Hug Machine untuk mengurangi rasa sakit pada sapi-sapi yang akan disembelih.

Tahu gak?

Autisme yang dialami oleh Grandin bak senjata yang digunakan untuk menciptakan alat ini. Prosesnya lahir dengan menghubung-hubungkan gambar. Berpikir secara visual.

Secara medis, autis adalah gangguan perkembangan saraf yang memengaruhi kemampuan anak dalam berkomunikasi, bersosialisasi, serta berprilaku. Dan anak-anak yang mengidap hal ini digolongkan ke dalam Anak Berkebutuhan Khusus (ABK).

Seorang lain yang menjadikan visual sebagai senjatanya adalah Vincent Van Gogh.


Pelukis impresionis asal Belanda yang hidup dari tahun 1853-1890 ini merupakan sosok yang tak terpisahkan dari sejarah seni manusia pada abad ke 19 dan 20. Meskipun hanya aktif berkarya selama 10 tahun, Van Gogh membuat sekira seribu lukisan.

Ketajaman intuisinya dalam seni ini beriringan dengan statusnya yang mengidap skizofrenia dan gangguan bipolar. Peringatan World Bipolar Day yang diadakan setiap tahun pun bertepatan dengan hari ulang tahunnya di 30 Maret.

Mengingat kisah Temple Grandin dan Van Gogh yang produktif menghasilkan karya dengan gangguannya tersebut selalu membuat saya merasa ditampar 😔


Selamat Datang di Duniaku!

Istilah di atas merupakan tajuk sebuah pameran fotografi yang diadakan di Galeri Foto Jurnalistik Antara Jakarta (GFJA) oleh anak-anak berkebutuhan khusus. Percaya atau tidak, mereka menghasilkan karya visual dengan pendekatan berbeda dan hasil yang tidak kalah menariknya.

"Orang-orang seperti kita tuh luar biasa jaimnya ketika disuruh memotret. Misalnya, disuruh untuk memotret Monas yang dilihat setiap hari. Kita menghabiskan banyak waktu untuk berpikir dan malah bingung sendiri dengan apa yang akan dipotret," Oscar Motuloh selaku kurator pada pameran ini.



Adalah Spectrum, sebuah sekolah khusus bagi ABK, yang memamerkan karya fotografi murid-muridnya di GFJA dari 12-20 April 2018. Spectrum memang memiliki misi bahwa dengan menggali potensi siswa dan menyesuaikan pendekatan pembelajaran, latihan, serta penanganan yang tepat akan mengaktualisasikan potensi siswa berkebutuhan khusus secara optimal—salah satunya melalui fotografi.


Di sesi diskusi yang diadakan, beberapa orang tua siswa secara bergiliran mengungkapkan rasa terima kasihnya kepada Spectrum. Betapa tidak, kebanyakan anak-anak tersebut seolah tidak memiliki harapan pada mulanya.

Keterbukaan masyarakat terhadap kehadiran mereka pun masih sangat rendah. Ini mengingatkan saya tentang masa kecil sekira 18 tahun lalu. Saya rasa kamu pun pernah mengalaminya.

Tetangga saya yang juga teman sepermainan menjadi terkucilkan ketika dia tidak diterima di lingkungan bermain, hanya karena dia termasuk ABK. Jadilah dia semakin menyendiri di rumah dan tidak mengalami perkembangan.

Hingga bertahun-tahun kemudian, dia masih tetap di rumah dan tidak mendapatkan pendidikan sebagaimana anak seumuran saya waktu itu yang mulai memasuki masa sekolah dasar. Bahkan orang tuanya pun malu malu dengan keberadaan anaknya.



Namun, anak-anak di Spectrum berbeda, ketika mereka dikenalkan kepada beragam media seni, misalnya musik, gambar, dan fotografi—mereka mengalami perkembangan yang sangat signifikan.

"You did it (untuk para guru), We did it (kita semua melakukannya), and I did it!" seru Opa, kakek dari seorang murid Spectrum.


Visual-visual yang dihadirkan di ruang pamer ini saya rasa menyembuhkan mereka, memberikan mereka kesempatan untuk berkembang dan kemungkinan untuk menjadi Temple Grandin atau Van Gogh yang lain.

Saya terngiang-ngiang Grandin, "I am different, not less."

***

Nih buat jajan