Sebulan Lebih di Rumah: Bekerja & Menemani Alinea


Ketika saya menuliskan postingan ini (29/4) sudah lebih dari sebulan saya bekerja dari rumah. Covid-19 adalah penyebab semuanya. Kantor dengan cepat memberlakukan sistem bekerja dari rumah atau bahasa kerennya Work From Home atau WFH.


Pertama kali mendengar istilah ini pada 2018 saat saya mulai bekerja di agensi. Soalnya, di kantor sebelumnya hanya ada dua istilah jika tidak masuk kerja; sakit dan cuti. Opsi WFH ini saya ambil tak lama setelah bekerja di kantor yang sekarang. Mata saya waktu itu sakit dan saya izin di HRD untuk tidak masuk, tapi mengerjakan tugas kantor di kosan.

Omong-omong, ini jadinya Work From Kosan 😐

Jika dipikir-pikir, WFH selama Covid-19 ini ada hikmahnya juga. Sambil bekerja, saya berkesempatan menemani Alinea. Dua minggu sebelum cuti lahiran Ade berakhir, kami sudah mulai memikirkan Alinea.  Dengan siapa dia bakal tinggal selagi kami bekerja?

Opsi untuk mengambil seorang penjaga yang berasal dari keluarga ternyata nihil. Alhasil, kami harus berburu daycare atau tempat penitipan anak di kitaran tempat Ade bekerja. Kami sepakat kalau Alinea bakal dititip daycare.

Namun, seminggu sebelum rencana ini terwujud, jumlah kasus Covid-19 di Indonesia meningkat drastis. Orang-orang khawatir, panic buying terjadi, tempat kerja saya langsung menerapkan sistem yang membatasi karyawan untuk ke kantor. Masih di minggu yang sama, situasi memburuk. Jelang akhir pekan, sistem WFH pun diterapkan selama 2 minggu.

Hingga saat ini, setidaknya pengumuman WFH diperpanjang sudah 4 kali. Jadilah Ade tetap bekerja di rumah sakit dan saya bekerja di rumah sambil menemani Alinea.

Oiya, sebelum Alinea lahir, saya sudah sering kali WFH. Cara kerja seperti ini ternyata benar-benar efektif bagi saya pribadi. Dalam satu hari saya mampu menyelesaikan 4-5 kerjaan yang jika saya lakukan di kantor butuh waktu setidaknya 2 hari. Saya tidak perlu lagi bergelantungan di Transjakarta dan menghabiskan sejam dua jam di jalanan.

Sayangnya, kemampuan menyelesaikan banyak kerjaan dalam satu hari ternyata tidak dapat terwujud. Pada hari pertama berdua Alinea di rumah (31/3), saya demam. Hari berikutnya ternyata demam tersebut berujung cacar air.

Agar tidak tertular, Alinea dan Ade terpaksa mengungsi ke rumah om di Ciledug. Saya di rumah sendirian, mengalami cacar air yang sialnya baru terjadi di usia 28 tahun, dan tetap bekerja tipis-tipis.

11 hari setelahnya barulah mereka kembali ke rumah. Ade kembali masuk kerja dan saya bersama Alinea. Butuh waktu kurang lebih seminggu hingga saya menemukan pola kerja yang tepat sambil menemani Alinea.

Saya harus tetap standby membalas chat dan email selama jam kerja 9 pagi ke 6 sore, sedangkan Alinea butuh perhatian lebih.

Di awal-awal kebersamaan kami di rumah dari pukul 7 pagi hingga 3 sore, Alinea sering kali menangis keras-keras. Ibu pemilik kontrakan kami bahkan sempat mampir mendengar Alinea menangis.

Dia menggendongnya, namun tidak kunjung tenang. Butuh waktu juga bagi Alinea untuk bisa benar-benar tidak mengingat puting mamanya dan beradaptasi dengan botol dot. Kami sebenarnya telat untuk mengajarinya minum susu di botol. Tidak ada orang yang memberi tahu tentang hal ini dan kami pikir minum dari botol dapat diterimanya begitu saja.

Setelah masalah ini selesai, barulah saya bisa sedikit tenang. Dengan begini, saya tetap bisa mengurusi pekerjaan kantor di rumah sambil mengurusi Alina. Caranya?

Pada jam-jam tertentu, misalnya jam 7 pagi, 11 siang, dan 2 siang Alinea biasanya tidur. Kadang hingga 2 jam, tidak jarang cuma 30 menit. Jika sudah tidur, saya melompat ke meja kerja, membalas chat dan email, sambil menyelesaikan pekerjaan utama saya.

Makin ke sini, saya semakin lihai. Meski di awal tidak mudah, bekerja dan menemani Alinea kini terasa begitu menyenangkan. Saya pun sempat kepikiran, "Andai kondisi ini bisa berlangsung terus menerus. Bekerja dari rumah dan menemani Alinea di setiap proses tumbung kembangnya."

***

Nih buat jajan