Setelah 8 Bulan Bekerja Dari Rumah

tips-bekerja-dari-rumah

"Setidaknya tuh sekali seminggu kita harus WFH," begitu celetuk teman kantor saya saat ditanyai alasan mengapa dia sering absen tiap minggu.

Sebelum tim konten dan tim SEO di kantor tempat saya dipisah, kami sebenarnya punya banyak kesempatan untuk bekerja dari rumah.

Sialnya, hal ini baru saya sadari setelah kedua tim tidak lagi satu. Bos baru yang mengepalai tim konten ternyata menanyai sedetail mungkin setiap anggota tim yang tidak masuk kantor.

Alasan mau WFH kenapa? Kerjaan hari itu apa saja? Ada meeting tidak? Trus besok masuk atau tidak?  Dan sederet pertanyaan lain yang justru bikin malas izin.

Meski sebenarnya izin diberikan, tetap saja pertanyaan-pertanyaan yang memberondong itu bikin insecure.

Ketika kasus pandemi mulai merebak, khususnya Jakarta sebagai zona merah pertama di Indonesia, saya girang bukan main.

Seminggu sebelum saya ulang tahun ke-28 pemerintah sudah merencanakan lockdown.

Hari ulang tahun saya waktu itu tepat di hari jumat. Kantor hanya membolehkan 50% karyawan yang masuk dan jadilah kami dibagi tim A dan tim B.

Malam harinya, sepulang dari kantor, saya mendapati pengumuman di grup kalau kantor memberlakukan WFH penuh mulai Senin mendatang selama 2 minggu.

Setelah 2 minggu, jumlah orang positif kian menjadi-jadi. Jadilah WFH diperpanjang lagi. Begitu seterusnya sampai sesudah Idul Fitri.

Setelah lebaran, pemerintah menggembar-gemborkan istilah New Normal. Setelah sebelumnya telinga dibikin pekak oleh istilah Jaga Jarak, Pakai Masker, Cuci Tangan.

Semua orang bicara New Normal dan perkantoran, mall, tempat makan, serta toko-toko mulai dibuka. Padahal faktanya jumlah orang positif masih meningkat.

Kondisi ini sama saja dengan mencemplungkan diri ke tengah-tengah samudera yang tak terukur dalamnya tanpa persiapan apa-apa sama sekali.

Kantor saya pun akhirnya buka dengan tetap menerapkan sistem tim A dan tim B. Tim A masuk minggu ini, minggu depannya tim B. Begitu bergiliran. Meski sebenarnya,tidak ada aturan yang mengharuskan kami masuk. Jadi, opsi saja.

Saya rasa bekerja dari rumah hingga waktu yang tak ditentukan sangat memungkinkan. Soalnya, bisnis digital di tempat saya bekerja bisa saja beroperasi tanpa harus datang ke kantor. Kita sudah dilengkapi oleh Microsoft Teams dan beragam software yang memungkinkan dilakukannya rapat dan kerjaan kantor secara daring.

Tanpa pertemuan secara fisik, kami semua bisa bekerja dan menjalankan roda bisnis seperti biasanya.

Malah saya pikir, pekerjaan jauh kebih efektif dan efisien dengan bekerja dari rumah. Sebaliknya kalau bekerja di kantor, kita malah menghabiskan banyak waktu untuk mengobrolkan hal-hal di luar pekerjaan.

Suka Duka WFH

bekerja-dari-rumah

Namun, setelah menjalani WFH selama 8 bulan, cara ini ternyata penuh juga dengan tantangan. Ada beragam pekerjaan domestik yang sering kali bercampur dengan pekerjaan kantor.  Apalagi jika seseorang telah berumahtangga.

Urusan anak, hubungan dengan pasangan, serta seabrek urusan rumah tangga lainnya pun berpengaruh terhadap kinerja seseorang. Maaf, jadinya curhat 😅

Saya merasakan tantangan ini. Dari Maret hingga Juli saya, Ade, dan Alinea tinggal bertiga di kontrakan tipe 45 kami di bilangan Kota Bambu Selatan, Palmerah, Jakarta Barat.

Ade mengatur jadwalnya menjadi dinas pagi selama bulan tersebut.

Dia akan berangkat sebelum pukul 7 pagi dan pulang setelah pukul 3 sore. Sepanjang waktu tersebut saya menemani Alinea sambil bekerja: menulis, mengedit, merevisi, dan meeting.

Saat subuh atau dini hari saya biasanya bangun untuk menyicil pekerjaan sebab saya tahu di siang hari saya tidak akan bisa bekerja penuh.

Di awal-awal semuanya mudah. Namun, semakin Alinea bertumbuh, semakin saya kesulitan. Belum lagi saya atau Ade biasanya harus memasak untuk makanan kita sehari-hari. Jika tidak sempat memasak, saya biasanya dengan sigap langsung memesan makanan melalui GrabFood.

Begitulah, dari hari ke hari hingga Ibu datang membantu kami mengurusi semuanya.

Untuk urusan kantor, selama WFH saya kehilangan beberapa rekan kerja sebab kontrak mereka yang tidak diperpanjang. Bahkan bos sekaligus mentor saya mau tidak mau harus menyetorkan laptop kantornya.

Saya sedih. Kami hanya bisa berucap pisah melalui layar.

Di sisi lain, ada beberapa rekan kerja baru yang masuk. Kami tiba-tiba jadi akrab karena proyek yang dikerjakan secara online. Padahal secara fisik kami belum pernah bertemu.

Jika dipikir-pikir lagi kondisi ini benar-benar aneh. Bagaimana mungkin kamu akrab dengan orang yang tidak pernah kamu temui?

***

Menjelang akhir tahun seperti ini, pekerjaan agak lebih ringan karena tidak ada pitching atau proyekan yang harus dimulai dari nol, sehingga beban kerja tidak bertambah.

Pekerjaan saya tidak lagi harus saya kerjakan di subuh, tetapi menyesuaikan dengan jam kantor dari jam 9 pagi ke jam 6 sore.

Saya menuliskan catatan 8 bulan WFH ini sambil menunggu jam kantor yang sejam lagi. Di Makassar sudah jam 9 pagi, tapi di Jakarta masih jam 8. Iya, sekarang saya WFH dari Makassar. 

***

Nih buat jajan