Lahiran Anak Kedua

lahiran-anak-kedua

Kukira hidup dengan seseorang yang dicintai bakal menghadirkan hari-hari bahagia yang indah untuk dijalani bersama hingga kita menghembuskan nafas terakhir.

Nyatanya, tidak.

Perkawinan adalah satu-satunya perang di mana kamu tidur dengan musuh. Kurasa adagium ini terbukti di saya selama 2 tahun terakhir.

Di tahun ketiga pernikahan Ade dan saya, kami mendapatkan satu lagi anak perempuan; Aira Azzahra Cendekiani.

Sebenarnya, Aira lahir tanpa direncanakan. Di bulan Mei kami tiba-tiba kaget karena Ade tidak menstruasi. Meski di awal kami mengalami denial, tapi tetap saja kami melakukan hal-hal terbaik selama 9 bulan. 

Mengunjungi dokter saban bulan, mengonsumsi makanan bergizi, minum vitamin, dan membatasi diri tidak keluar rumah demi terhindar dari virus Covid-19.

Hanya saja, selama 9 bulan; rasa-rasanya kami bertengkar dan saling diam hampir tiap minggu. Ade mengakui kalau dia mood swing, sedangkan saya bisa dengan mudahnya berbalik lebih marah dan stres jika didiami begitu saja.

Jika sudah begini, saya lebih memilih tidur cepat di awal malam agar besoknya bisa bangun dengan segar dan memulai hari yang baru.

***

Senin, 21 Februari 2022 lewat pukul 12 malam, Ade membangunkan saya. Dia meminta saya untuk mengantarnya ke rumah sakit karena perutnya yang sudah mulai kontraksi. 

Saya terbangun kaget dan tegang.

Dulu semasa Alinea akan lahir, Ade mengalami ketuban pecah dini secara tiba-tiba. Kontraksi baru dimulai setelah ia beberapa jam berbaring di ruang bersalin rumah sakit.

Lewat pukul 2 malam, Ade semakin gelisah dan kembali meminta diantar ke rumah sakit. Tapi, selang beberapa menit dia kembali berusaha tidur. 

Demi jaga-jaga, saya membuka laptop. Mengerjakan pekerjaan kantor yang harusnya saya selesaikan sebelum parental leave 3 hari kemudian.

Seusai sayup-sayup adzan subuh dari masjid, saya mandi lalu salat subuh. Ade semakin mengeluhkan kontraksinya dan kembali minta diantar. Tapi, lagi-lagi ia kembali meminta ditunda.

"Jam 10 pi, tunggu dokter dulu," ucapnya sembari kembali berbaring.

Sekitar pukul 10 pagi kami berangkat. Barang persiapan lahiran diikutkan. Alinea dan Ibu ikut. Tapi, di rumah sakit, oleh dokternya, Ade disuruh pulang menunggu 1-2 hari. Sebelum kami pulang, Ade swab PCR.

Wah, swab PCR ini adalah salah satu koreografi tambahan wajib selama pandemi. Jadi, bumil akan dicolok hidung dan tenggorokannya demi menerapkan protokol kesehatan lahiran sebab ada dokter dan bidan yang akan membantunya lahiran.

Seperti, biasa hasil PCR akan keluar dalam waktu 1x24 jam. 

Jika positif, bumil akan menjalani proses lahiran yang berbeda. Bagian ini saya tidak terlalu paham.

Kami tiba di rumah kitaran pukul 12 siang. Matahari menyengat kulit. Saya mandi, lalu masuk kantor dengan membuka laptop. 

Jelang maghrib kontraksi Ade semakin intens dan teratur. Saya baru ingat kalau besok adalah waktu yang tepat untuk lahiran karena tanggal cantik 22 02 2022.

Nah, belajar dari pengalaman Alinea dilahirkan, Ade bisa saja menginap di rumah sakit sambil menunggu proses lahiran keesokan harinya karena jarak pembukaan satu ke berikutnya biasanya berlangsung lama. Artinya, Aira bisa lahir di tanggal cantik. Yeay!

Tapi, tapi, sesampainya di ruang bersalin, saya meninggalkan Ade sendiri karena saya harus mengurus perintilan berkas. Waktu itu posisinya dia sudah pembukaan 3.

"Wah, masih lama jadi bisa santai beli makan dan jajan kopi," gumam saya dalam hati. 

Beberapa saat setelah saya selesai menandatangani lembaran-lembaran kertas, Ade menelpon, menjerit kesakitan, dan menyuruh saya bergegas agar ia bisa, ditemani. 

Saat balik ke ruangan, bidan atau perawat ya itu (?) memeriksa posisi janin dan saya kaget karena sudah masuk pembukaan 8 ke 9. Nah, loh?

Padahal cuma sejam saya meninggalkan Ade di pembukaan 3-nya. Balik-balik sudah di pembukaan 8.

Sejam berikutnya jadi 60 menit paling lama dan menyakitkan dalam hidup saya sejauh ini. Bagaimana tidak, Ade meraung-meraung tiap 2-3 menit sekali sambil mencubit dan memukuli saya.

"Sabar.. Sabar.. Tarik nafas, embuskan..," ucap saya tiap kali Ade meraung kesakitan. Nah, ucapan ini tidak hanya berlaku bagi dia, tapi juga saya. Soalnya, bingung mau harus, berbuat apa.

Dalam rentang waktu tersebut pula, bidannya bolak-balik memeriksa posisi bayi. 

"Hampir lengkap, dok," ucapnya melalui sambungan telepon dengan dokter Andi Emilda, dokter yang menangani Ade sejak awal kehamilan. 

Beberapa waktu kemudian dokter datang. Saya kaget. Hanya ada kami berempat di ruang bersalin. Ade, saya, dokter, dan seorang bidan. 

Kondisi ini berbeda saat Alinea lahir di RSAB Harapan Kita. Jika diingat-ingat, di ruang bersalin waktu itu setidaknya ada 10 orang. 

"Oh, mungkin karena Covid, ya," diskusi saya dengan Ade setelah lahiran. 

Tepat tanggal 21 Februari 2022 pukul 21.19 WITA Aira Azzahra Cendekiani lahir. Setelah usaha mengedan 4-5 kali. 

aira-azzahra-cendekiani

Dengan proses yang begitu cepat, Aira dikeluarkan, diserahkan ke dokter anak untuk diobservasi, jalan lahir Ade dijahit, dan saya mendapati diri mendapatkan edukasi dari perawat anak. 

Setelah dijelaskan semuanya, saya memeriksa Aira. Saya tidak diperbolehkan untuk menggendong lalu mengadzaninya.

"Dari situmi saja, pak," kata perawatnya.

Rambutnya hitam dan lebat, lengan dan pipinya berambut halus, dan kulitnya putih. 

"Cantik sekali," saya entah mengapa tiba-tiba jadi melow. 

Setelah pertemuan singkat untuk pertama kali itu, kami berpisah. Aira tidak mendapatkan Inisiasi Menyusui Dini (IMD), ia dibawa ke ruang ICU untuk observasi, dan saya kembali menemui Ade yang kehabisan tenaga. 

Sofa di samping ranjang bersalin Ade sungguh sangat menggoda. Saya rasa-rasanya capek lahir dan batin. Jadilah, saya ketiduran di sana hingga kitaran pukul 12 malam sebelum saya dan Ade dipindahkan ke kamar rawat inap. 

Saya melanjutkan tidur. Ade sepertinya tidak tidur dan kembali tenggelam dalam pikirannya sendiri. 

"Pa, positif pa," ucapnya sambil memperlihatkan WhatsApp dari Kemenkes. 

Dang! Saya yang tengah berusaha pulas tidur di pukul 3 pagi, tiba-tiba dapat kabar yang sungguh bikin lemas dan bingung, "Jadi gimana dong?" 

Hasil tes swab PCR Ade tadi siang positif. Kami sekeluarga kontak erat. Alinea, saya, dan ibu kemungkinan besar positif. 

Saya mengingat-ingat kembali kondisi kesehatan semuanya seminggu terakhir dan sependek ingatan saya, tidak satu pun di antara kami yang demam, flu, atau batuk. Artinya, bisa jadi kami termasuk Orang Tanpa Gelaja (OTG). 

Trus, Aira yang belum 24 jam di dunia yang fana ini gimana? Positif juga? 

Demi memastikan, dokter menginstruksikan untuk swab PCR. Malang nian nasibmu, nak. Baru lahir sudah harus dicolok-colok. 

Karena semuanya aman, Ade tidak bergejala, dokter menyarankan Ade untuk isolasi mandiri di rumah saja selama 10 hari. Siangnya saya mengurus berkas kepulangan. Malamnya, Ade, saya dan Aira meninggalkan rumah sakit. 

Hujan dan angin kencang mengiringi kepulangan kami. Macet di beberapa titik harus kami lalui. 

Sesampai di rumah, ada mama dan bapak yang kebetulan harus menginap. Rumah ramai dan begitu pula dengan hari-hari setelahnya. 


***

Nih buat jajan