Pulang ke Makassar untuk Kedua Kalinya

Jika bukan karena Nurul, adik saya, yang ingin menikah; maka rasa-rasanya kami akan sulit menginjakkan kaki kembali ke Makassar.

Kami meninggalkan Makassar akhir Mei 2023 setelah menghabiskan 3 tahun di kota ini selama masa Covid kemarin. Saya ingat betul, saya izin ke Nimas, bos saya di kantor, untuk WFH dari Makassar.

Izinnya dapat dan semua pekerjaan berjalan lancar.

Ekspektasi saya waktu itu adalah keluarga besar kami ada di sini. Untuk urusan menjaga cucu pasti kedua orang tua kami bisa diandalkan, sehingga saya bisa fokus bekerja.

Ternyata, ekspektasi ini ketinggian. 

Mama dan bapak saya sudah kepalang tua dan sudah tidak sanggup mengurusi balita. Mereka pengennya merekalah yang diurus oleh anak dan cucunya. Sementara, Ibu, mamanya Ade harus tetap bekerja menjahit toga selama Covid kemarin.

Saya dan Ade yang benar-benar buta dan tidak terpapar informasi mengurus anak; harus struggle tanpa pendampingan dan bantuan dari orang tua. Yang ada, malah kamilah yang selalu dijudge.

“Kenapa anakmu kurus?”

“Kok belum bisa bicara, ya?”

“Wah, nggak gini cara mengajar anak. Caramu ini salah.”

dan seterusnya.

Pertanyaan dan pernyataan inilah yang membuat Ade down. Karena ia beranggapan bahwa segala urusan anak ini adalah dia muaranya. Dialah penyebab anak kurus, dialah yang tidak becus mengajari anaknya.

Padahal, menurut yang saya baca, bahwa urusan membesarkan anak adalah tanggung jawab satu masyarakat. Tidak bisa kemudian urusan ketidakbecusan mengurus anak ini sepenuhnya adalah salah ibunya.

Makanya, lebaran tahun lalu, dengan alasan tiket mahal; kami memutuskan untuk tidak pulang saja. Begitu pula di libur akhir tahun.

Tapi, hari ini saya sedang menuliskan blog post ini dari Makassar.

Dari meja kerja yang saya beli waktu Covid di Mitra10, lengkap dengan kursinya. Sekadar info, meja ini bisa diposisikan berdiri. Jadi, saat kita kerja di meja ini, maka kita bisa untuk tidak duduk. Kalau capek berdiri, bisa diatur ke posisi duduk.

Saya juga mengetik blog post ini menggunakan keyboard iPad yang saya beli beberapa hari sebelum kami balik Jakarta di Mei 2023. Yang menarik, saya nggak membawa keyboard ini ke Jakarta karena Ade tidak suka.

Kami meninggalkan apartemen di Depok tepat jam 2 pagi. Alinea terhuyung-huyung sementara Aira digendong Ade dalam keadaan tidur. 

Selama perjalanan saya deg-degan, tapi mengantuk karena belum tidur sama sekali. Deg-degan karena saya harus memperhatikan si sopir, takut dia juga ketiduran dan kita semua satu mobil tertidur selamanya. Haha

Perjalanan lancar, tol baru yang kami lewati itu sangat sepi. Kami hanya sesekali disalip dan menyalip mobil lain. Sampai di bandara, kami langsung check in dan cari makan dulu. 

Sesudah itu kami baru menuju gate 19. Yang lumayan jauh. Lebih jauh dan terasa berat karena membawa anak.

Tanpa duduk-duduk dan mengantre panjang, kami langsung masuk ke pesawat dan bersiap lepas landas. Jika dipikir-pikir, spare waktu 3 jam dari jam keberangkatan itu memang sangat berguna jika bawa anak.

Kami tiba di Makassar jam 8.25 kemarin. Dijemput Nurul dan calon suaminya. Saya dan Ade seolah tidak percaya bahwa kami sudah di Makassar lagi.

“Kapan balik lagi ke Jakarta?” tanya bapak.

Sejauh ini kami memang belum tiket. Mengingat ramadan dan lebaran kurang lebih sebulan lagi. Jadi, bisa saja kami stay hingga setelah lebaran.

Apa yang menarik dari pulang ke Makassar untuk kedua kalinya?

Bagi saya, tiba-tiba memori selama masa Covid itu bangkit lagi. Selama masa Covid ada banyak hal yang terjadi. Kami balik Makassar, kami membesarkan Alinea, tiba-tiba Ade hamil lagi tanpa perencanaan, lalu Aira lahir.

Dan di tengah-tengah itu semua saya harus bekerja di rumah. Kehidupan pekerjaan dan kehidupan rumah tangga menyatu di satu tempat. Apa tidak pusing?

Nih buat jajan