Pernak-pernik yang menyerbu Makassar
.jpg)
Indonesia di tahun 2014 ini memasuki tahun politik. Ini adalah tahun ketika digelar pemilihan calon legislatif di DPRD Kabupaten/Kota hingga DPR RI Pusat. Hajatan lima tahun sekali ini akan berlangsung 9 April 2014 mendatang. Selain itu, Pemilihan Presiden akan dilaksanakan 9 Juli 2014. Jika menghitung sisa hari pemilihan anggota legislatif dari hari ketika tulisan ini dibuat tanggal 9 Maret 2014, maka tepat tinggal sebulan lagi. Ketika calon presiden yang akan berlaga di Pilpres mendatang telah menebar atribut-atributnya jauh sebelum masa kampanye dibuka, lalu bagaimana dengan para calon legislatif? Apakah mereka bersih dari pemasangan baliho, bendera partai, dan rontek?
![]() |
Photo : Jumardan Muhammad |
![]() |
Photo : Jumardan Muhammad |
![]() |
Photo : Jumardan Muhammad |
x
Sepulang
dari diskusi itu, saya memacu motor menuju rumah teman di Jalan Malengkeri. Sekisar
pukul 11, saya melintasi Jalan Andi Pangeran Pettarani dari Jalan Sultan
Alauddin menuju Jalan Pelita Raya. Melintas tepat di depan Hotel Clarion, saya
menoleh ke kanan, ada dua orang yang menarik perhatianku ketika berkendera. Mereka
menggali tanah di seberang jalan. Dua orang lagi menyandarkan balok yang telah
dipasangi baliho berukuran 4x6 meter ke pohon. Di sisi kiri kanan mereka
terdapat orang yang menancapkan bilah-bilah bambu yang telah dipasangi bendera
partai berwarna biru dan baliho berukuran kecil.
Keesokan
paginya menuju kampus UNM Parangtambung, saya terkejut. Keterkejutan saya
bermula tepat di perempatan Jalan Hertasning dan Jalan Andi Pangeran Pettarani
hingga pertigaan Jalan Sultan Alauddin dan Jalan Andi Pangeran Pettarani.
Bagaimana tidak, sepanjang jalan tersebut telah membiru oleh bendera partai,
baliho besar dan kecil.
Rupanya,
partai yang menyampahi setengah Jalan Andi Pangeran Pettarani itu adalah Partai
Demokrat. Partai berlogo mirip logo Mercedes Benz ini tengah menggelar debat
peserta konvensi partai. Mereka sedang mencari calon presiden yang akan berlaga
di Pilpres akhir tahun 2014 ini.
Dari
11 peserta konvensi, tak seorang pun dari mereka berasal dari Makassar. Mungkin
mereka tidak tahu bahwa di kota ini ada Peraturan Walikota (Perwali) Nomor
18/2013 yang melarang keras pemasangan atribut partai politik dan iklan
komersial di 18 ruas jalan di Makassar, salah satunya Jalan Andi Pangeran
Pettarani.
KPU
kota Makassar pada Desember 2013 lalu mengampanyekan jadwal caleg menggunakan baliho.
Sekitar 100 meter dari tempat tinggal saya, di pertigaan Jalan Pelita Raya 2,
terpampang sebuah baliho raksasa KPU yang dipasang secara serampangan di tembok
rumah. Sekitar 100 meter lagi dari baliho tadi, tepat di tiang jembatan
penyeberangan di Jalan Andi Pangeran Pettarani, tergantung juga baliho raksasa
KPU yang masing-masing ujungnya diikatkan di pagar jembatan penyeberangan.
Dari
data yang dirilis oleh Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Kota Makassar
Desember 2013 lalu setidaknya ada 30.820 atribut caleg yang melanggar. Jelas ini angka fantastis!
Ketika
masyarakat habis-habisan mengkritik ini, para caleg dengan santainya akan
berkilah bahwa pemasangan atribut-atribut tersebut bukan mereka yang lakukan, melainkan
para tim kampanye. Bagaimana mau mengurusi masyarakat ketika tim kampanye saja
tidak bisa diurusi?
Pemilihan
caleg dan pemilihan presiden mendatang ini bak magnet. Selain memiliki sisi
negatif, juga memiliki sisi positif. Selain lembaga survei dan konsultan
politik ikut mendapat banyak pekerjaan, pendapatan bisnis percetakan juga
meningkat tajam. Dari hasil tanya-tanya yang saya lakukan di beberapa percetakan
di Jalan Sungai Saddang, saya mendapati beberapa percetakan yang pendapatannya
meningkat 30% dibanding saat sepi momen politik lima tahunan tersebut.
Selain
bisnis percetakan, sektor lain yang meraup banyak untung dari pagelaran
demokrasi ini adalah Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Kota Makassar. Dari data
yang didapatkan majalah Bisnis Sulawesi
edisi 64 2014 mengungkapkan, hingga Januari 2014 Dispenda berhasil
merealisasikan pajak reklame hingga 100%. Angka fantastis yang kemudian membuat
saya bertanya dalam hati, lantas apakah dengan reklame di mana-mana, warga kota
Makassar baik-baik saja? Ingatan saya kemudian terbawa ke Desember 2013 lalu.
Akun Instagram @supirpete2 memosting
foto seorang ibu yang jatuh dari motor akibat tertimpa baliho raksasa yang roboh
di Jalan Haji Bau. Masih di bulan yang sama di Jalan Sungai Saddang dekat
perempatan jalan Veteran, kendaraan sempat mengalami kemacetan karena terdapat
baliho raksasa yang juga roboh.
“Jumlahnya
itu alat peraga kampanye sama iklan komersil di tahun 2009 dan 2014 hampir sama
banyak ji sama sebenarnya. Cuma 2014
itu agak teratur mi pemasangannya
karena sudah ada aturan,” ungkap Irfan Arifin, dosen Desain Komunikasi Visual
UNM. Irfan yang juga seorang desainer grafis itu menambahkan bawah penyebab
menjamurnya baliho dan semacamnya karena biaya percetakan semakin murah dan
mudah.
Lain
halnya dengan apa yang diamati Abi Nur Abdiansyah. Alumnus pascasarjana
Institut Seni Indonesia Yogyakarta ini menerangkan bahwa jumlah alat peraga
kampanye tahun 2009 jauh lebih banyak dibandingkan tahun 2014. Menurutnya,
tahun 2009 adalah tahun meledaknya bisnis digital
print di Makassar. Berbeda tahun 2014, walaupun ongkos percetakan murah,
tapi caleg mulai pintar. Sebagian dari mereka tidak mau lagi menebar atribut
kampanye di jalan. Para caleg menggunakan strategi kampanye door to door, sebab hal ini dirasakan
jauh lebih efektif karena dapat bertemu langsung dengan pemilih. Media yang
digunakan adalah kebanyakan stiker, kalender, dan pembuatan rumah-rumah
pemenangan.
Dalam
sebuah tulisan Muhammad Iqbal Ramadhana di Kompasiana
mengungkapkan bahwa sesuatu yang dilihat terus menerus (biasanya lebih dari 63
kali) itu dapat menimbulkan rasa bosan dan kesal orang yang melihatnya. Sementara realitas yang terjadi adalah iklan di luar
ruang yang sifatnya liar dan tidak dikenai pajak reklame oleh Dispenda itulah
yang kadang tahan selama berbulan-bulan bahkan hingga bertahun-tahun.
Dosen
Desain Komunikasi Visual Institut Seni Indonesia Yogyakarta, Sumbo Tinarbuko
menyebut masalah ini sebagai fenomena sampah visual. Sampah visual, menurutnya,
adalah semua iklan luar ruang yang dipasang tidak sesuai dengan peruntukannya,
ditancapkan di ruang publik, ruang hijau, bangunan bersejarah, traffic light, dan trotoar. Masalah yang
diamatinya selama tiga tahun belakangan ini memang merupakan masalah yang tidak
bisa dinafikan seiring perkembangan teknologi industri percetakan. Menurutnya,
pengiklan, biro iklan, pemasang iklan punya hak untuk hidup dari iklan
tersebut, namun masyarakat juga berhak hidup di lingkungan yang tidak dirusak
karena iklan.
Kembali
ke diskusi Anies Baswedan malam itu. Dia menutup diskusinya dengan berkata
bahwa dia datang tanpa membawa atribut
kampanye dan partai untuk kemudian di pasang di jalan-jalan di Makassar. Dia
datang dengan ‘bersih’ dan dia juga akan pulang dengan ‘bersih’. Saya sepakat
dan juga sepakat dengan pernyataannya bahwa kelak jika dia terpilih sebagai
capres dia tidak akan mengotori Indonesia dengan atribut kampanyenya. Suatu
pertanyaan yang semoga didengar dan diejawantahkan oleh para calon legislatif,
calon presiden, pelaku bisnis komersial, hingga pelaku usaha sedot wc.[]
Post a Comment