Nilai KKN-mu dapat A?



"Bermalammi, tidak papaji, sekali seumur hidupji itu orang KKN nah, kalau S2, tidak adami lagi KKN," ajak Fiqar, pengurus Panitia Hari Besar Islam (PHBI) Desa Sampulungan.
Malam itu sesuai shalat tarwih kami bersebelas menghadiri rapat PHBI yang terbentuk dua hari sebelumnya. Struktur kepengurusan dan logonya adalah usulan dari kami mahasiswa Kuliah Kerja Nyata (KKN) Reguler Universitas Negeri Makassar (UNM) Angkatan XXXI 2014 yang ber-KKN di desa ini. Fiqar mengajak kami untuk menginap di masjid malam itu.

Sampulungan adalah salah satu dari sebelas desa yang ada di kecamatan Galesong Utara, Takalar. Desa termuda di Galesong Utara yang terbentuk dua tahun lalu ini merupakan pemekaran dari desa Tamalate, terdiri empat dusun, yakni, Sampulungan, Sampulungan Caddi, Sampulungan Lompo, dan Sampulungan Beru. Berbatasan langsung dengan Jalan Poros Galesong dan Selat Makassar.

"Desa ini bisa dibilang semimetropolis, karena hanya tiga kilometer dari Barombong, Kota Makassar. 30 menit ji naik motor, 5 menit naik ambulans," kelakar Syamsu Rijal Lengu, Sekretaris Desa, saat perkenalan.



Berangkat dari halaman Auditorium Amanagappa 11 Juli 2014 menuju Kantor Bupati Takalar untuk penerimaan di tingkat kabupaten, kami tiba di kantor kecamatan tepat ketika jam menunjukkan pukul 11.30 WITA. Seusai shalat jumat, barulah kami menuju posko, dijemput langsung oleh sekretaris desa.

Sejam berada di posko, saya baru tahu, bahwa kami yang harusnya berjumlah dua belas orang, harus berkurang satu, sebab kepindahan salah seorang teman ke posko lain. Adalah Ahmad (PGSD/FIP) sebagai koordinator desa, Haikal (Penjaskesrek) sebagai sekretaris koordinator desa, dan Husni (Pendidikan Antropologi/FIS) sebagai bendahara koordinator desa. Sisanya, adalah Afdal (Pendidikan Bahasa Inggris/FBS), Yusrin (PGSD Dikjas/FIK), Lia (Pendidikan Antropologi/FIS), Lina (Pendidikan Antropologi/FIS), Mila (Pendidikan Bahasa Jerman/FBS), Egi (Penjaskesrek/FIK), Ida (PGSD Dikjas/FIK), dan saya (DKV/FSD) sebagai anggota dari posko ini. Seminar desa yang berlangsung tanggal 17 Juli 2014 menetapkan 11 program kerja untuk Desa Sampulungan, yang akan dilaksanakan dalam dua bulan, termasuk perayaan 17 Agustus.     







"Oo.. Kak!" seru Rida ketika saya melintas depan rumahnya. Dia adalah siswa kelas 1 SMP di desa ini.

Apa yang diserukan Rida juga diserukan oleh anak-anak lain ketika bertemu dengan teman-teman mahasiswa KKN. Mereka selalu bersemangat menyapa kami dan bertanya apa saja menggunakan bahasa Makassar. Kadang, teman-teman yang tidak paham bahasa Makassar menegur mereka untuk menggunakan bahasa Indonesia. Anak-anak ini, bukannya tidak bisa berbahasa Indonesia, melainkan, mereka hanya terbiasa menggunakan bahasa ibunya.

Hal ini mengingatkan saya akan tulisan M Aan Mansyur di buku Esai Tanpa Pagar. Di dalamnya, Aan menuliskan bahwa George Orwell dalam novelnya berjudul 1984 dengan jelas menunjukkan kekuatan bahasa dan imajinasi.

"Jika ingin menghancurkan satu kebudayaan, hancurkan bahasa dan imajinasi anak-anaknya," Orwell.







"Bersyukurka' karena ada anak kota yang mau KKN di desaku kodong. Itumi juga, malu-maluki' bergaul sama anak kota, ka anak desaki' kita' kodong."

Dalam beberapa kali perbincangan, sekretaris desa, yang akrab kami sapa Kak Rijal selalu mengulang-ulang kalimatnya itu. Bahkan di pesan kesan seminar evaluasi kecamatan.

Serentak, kami pun mendelik bahwa kami semua juga adalah anak desa yang datang ke kota untuk menuntut ilmu. Malah, lokasi KKN kami inilah yang sebenarnya 'kota' karena letak geografis yang dekat dengan ibukota provinsi.

Tawa pun pecah seketika.

Bukankah sebuah kota dibangun oleh kehidupan di desa?





11 orang teman sekelas saya juga sedang ber-KKN dan kami menyebar di tiap desa, kecamatan, dan kabupaten yang berbeda. Melihat personal status blackberry messsanger mereka, membuat saya berpikir bahwa apa yang mereka alami selama dua bulan di lokasi KKN juga sama dengan yang saya alami. Maksud saya, atmosfer ber-KKN kami pada dasarnya sama. Suka dan duka.





"Weh, siapami itu dua orang se-poskota' yang ada namanya di pembimbing di'? tanya Husni dengan wajah cemas, seminggu sebelum penarikan.

Ha? Kenapaikah?

"Iyo. Ada dua orang bede' temanta' yang dilapor sama pembimbing gara-gara selalu pulang Makassar. Deh, bisa-bisaki' tidak dapat A itu kaue. Atau takkala erorki',"  jelasnya lagi.

Oh, hahaha..

Saya menjawabnya datar dan tidak terlalu menyoalkan dapat nilai A atau tidak. Di motor, di perjalanan menuju seminar evaluasi kecamatan, Afdal tiba-tiba bilang, "Beranika' saya adui kualitasnya program kerjata' dengan desa lain nah. Bukanji masalah nilai A sebenarnya ini, masalah bagaimana kualitasnya KKN-mu, apa yang kau kasi' sama orang dan apa yang masyarakat rasakan selama dua bulanko di desamu."


Benar saja, menurut catatan Mata Najwa di episode Belajar Dari Habibie, "Anak muda lekaslah menyiapkan diri, menyongsong hidup sebagai karya, bukan perlombaan ego diri."

***

Nih buat jajan