Saya dan Sepuluh Adegan Politik yang Membunuh


Dua bulan setelah Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014, orang-orang tak henti-hentinya bicara politik. Wajar saja, sebab 2014 adalah tahun politik. Pembicaraan mengenai politik pun kemudian 'naik panggung' dan diperbincangkan oleh seniman untuk dinikmati oleh masyarakat Makassar.
Adalah Shinta Febriany dan Aslan Abidin yang 'menaikpanggungkan' politik dalam pementasan teater "Sepuluh Adegan Dari Politik yang Membunuh" di Teater Tertutup Gedung Kesenian Societeit de Harmonie, minggu malam (14/9).

Pementasan yang diproduksi oleh Kala Teater ini melibatkan empat orang aktor, yakni Dwi Lestari Johan, Awaluddin Arsyad, Muammar Hamid, dan Nurhidayah. Dengan durasi sekira satu jam.







"Deh, Yaya', tampilmi," bisik saya ke kak Mey sesaat sebelum pementasan dimulai. Yaya' yang saya maksud disini adalah Nurhidayah. Mahasiswa psikologi UNM yang pernah saya kandang paksa untuk ikut di produksi dokumenter tugas kuliah.

"Iya, pentas pertamanya ini."

"Kenapa are' langsung bisa main di'? Baru Kala Teater lagi."

Kak Mey tidak menjawab saya. Bergantian empat orang pemain pun mondar mandir di panggung. Setelah itu, suara-suara latar belakang perempuan diperdengarkan. Kalimat-kalimat yang mereka lontarkan adalah jawaban dari pertanyaan perihal politik. Menurut Shinta, jumlah mereka 100 orang perempuan dari berbagai latar belakang.  





Kedatangan saya malam itu, hanya karena dua hal :
1. Melunasi janji saya ke Yaya' untuk membeli tiket pementasannya.
2. Memasangkan roll ke kamera kak Mey, yang karena malam sebelumnya tidak sempat saya bantu.

Kedua hal tersebut membuat saya duduk di barisan paling belakang penonton. Hingga kemudian saya harus mengiyakan kesepuluh adegan politik tersebut bahwa itulah realita konkret perihal politik, serta mengamini dialog yang mengatakan, "Negeri ini adalah negeri tragedi."

Nih buat jajan