Catatan Pertemuan II : Workshop Penulisan Kritik Seni Rupa Makassar Biennale 2015
![]() |
Suasana pertemuan II workshop penulisan kritik seni rupa Makassar Biennale 2015. Foto : @jumardanm |
Menggambar menggunakan pensil 2B sungguh
membosankan bagi saya, betapa tidak, berlembar-lembar kertas habis hanya dengan
warna hitam putih dan gelap terang, dikerjakan di sekolah, jika tidak selesai
boleh dibawa pulang dengan syarat minggu depan sudah harus selesa dan dikumpul.
Ingatan-ingatan 9 tahun lalu ini kemudian terputus ketika dua perempuan
mondar-mandir dihadapan saya sambil meletakkan piring kecil berisi dua potong
kue di atas meja dan segelas air bening dingin yang kutebak sprite.
Adalah Prof. Sofyan Salam yang menghadirkan
kenangan ini, bertindak selaku narasumber pertama dalam kelas menulis kritik
seni rupa (6/9) yang digelar dalam rangka Makassar Biennale 2015 bekerjasama
dengan Tanah Indie. Dipilihnya Pembantu Rektor 1 Universitas Negeri Makassar (UNM)
sebagai narasumber pertama dalam kelas tak lain karena dia merupakan
satu-satunya pendokumentasi perjalanan seni rupa di Sulawesi Selatan hingga
tahun 2000. Semua dicatat dalam bukunya berjudul Seni Rupa Mimesis dan Modern
Kontemporer di Sulawesi Selatan yang diterbitkan Dewan Kesenian Sulawesi
Selatan.
Hanya ada dua pilihan bagi kami
para peserta penulisan kritik seni rupa menurut professor yang angkat jempol
terhadap seniman-seniman yang hidup dari karya : pertama, penulis yang
bertindak selaku kritikus, memprovokatori hal-hal yang ada dan bertentangan
dengan pemikirannya. Kedua, penulis yang
menjadi pengamat, berprilaku sebagai orang biasa namun mendokumentasikan
hal-hal yang terjadi. Kepemilikian ideologi pun menjadi syarat mutlak dalam dua
golongan penulis ini.
“Tanpa membaca, saya sudah tahu
akan lari kemana tulisannya, karena saya sudah tahu bahwa dia adalah orang yang
kritis,” ungkap Prof. Sofyan mengambil contoh Muh. Faisal, dosen Universitas
Muhammadiyah. Prof. Sofyan pun menyatakan dengan terang-terangan bahwa dia
termasuk penulis golongan kedua.
Menurut professor yang menyelesaikan studi doktoralnya di Amerika Serikat ini, untuk menuliskan seni rupa, tampaknya kita hanya perlu melakukan empat hal :
Menurut professor yang menyelesaikan studi doktoralnya di Amerika Serikat ini, untuk menuliskan seni rupa, tampaknya kita hanya perlu melakukan empat hal :
1. Kumpulkan katalog dan dokumentasi pameran.
Katalog dan foto-foto selama
pameran merupakan bukti otentik sebuah pagelaran karya. Hal ini menjadi poin
penting pertama bagi kita yang akan menulis tentang seni rupa.
2. Identifikasi sosial media.
Munculnya media daring membuka
peluang bagi siapa saja untuk memiliki sosial media, pun dengan seniman. Sosial
media kemudian menjadi ruang hadirnya diskusi karya dan gagasan yang tidak bisa
dinafikan.
3. Kehadiran seniman-seniman muda
setelah tahun 2000.
Prof. Sofyan menjadi kikuk ketika
diminta menjadi narasumber oleh panitia Makassar Biennale 2015, pasalnya sejak
menjadi pejabat di UNM, pria berambut putih ini mengaku tak lagi mengikuti
perkembangan seni rupa di Makassar selama 15 tahun terakhir. Otomatis dia pun tidak
mengikuti kehadiran sosial media yang telah menjadi ruang pamer bagi
seniman-seniman muda. Hal inilah yang menurutnya perlu kami perhatikan dengan
saksama.
4. Seni Rupa Baru.
“Bahwasanya dunia saat ini telah
dijejali oleh visual. Manusia tak lagi terpisahkan oleh visual, mulai bangun
hingga mereka tidur kembali. Pendidikan seni di Amerika Serikat dan Australia
saat ini sudah mengakui visual culture
art education sebagai seni rupa baru,” jelas Prof. Sofyan. Hanya saja,
lanjutnya, kekurangan visual culture art
education adalah adanya muatan politik di dalamnya yang didominasi oleh
para pejuang-pejuang gender, hak asasi manusia, korporasi, dll.
***
Pembicaraan mengenai seni rupa
baru ini berlanjut, bahwa perbedaannya dengan seni rupa tradisiona adalah
estetika dan ideologi. Seni rupa baru melulu berlandaskan pada ideologi,
membicarakan media-media yang digunakan dalam berkarya, namun tidak lagi
mempermasalahkan teknik dan estetika. “Ketika orang-orang beralih ke seni rupa
baru maka siapa lagi yang akan menggarap teknik dan estetika?” Prof. Sofyan
mengakhiri penjelasannya mengenai seni rupa tradisional dan seni rupa baru.
Pada bagian inilah memori mengenai mata pelajaran Kesenian di SMP saya
menyeruak. Guru saya saat itu tampaknya belum bisa mengidentifikasi dan tidak
mau mengintervensi para siswanya apakah ada di antara mereka yang akan menjadi
perupa atau tidak, yang jelas dia hanya mengajarkan keterampilan dasar, yang
menurut Prof. Sofyan adalah hal yang terpenting dimiliki oleh seorang seniman
rupa. “Itulah makanya, seleksi masuk pendidikan seni rupa di Indonesia menyelenggarakan
tes keterampilan berupa menggambar bagi para calon mahasiswa baru. Tes bakat
untuk kesenimanan, tes akademik untuk kesarjanaan.”
Saya akan merasa berdosa jika
mengakhiri tulisan ini tanpa memberitahu suatu hal menarik (menurut saya)
mengenai kepelukisan di Sulawesi Selatan. Menurut Prof. Sofyan, Sulawesi
Selatan tidak memiliki kebudayaan melukis. Orang-orang dahulu hanya mengenal mappatta (bugis) diserap dari bahasa
Indonesia, yakni menyajikan fakta, dalam aliran lukis dikenal dengan istilah
naturalis, mereka hanya menggambar apa yang mereka lihat. Yang ada di Sulawesi
Selatan hanya menganyam, mengukir, menenun, dan mematung. Melukis katanya,
adalah kebudayaan orang-orang Eropa. Usahlah kita mendalami ajaran-ajaran
Vincent Van Gogh, Leonardo da Vinci, Pablo Picasso, dll, fokuslah pada apa yang
ada saat ini yakni, kebudayaan visual.
Post a Comment