3 Hal di 2015

Saya merasa gagal ketika melewatkan 2015 tanpa menceritakan hal-hal berkesan. Sebab seperti yang dikatakan Suwarno Wisetrotomo di kelas penulisan kritik seni rupa Makassar Biennale 2015 bahwa ingatan kian terbatas sementara banyak hal yang ingin diingat. Tenang, saya tidak akan curhat tentang tugas akhir saya yang belum berakhir di 2015. Saya akan memberitahu kamu tentang buku, film, dan musik yang paling berkesan saya baca, nonton, dan dengarkan di 2015.
Kenapa buku, film, dan musik? Sebab ketiga hal ini adalah yang paling membekas sejak setahun lalu. Adalah bang Moses, kepala sekolah Galeri Foto Jurnalistik Antara Jakarta yang menanyakan hal ini ketika saya sedang tes masuk untuk sekolah fotojurnalistik di Galeri Foto Jurnalistik Antara Makassar. Selain itu, ketiga hal ini pun ditanyakan ketika melamar kerja di industri kreatif, menurut blog seorang reporter majalah anak muda tersohor di Jakarta yang saya ikuti. Beberapa media daring antimainstream menjadikan pertanyaan ini sebagai pertanyaan wajib ketika mewawancarai pekerja di industri kreatif. Lagian, saya sedang berada pada zona nyaman tahun ini, cap kekasih saya. Kerjaan saya hanya, tidur, membaca, menonton, sesekali menulis, memotret, kerja tugas akhir, bimbingan, revisi, bimbingan, revisi, menurut kekasih saya.

Jadi, buku, fim, dan musik terbaik itu adalah ini :

1. Bukan Pasar Malam.


Ini karya pertama Pramoedya Ananta Toer yang saya baca, buku lama, tapi diterbitkan lagi di Agustus 2015. Sebenarnya ada banyak buku yang berkesan tahun ini, diantaranya Dilan 2 yang ditunggu-tunggu terbitnya, namun akhirnya mengecewakan. Dua karya Remy Silado, Menunggu Matahari Melbourne dan Malaikat Lereng Tidar yang saya ulas di Revius. Namun ternayata yang paling menohok adalah Bukan Pasar Malam. Buku ini pinjaman dari seorang teman, padahal saya pernah punya Bumi Manusia, tidak sempat dibaca kemudian hilang. Karya Pram ini sederhana, bercerita tentang seorang anak yang terpaksa pulang kampung karena ayahnya jatuh sakit. Latar tempat penulisan roman ini adalah di Blora, Jawa Tengah, sedangkan latar waktunya sesaat setelah Indonesia merdeka. Roman ini adalah cerita realis, idealis, dan nasionalis. Seorang bapak yang ikut memperjuangkan kemerdekaan negaranya, lantas setelah merdeka, ia memilih mengundurkan diri dari partai dan menjadi guru sekolah. Ditawari menjadi anggota legislatif, ia tidak mau. Hingga akhirnya, dia dan keluarganya harus terlunta miskin. Negara melupakannya, rumah sakit merawatnya di bangsal gratis yang artinya dirawat bersama dengan para miskin lainnya. Dokter di rumah sakit itu pun hanya satu. Rumahnya reyot, tak layak tinggal. Diakhir cerita si bapak meningggal dunia bersama sakitnya. Ada banyak pelajaran hidup yang realistis di dalamnya, yang saya rasa tak menggurui. Novel tipis ini terbit pertama kali tahun 1951. Apa yang terjadi di dalamnya, toh, masih terjadi saat ini, setidaknya hingga akhir 2015. Bagaimana orang-orang saling sikut berebut harta, tahta, dan jabatan, menghalalkan segala cara. Sementara di tempat lain, orang-orang miskin pontang panting bertahan hidup.


2. Little Prince.


Saya menemukan cerita ini dalam bentuk buku di instagram, dari seorang keren yang saya ikuti. Belakangan saya tahu Dian Sastro pun ternyata membacanya dan dia amat terkesan. Tapi ini bukan masalah Dian Sastro membacanya atau tidak. Secara kebetulan judul ini juga pernah saya dapati di komputer jinjing seorang teman. Makanya, dengan penasaran saya meminta salinan filmnya. Saya menonton tanpa ekspektasi dan penggambaran sebelumnya. Film animasi dengan dua teknik ini mengisahkan perihal pertemuan anak perempuan kecil dengan seorang kakek yang merupakan tetangganya. Si kakeklah yang kemudian menuturkan tentang Little Prince yang pernah ditemuinya, yang hidup seorang diri di sebuah planet yang hanya sebesar dirinya. Beberapa tokoh dalam film ini nyata ada di dunia yang kita tinggali. Hanya saja dalam bentuk sifat dan karakter : sok bijaksana, sok dewasa, dan senang dipuji adalah beberapa diantaranya. Pada sisi lain kenyataan bahwa kita tumbuh menjadi dewasa dan melupakan jiwa kanak-kanak kita, adalah pelajaran lain film ini. Saya rasa kamu perlu menonton film ini, jika tak sempat membaca bukunya. Saya tercengang sehabis menontonnya dan membuat berpikir beberapa jenak. Oh iya, film ini awalnya buku. Judul aslinya Le Petit Prince, ditulis oleh Antoine de Saint-Exupery, salah satu film Perancis yang saya tonton tahun ini selain Amelie Poulain. 


3. Silampukau - Dosa, Kota, dan Kenangan.

Album Silampukau

Menurut waktunya, saya sebenarnya salah urut. Silampukau adalah hal pertama yang saya dapati, kemudian Little Prince, terakhir Bukan Pasar Malam. Setelah membaca Bukan Pasar Malam, saya berpikir, ternyata beberapa hal yang saya dapati tahun ini adalah pelajaran besar tentang kehidupan. Mama sepanjang tahun sakit, saya harus bolak balik Sengkang menemaninya sambil merampungkan penelitian dan pemotretan saya untuk tugas akhir. Kekesalan saya terhadap perubahan yang terjadi pada Makassar, tempat saya menetap beberapa tahun belakangan membuatnya semakin lengkap. Hingga di November kemarin, saya menghabiskan banyak waktu dengan Herman, teman sekelas saya. Dia merekomendasikan dua album, FSTVLST dan Silampukau. Album FSTVLST yang diperdengarkan rilis tahun lalu, sedangkan Silampukau adalah album 2015, keduanya menarik. Dua album ini tidak bisa dibandingkan, masing-masing hebat dalam pemilihan kata untuk lirik-liriknya, menurut saya. Maaf, saya tak tahu apa-apa tentang musik. Saya hanya dicandu kata-kata, saya mencintai kata-kata. Kata Aan Mansyur, kata-kata adalah semeseta. Dosa, Kota, dan Kenangan berisi 10 lagu, semua berlatar Surabaya, kota asal band ini. Dan saya rasa, apa yang terjadi di lagu-lagu itu, juga terjadi disini, Makassar. Dan hidup yang saya lalui setahun ini.

Selamat tahun baru 2016!

***

Nih buat jajan