Hikayat Jean Calas dan Mereka yang Gagal Jantung

Pernah suatu sore di Kampung Buku, usai menyelesaikan bacaan di rubrik literasi Tempo Makassar saya melempar koran itu ke atas meja sambil menghela napas panjang. Kak Jimpe yang duduk di depan saya bertanya, "Kenapa?"
"Tidakji kak, begituji pale' literasi. Kumpulan beberapa tulisan, data, yang dikaitkan dengan kejadian sekarang, trus ditutup dengan pendapat pribadi."

"Begituji memang. Rajin membaca saja."

Adalah reading IELTS yang kemudian menjadi perangsang hadirnya tulisan di bawah ini. Reading berjudul Optimism and Healthy itu kemudian menggiring saya mengingat bacaan Voltaire tentang toleransi sekira akhir tahun lalu.  Ditambah lagi dengan tagar #BandungIntoleransi yang saya baca di linimasa twitter beberapa hari lalu. Tulisan ini tayang di http://kareba.dutadamai.id/ 10 Desember 2016.
------------------
Bahwa ada yang lebih luas dari alam semesta yang kita huni saat ini, yaitu alam pikiran. Pikiran bisa jadi penentu tindak tanduk manusia di alam semesta. Dua hal signifikan dari pikiran yang baik adalah optimisme dan kesehatan. Pikiran adalah segalanya, sehat sakitnya jasmani tergantung dari baik buruknya rohani. Jika ada yang menggadang-gadang slogan sehat berawal dari pikiran, maka pernyataan tersebut tidak mengada-ada.

Adalah Brice Pitt, seorang profesor di bidang psikiatri di Imperial College London yang mengatakan bahwa optimisme adalah satu-satunya hal yang akan menyelamatkan kita dari keterpurukan dan akan menuntun pada kebahagiaan. Hal ini dibuktikan dengan penelitian Martin Seligman—profesor psikologi yang juga penulis buku Learned Optimism, menemukan bahwa ketika kesulitan datang, orang yang optimis berhasil melaluinya dengan baik dibanding dengan mereka yang pesimis. Para optimistik tetap menyelesaikan pekerjaannya dengan baik, mengelola stres dengan bijak, dan mendapatkan hasil pekerjaannya dengan sempurna. Sedangkan, orang-orang pesimis berbanding terbalik. Mereka terjebak dalam pikirannya yang tidak-tidak sehingga tidak melakukan apa-apa.
Salah satu muara dari optimisme adalah kesehatan. Sebuah riset yang dilakukan oleh Becca Levy—psikolog di Universitas Yale, mengambil sampel 660 orang relawan telah menunjukkan bahwa mereka yang berpikiran positif dapat memperpanjang umurnya tujuh tahun lebih lama. Seorang peneliti di Harvard Medical School, Rosalind Wright pun menemukan bahwa mereka yang bersifat optimis memeroleh manfaat berupa peningkatan fungsi jantung dan sistem kekebalan tubuh, sehingga mengurangi resiko gagal jantung.
Atas keriuhan yang terjadi di dunia maya dan dunia nyata akhir-akhir ini yang benang merahnya  adalah mendebat perbedaan, ada baiknya kita tidak usah repot-repot mengikuti arus dan berubah pesimis, meskipun hal ini telah terjadi berulangkali dengan isu yang beragam. Orang-orang optimis memiliki hubungan yang baik kepada sesama manusia dibanding mereka yang pesimis. Bukannya apa, begitu tidak menyenangkannya akhir tahun ini jika kemudian hari di media daring, viral berita dengan headline : Menyedihkan, orang ini gagal jantung karena meretwit larangan mengucapkan selamat natal.
Begini, di Indonesia ini, bisakah perbedaan agama dan pendapat ini kita sikapi dengan pikiran terbuka? Tidak dengan menyalahkan bahwa pendapat (agama) ini benar dan yang itu salah, dan yang salah akan masuk neraka. Terkait hal ini saya teringat kisah Jean Calas yang tinggal di Toulouse—sebuah kota di barat daya Prancis. Dia seorang pedagang dan juga ayah yang baik. Keluarga Calas menganut agama Protestan, kecuali Louis Calas salah seorang anaknya yang memilih Katolik. Dia tidak mempersoalkan hal tersebut, malah dia memberikan tunjangan hidup kepada Louis. Dia juga punya pembantu wanita yang merupakan penganut taat agama Katolik yang mengasuh anak-anaknya. Suatu hari, anak sulungnya Marc-Antoine, seorang pesimis yang jiwanya penuh dengan kegelisahan, memilih gantung diri. Tetangganya yang berbeda agama, kepercayaan, dan temperamental berkerumun menyaksikan kejadian itu. Mereka menggangap bahwa keluarga Calas sengaja melakukan pembunuhan : seorang ayah, ibu, dan anaknya mencekik mati seorang anaknya yang lain untuk menyenangkan Tuhan dan hal itu membawa Calas ke meja hijau. Oleh karena itu, Jean Calas yang merupakan kepala keluarga pun dijatuhi hukuman mati pada 1762.
Voltaire yang gerah kemudian menulis esai sebagai bentuk protes atas dakwaan Jean Calas—bagaimana kalian bisa menganggap diri kalian sebagai umat Tuhan, bila hukum agama yang utama “Cintai Tuhan dan tetanggamu” telah kalian nodai dengan pendapat yang tidak masuk akal? Bagaimana bisa kalian mengganggap diri kalian suci sementara kalian menyulut api kebencian, hanya karena sebuah pendapat yang berbeda? Bila memang kalian ingin mengutuk semua orang yang berkeyakinan lain, berbeda budaya, dan berbeda cara hidup, maka aku ajak kalian dengan penuh kesedihan, “Mari kita kunjungi hari itu, dimana semua manusia diadili di hadapan Tuhan.”
Dalam sejarah panjang manusia tidak dapat dipungkiri bahwa jumlah tragedi kekejian manusia terhadap satu sama lain yang dilandasi oleh perbedaan pendapat dan agama adalah tidak sedikit. Meminjam istilah Voltaire, jika dicatat di kertas dan kemudian ditumpuk, maka tebalnya akan mengalahkan kumpulan halaman kitab suci.
Sikap untuk selalu mempunyai harapan baik dalam segala hal akan selalu menemui pertentangan-pertentangannya. Terlebih bagi kita yang hidup di Indonesia, dimana tiap hari di media massa, media elektronik, dan media daring tidak pernah alfa memberitakan tentang perbedaan yang tidak mengenakkan hingga menyulut kebencian. Hidup dalam kekhawatiran-kekhawatiran lama kelamaan memang bisa jadi merubah seseorang menjadi pesimis. Namun, seperti pikiran yang luasnya melebihi alam semesta, belajarlah untuk menerima hidup dalam perbedaan yang beragam, sebab dengan begitu hidup akan punya banyak rasa.
***

Nih buat jajan