Citra dan Pemantapan Jiwa di Jakarta Biennale 2017
![]() |
Salah satu lokasi Jakarta Biennale 2017, Gudang Sarinah Ekosistem |
"Kenapa?" Andi, seorang pekerja
lepas keheranan.
"Bayangkan saja, tiap hari berangkat
kerja ketika matahari belum terbit dan pulang ketika sudah terbenam. Belum lagi
ketika ada kerjaan yang mendesak untuk diselesaikan dan menuntut lembur."
Mereka, teman lama yang baru bertemu,
menghabiskan jam makan siang di sebuah kedai kopi tak jauh dari tempat Citra
bekerja.
"Bagaimana kalau weekend ini kita ke
Gudang Sarinah?"
"Hah? Gudang? Sarinah? Perasaan di
sini gak ada gudang deh?"
"Duh, bukan. Ini Gudang Sarinah, dekat tugu pancoran."
"Ngapain?"
"Lagi ada pameran seni, Jakarta Biennale 2017. Lumayan buat kamu untuk refreshing. Daripada ke mall terus."
"Oh, boleh deh."
Penelitian yang diadakan oleh Badan Pusat
Statistika (BPS) 2012 memang mengungkapkan bahwa setiap pekerja di Jabodetabek
membutuhkan sejam untuk tiba di tempat kerja. Sementara dalam perjalanannya,
mereka harus menghadapi kondisi yang tidak mendukung seperti berdesakan di
transportasi umum. Hal ini tentu saja berdampak pada kinerja mereka sementara
stres terhadap pekerjaan akan mengganggu kesehatan biologis dan mental.
Matahari tepat berada di atas kepala
ketika GrabCar menurunkan Citra tepat di gerbang Gudang Sarinah.
"Dimana?"
"Oh, masuk aja. Ntar pintu pertama
sebelah kiri ya,” balas Andi yang tengah mengerjakan jahitan tas berbahan dasar
baliho bekas pameran.
Citra terperangah melihat penampakan dalam
tempat yang disebut gudang tersebut. Dia tidak mengira akan ada ruang yang
terlihat seperti window display toko-toko dalam mall. Tokopedia memang
berkolaborasi dengan Jakarta Biennale (JB) 2017 dengan menyediakan ruang untuk
workshop. Di sana kemudian digelar aktivitas menjahit yang dilakukan oleh para
seniman dan kurator. Selain itu, ada pula workshop mewarnai topeng untuk anak-anak.
“Hei! Selamat di Gudang Sarinah,” sambut
Andi.
“Oh, ini,” Citra menyapukan pandangannya
ke seluruh ruang.
“Iya, jadi ini Jakarta Biennale 2017 yang
merupakan biennale ke 17. Diadainnya tiap dua tahun sekali. Pameran seni ini
udah ada sejak 1974 loh. Udah lama banget. Di Indonesia, dia yang pertama. Isinya
seni macem-macem gitu,” terang Andi.
![]() |
Infografis sejarah Jakarta Biennale |
Jakarta Biennale tahun ini memiliki waktu
yang hampir bersamaan dengan Biennale Jogja dan Makassar Biennale. Mereka
memang sepakat untuk menggelarnya dalam waktu yang berdekatan agar, menurut Ricky Josep Persik wakil kepala Badan Ekonomi Kreatif (BEKRAF), efektif dalam
menarik tamu-tamu internasional untuk datang ke Indonesia.
Tahun ini
JB melalui 5 kurator mengurasi 51
seniman baik individu maupun kelompok baik dalam negeri maupun luar negeri untuk
menampilkan karya mereka dengan tema JIWA. Perhelatan dua candra ini digelar di
tiga tempat berbeda yakni, Gudang Sarinah Ekosistem, Museum Sejarah Jakarta,
dan Museum Seni Rupa dan Keramik yang berlangsung dari 5 November hingga 10
Desember 2017.
Menyeberang ke gedung sebelah, Citra yang
dituntun Andi mendapati karya Chiharu Shiota di sebuah layar LCD yang menyiram
tubuhnya dengan lumpur di dalam bak mandi yang sempit. Karya itu merupakan
performans yang dibuat di tahun 1999 berjudul Bathroom. Menurut informasi yang terpampang,
seniman Jepang yang kini menetap di Jerman ini, ingin menyatu dengan bumi—tempat
dimana dia dan kita berpijak. Tak lama setelah menyaksikan penampilan Chiharu,
mata Citra langsung terantuk pada foto batang pohon yang panjang yang
ditampilkan dengan warna hitam putih. Senada dengan karya sebelumnya, Citra
merasa bahwa karya ini masih berkisar tentang alam dan manusia.
![]() |
Robert Zhao Renhui. The World Will Surely Collapse, Trying to Remember A Tree (III). 2017 |
Adalah Robert Zhao Renhui, seniman
Singapura, yang memajang foto tersebut—yang ukurannya menyerupai ukuran batang
pohon aslinya. Ini merupakan buah kegelisahannya atas pohon-pohon di Singapura
yang ditebang untuk kemudian dipotong-potong dan dipindahkan ke tempat lain
untuk diolah. Hal ini, menurut Robert, butuh cara-cara lain untuk “mengelola”
alam. Lepas menatapi satu per satu potongan batang pohon tersebut ia meneruskan
langkah dan kembali terantuk pada dua karya yang cukup mengambil ruang yang lebar
yakni tumpukan-tumpukan tanah, debu, dan kerikil bak gunung dengan tampilan
video yang diproyeksikan di tembok putih serta rangkaian batu-batu apung yang
tampak menyerupai sebuah wajah. Karya pertama adalah karya seorang perempuan pelaku
performans yang lahir di Jerman dan menempuh pendidikan seni rupa di Institut
Teknologi Bandung (ITB), Marintan Sirait. Dalam praktiknya berkesenian,
Marintan memang menganggap bahwa tubuh
seseorang merupakan rumah sekaligus
tempat berlindung paling rentan dalam interaksi sesama manusia serta yang
paling penting adalah tubuh juga memiliki hak atas kebebasan.
Sedangkan untuk karya kedua adalah hasil
bermain seorang Bali bernama I Made Djirna dengan benda-benda di alam. Seperti
yang diamininya bahwa benda tersebut juga laiknya manusia yang melalui berbagai
tahapan seperti, ada, berproses di dalam waktu, hingga akhirnya tiada. Untuk JB
sendiri, Made Djirna menghabiskan berbulan-bulan lamanya untuk memunguti, mengamati
batu apung yang ditemukannya di Pantai Beraban, Jumpai, dan Purnama, hingga
menggambarinya dengan intuisi akan wajah arkais-universal atau antik sebab dia
menyakini bahwa kita, manusia, sebenarnya mampu berkomunikasi dengan benda-benda
di alam.
![]() |
I Made Djirna. Unsuang Heroes. 2017 |
“Makin halus rasa kita, makin luas pula komunikasi kita di alam semesta,” ujar Djirna.
Tak banyak perbincangan yang terjadi
antara Citra dan Andi selama proses berkeliling ke dalam ruang pameran. Citra,
yang walaupun tidak memiliki latar belakang seni pun merasa seolah berbincang
dengan karya-karya yang tersaji. Hingga akhirnya mereka memasuki ruang lain
yang tampaknya berpendingin ruangan.
“Gimana Cit?”
“Menarik. Dari beberapa karya tadi
terlihat jelas hubungan manusia dengan alam. Kita emang gak bisa terpisah ya?”
“Iya. Yuk lanjut!”
Melintas, mereka mendapati dua bangku
merah panjang dengan layar yang menampilkan seorang pria beraut Chinese
berbicara. Tampak seperti TEDx menurut Citra. Di atasnya ada tirai putih
membentang dengan boneka yang menyerupai ratu Inggris. Kesemuanya adalah karya
Ho Rui An, seniman muda Singapura yang telah berkeliling Berlin, Manila,
London, dan Hongkong untuk mempresentasikan karya-karyanya. Meskipun Citra tak
memahami karya tersebut dia tetap mengaguminya karena menampilkan banyak hal
dalam satu tempat, mulai dari video, film, patung, dan performans.
![]() |
Ho Rui An. Solar: A Meltdown 2. 2014 |
Di ruang pamer ini Citra tidak lagi
berjalan melambat memelototi karya. Mungkin karena ketidakmampuan dia untuk
mencerna apa yang diterpajang. Namun, satu-satunya yang membuat dia betah adalah
di bagian karya Semsar Siahaan. Meskipun telah wafat, tim artistik JB kembali
memamerkan karya Semsar dengan tajuk “Menimbang Kembali Sejarah.” Terlihat
banyak dari rupa-rupa karyanya yang ditampilkan mulai dari foto keluarga yang
dilengkapi dengan deskripsi foto yang ditulistangan sendiri oleh Semsar. Mata
Citra juga lama menatap grafis perempuan mengepal lengan dengan tulisan “Marsinah”
di bawahnya.
“Siapa Marsinah?” Citra penasaran.
“Baca aja di bawah, tuh berita-berita
tentang dia,” timpal Andi.
“Mengerikan ih,” ringis Citra kemudian.
Semsar Siahaan adalah seorang keturunan
Batak dan India. Bapaknya merupakan seorang tentara dan memiliki empat saudara.
Dalam dunia seni rupa, ia dikenal sebagai seorang seniman aktivisme.
Pemberontakan-pemberontakan tampak jelas dalam karyanya. Salah satu kejadian
yang paling diingat adalah dia membakar patung dosennya di Institut Teknologi
Bandung (ITB) yang baru saja pulang dari pameran patung internasional di
Fukuoka, Jepang.
“Saya lapar. Makan yuk!” ujar Citra
tiba-tiba.
“Boleh. Di samping ada kantin kok.”
Setelah keluar ruangan, mata Citra disilaukan
oleh kumpulan tumbuhan eceng gondok berbunga emas milik Siti Adiyati. Menilik
sejarah panjang JB, seniman ini merupakan salah satu dari sedikit mahasiswi
yang menolak sistem seleksi karya yang ditampilkan di biennale. Penolakan ini
memunculkan sebuah peristiwa bernama Desember Hitam 1974 dan Gerakan Seni Rupa
Baru. Eceng gondok berbunga emas ini sebenarnya telah pernah ditampilkan dalam
pameran di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, 1979 namun kembali dihadirkan
dengan memperbesar kolamnya dengan ukuran 20m x 8m dengan kedalaman air 30cm.
Karya ini merupakan protes terhadap negara yang kian hari melebarkan jarak
antara si miskin dan si kaya.
“Keren yah karya-karyanya. Ada aja orang
berpikir sejauh itu. Hubungan manusia dengan ini dan itu. Dan juga hubungan
manusia dengan dirinya sendiri,” Citra sambil menyuap mie bakso.
“Iyalah, seniman gitu loh. Eh, masih ada
banyak performance art loh beberapa hari ke depan. Mau nonton gak?” timpal Andi.
![]() |
Pengantar kuratorial Jakarta Biennale 2017 |
Citra tak menjawab. Ia menguyah sambil
menatap jauh bak berbincang dengan jiwanya sendiri. Laiknya diam, jiwa pun tak
bisa diterjemahkan.
***
Post a Comment