Pram dan Kegagalan Indonesia Menjadi Besar

biografi pramoedya ananta toer

"Pa, bulan ini Iyan banyak mengadakan ulangan, mudah-mudahan Iyan mendapat nilai bagus. Iyan selalu berdoa agar papa cepat pulang, biar kita bisa berkumpul kembali. Iyan kalau melihat anak kecil dibawa jalan-jalan oleh ayahnya, Iyan sangat iri padanya."

Begitu kira-kira potongan surat yang ditulis oleh Tantyana Ananta Toer circa Februari 1976.

Bersama dengan surat-surat saudaranya yang lain serta beragam barang pribadi peninggalan Pramoedya Ananta Toer, potongan surat ini dipamerkan di Dialogue Art Space yang bekerja sama dengan Titimangsa Foundation dari 17 April hingga 20 Mei 2018.

Pameran ini bertajuk Namaku Pram, semacam biografi Pramoedya Ananta Toer.

Saya tiba di ruang pamer sejam sebelum jarum jam menunjuk angka 12 siang. Matahari hampir tidak tampak.

Di depan bangunan tersebut ada dua mobil yang terparkir menyerong dengan tiga motor di sampingnya. Di pos satpam, dua orang berbicang sambil tertawa-tawa.

Mulus saja saya memasuki ruang pamer, ada seorang wanita dengan pakaian hitam berjilbab yang berdiri di samping meja registrasi.

Sesudah mengisi data diri di buku registrasi, saya mendapat perhatian untuk tidak memotret karya-karya yang dipamerkan—kecuali suasana pameran.

Di dinding sebelah kanan ruang pamer, ada lini masa seorang penulis Anak Semua Bangsa yang memanjang. Titiknya bermula dari kelahirannya pada 1925 di Blora dan berakhir pada kematiannya di 2006.

biografi pramoedya ananta toer

Jika mencoba mengingat-ingat, setidaknya ada enam pembabakan; masa kecil, masa remaja, titik puncak intelektual, masa di Pulau Buru, masa pembebasan semu, dan masa-masa di Jakarta.

Tiap-tiap tahun yang dituliskan juga memuat buku, artikel, dan tulisan-tulisan Pram. Saya tidak habis pikir, bagaimana seorang yang tidak aman dan serba keterbatasan di dalamnya hidupnya itu sangat produktif menulis.

"Dia memecah batu baterai dan mengambil serbuk hitamnya untuk dioles di pita mesin ketik yang kehabisan tinta," Hilmar Farid membeberkan di sebuah video yang ditayangkan di salah satu sudut ruang pamer.

Pada tahun 1963, Pram mencapai titik intelektualitasnya dengan menghasilkan banyak sekali tulisan. Dua tahun berselang, tepatnya 1965, dia diasingkan. Pun dalam pengasingannya—dia tidak berhenti menulis.

Di sebelah kiri ruang pamer, ada berlembar-lembar surat dari orang-orang terkasih Pram selama diasingkan; sahabat, istri, dan anak-anaknya. Beberapa surat yang ditulis tangan serta di ketik tersebut sampai, banyak di antaranya yang disembunyikan dan baru bisa dia baca ketika bebas.

buku pramoedya ananta toer

Masih di sebelah kiri ruang pamer, ada ruangan yang berisi medali, sertifikat, plakat, serta lencana penghargaan-penghargaan yang diterima Pram dari seluruh dunia—pun tiket-tiket perjalanannya ke luar negeri.

Menyusur ruang-ruang di Dialogue, saya tiba di ruang kerja penulis Bumi Manusia yang juga dibuat menghadap ke barat dengan tiga mesin ketik di dalamnya. Satu di meja utama, dua di kirinya. Pada kursi kerja Pram, ada baju, celana, serta sarung miliknya.

Saya merinding. Membayangkan seorang Pram duduk di sana dengan rokoknya yang mengepul.

Tepat di depan meja kerjanya—di dalam kotak kaca, dipamerkan beragam buku Pramoedya Ananta Toer yang diterbitkan dalam beragam bahasa di seluruh dunia. Di sebelahnya, ada Sketsa Bakar Sampah sebagai respon atas kebiasaan membakar sampah setiap pagi dan sore yang dilakukan oleh Pram.

bumi manusia

Secara terpisah, di ruang belakang Dialogue Art Space, berlembar-lembar kain putih dengan potongan-potongan tulisan Pramoedya Ananta Toer terjuntai tertiup angin.

Bagian ini menjadi penutup Namaku Pram.

Saya mengitari kain-kain putih tersebut berkali-kali sambil mendongak dan membayangkan Indonesia di masa lalu. Ada suatu waktu dimana Indonesia nyaris menjadi raksasa dunia dan ada suatu hal yang menggagalkan kemampuan tersebut.


Nih buat jajan