Kenapa Ibu Jari Harus Menjaga Ibu Pertiwi?


"Siapa yang punya foto pasangannya di dompet? Jika ada yang punya boleh maju dan kamu berhak mendapatkan pulsa seratus ribu rupiah!" tanya pembawa acara kepada peserta reuni angkatan sebuah SMA.

Pertanyaan ini membangunkan saya pada sebuah kenyataan bahwa manusia saat ini tidak lagi menyimpan foto pasangan atau keluarganya di dompet—melainkan di gawai. Era digital dengan mudahnya memindahkan lembaran foto menjadi tumpukan file .jpg di gadget.

Jadi, jangan heran ketika selesai berfoto kita tidak lagi harap-harap cemas menunggu hasil cetakan, namun buru-buru mengunggahnya ke media-media sosial.

Laku buru-buru juga menyerempet ke trending topic media sosial. Trending topic ini dalam hitungan menit dapat dengan cepat berubah mengikuti hal yang ramai diperbincangkan. Di sebuah Minggu pagi yang tenang pada 13 Mei 2018 misalnya, lini masa tiba-tiba dibuat bising oleh ledakan bom yang terjadi di tiga gereja di Surabaya.

Hmm.. Hasilnya, kata Surabaya menjadi worldwide trending topic di Twitter. Masih ingat kan?

Baik Buruk Media Sosial

Kita boleh berterimakasih kepada media sosial yang telah mempertemukan kita dengan jodoh banyak orang serta memberikan ruang bagi pertukaran informasi serta ilmu pengetahuan yang tak terbatas secara cepat dan akurat hanya dengan mengurutkan ibu jari ke layar smartphone.

Sayangnya, bak pisau bermata dua; platform ini pun memiliki sisi tajam yang dapat melukai.

Masih dalam kasus bom Surabaya kemarin, ada beragam hoax (hoaks) atau kabar bohong yang menyebar. Beberapa di antaranya menyebutkan bahwa lokasi pengeboman tidak hanya terjadi di gereja tapi juga di pusat-pusat perbelanjaan. Kota-kota lain seperti Semarang, Jakarta, dan Makassar juga mendapatkan isu palsu tentang ancaman pengeboman.


"Mulai sekarang kamu harus berhenti minum jus tomat. Tidak baik untuk kesehatan," telpon mama tiba-tiba.

"Siapa bilang tomat tidak baik?" saya penasaran.

"Itu di internet. Bapakmu sudah baca. Pokoknya mulai sekarang kamu harus berhenti!"

Saya berusaha diam hingga mama menutup telepon. Situasi ini terjadi akhir tahun lalu ketika saya memutuskan untuk minum jus tomat dan wortel secara bergantian setiap pagi. Rupa-rupanya informasi yang bapak terima adalah pesan broadcast dari sebuah grup Whatsapp yang diikutinya.

Kamu pernah mendapati hal seperti ini kan? 😁

Berita atau informasi palsu ini menyebar dengan sangat cepat melalui media sosial, situs media daring, email, serta yang paling mudah aplikasi chatting seperti Whatsapp dan Line. Lagi-lagi kita tidak perlu heran, tingkat kecepatan penyebaran hoaks berbanding lurus dengan jumlah pengguna internet di negeri ini.

Jumlah Pengguna Internet di Indonesia

Merunut data terakhir yang dikeluarkan oleh Internet World Stats pada 31 Desember 2017, Indonesia ditempatkan di urutan kelima negara dengan jumlah pengguna internet terbanyak di seluruh dunia setelah Brazil, Amerika Serikat, India, dan Cina di urutan pertama.


Sementara jika menilik data yang dirilis oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada akhir 2017, total jumlah penduduk Indonesia mencapai 262 juta jiwa dimana 54,68%-nya telah menggunakan internet dalam kehidupannya sehari-hari. Presentasi ini setara dengan 143,26 juta jiwa.


Kemudahan penyebaran berita-berita palsu melalui internet ini dipermudah oleh keberadaan perangkat ponsel cerdas. Kini kamu tidak lagi butuh laptop untuk berkomunikasi dan mendapatkan informasi, yang dibutuhkan saat ini hanyalah smartphone dan jempol.

Iya, kamu sedang tidak salah baca. Jempol merupakan salah satu jari yang paling sering digunakan. Kebayang gak sih, paket data melimpah tapi jempol tak ada? 😶

Atas dasar kemudahan yang melimpah ini, 87,13% pengguna internet di Indonesia menggunakan gadgetnya untuk media sosial. Berdasarkan hasil penelitian oleh Dewan Pers Indonesia pada Januari 2017, media sosial kini memang telah menjadi alternatif. Pasalnya, media mainstream memiliki kemungkinan kecil untuk dipercayai.

Hasilnya, media sosial seperti Twitter dan Facebook yang awalnya dibuat untuk membuat update status serta menghubungkan kembali teman-teman lama yang berpisah berubah menjadi sarana dimana seseorang dapat menyampaikan pendapat atau mengomentari pendirian orang lain.

Sedangkan grup aplikasi chatting menjadi sarana yang sesuai untuk mendapatkan dan meneruskan informasi ke teman-teman yang lainnya secara cepat tanpa mempersoalkan dari mana asal info tersebut. Duh, sampai di sini saya puyeng, gaes!


Bahaya Hoaks

Eh, jika tidak diantisipasi, maka ada beragam bahaya hoaks yang ditimbulkan. Apa saja? Berikut beberapa listnya:

  1. Membuat fakta tak lagi dipercaya
  2. Hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu
  3. Merugikan reputasi sebuah pihak
  4. Memancing perpecahan
  5. Menyita banyak waktu
  6. Memicu pikiran negatif
Terkait yang terakhir, saya teringat mengenai sebuah riset yang dilakukan oleh Becca Levy, seorang psikolog di Universitas Yale. Dia mengambil sampel 660 orang relawan. Hasilnya menunjukkan bahwa mereka yang berpikiran positif dapat memperpanjang umur mereka tujuh tahun lebih lama.

Seorang peneliti lainnya, Rosalind Wright di Harvard Medical School, menemukan bahwa mereka yang berpikiran positif dan optimis memeroleh manfaat berupa peningkatan fungsi jantung dan sistem kekebalan tubuh, sehingga mengurangi risiko gagal jantung.

Hmm.. Saya rasa kita semua tidak ingin mengalami gagal jantung hanya gara-gara terpancing oleh berita-berita palsu itu kan? Iya kan?


Hidup dalam kesendirian selama bertahun-tahun saja sudah berat, apalagi hidup dalam kepalsuan 😕

Mencegah Hoaks, Menyebarkan Berita Baik

Perkembangan teknologi membuat kita menjadikan internet seperti oksigen. Ada dimana-mana. Namun tentu saja, tidak semua oksigen baik untuk kesehatan paru-paru dan jantung kamu. Oksigen-oksigen yang sudah terkontasminasi polusi jelas tidak baik untuk dihirup.

Hal ini juga berlaku di jagat maya. Tidak semua berita harus kita telan mentah-mentah. Lantas, bagaimana cara mendeteksi dan mencegah keberadaan hoaks?

Sebelum mencegah, ada baiknya belajar mendeteksi berita palsu. Nah, di bawah ini ada 5 langkah yang bisa kamu lakukan:

  1. Jangan pernah langsung menyebar atau membagikan berita/tautan yang kamu dapatkan
  2. Pelajari situs pembuat beritanya dengan memerhatikan keterangan seperti susunan atau alamat redaksinya
  3. Periksa di berbagai media daring lainnya mengenai keberadaan berita tersebut
  4. Perhatikan gambar yang digunakan. Berita palsu sering memanfaatkan gambar sensasional yang tidak berhubungan dengan isi berita
  5. Perkuat diri dengan literasi digital dengan bergabung dan mengikuti forum/grup anti hoax
Setelah melakukan 5 langkah tersebut di atas, maka ada baiknya jika kamu memenuhi lini masa media sosial dengan berita-berita baik. Mengingat masifnya penyebaran berita-berita palsu di internet.

Salah satu berita-berita baik yang bisa kamu sebarkan adalah video yang satu ini 😘


Kepolisian Republik Indonesia melalui Polda Metro Jaya telah dengan aktif mengampanyekan gerakan #SebarkanBeritaBaik. Dan saya rasa, kita juga harus turut ambil bagian di dalamnya, apalagi menjelang pemilu 2019 yang oleh banyak orang pesimis diramalkan akan dipenuhi oleh hoaks. Huft!

Caranya? Mudah kok! Menjaga ibu pertiwi di era digital tidak lagi membutuhkan perlengkapan senjata atau bambu runcing. Yang kamu butuhkan saat ini hanyalah ibu jari dan keinginan untuk menyebarkan berita-berita baik di dunia maya untuk memukul mundur hoaks. Bagaimana? Siap?


Nih buat jajan