Menjawab Pertanyaan

menjawab pertanyaan

Hai!

Lima belas menit lagi jarum jam akan berada di pukul 00.00 WIB. Sebentar lagi akan masuk hari Minggu. Artinya, ini adalah minggu kedua usia pernikahan saya dan Ade. Tepat tanggal 8 Juli 2018 lalu kami melangsungkan akad nikah.

"Jika boleh memilih, saya hanya mau berada di masa-masa sekolah saja. Hidup di sana selamanya," ujar Ammar seketika.

"Saya juga mau!"

"Iya, tidak ada beban. Tidak direpotkan dengan pikiran-pikiran, "Apalagi setelah ini?", tambahnya.

Percakapan ini terjadi di hari Minggu pada akhir 2016. Saat itu kami tengah berada di Desa Tulungrejo, Kediri. Saya baru saja datang dari Bogor sehabis mengikuti pelatihan.

Waktu berlalu dengan cepat, tak bisa dimungkiri. Dia menjadikan kita anak-anak yang terjebak di tubuh seorang dewasa. Rasa-rasanya kami baru saja menamatkan sekolah di Sengkang, masuk ke perguruan tinggi negeri yang berbeda di Makassar, dan setelah wisuda, dihadapakan pada pertanyaan, "Apalagi setelah ini?"

Menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi, mau tak mau menyeret kami kepada dua pilihan: kerja atau lanjut sekolah. Rasa haus yang terus terasa membuat kami memilih opsi kedua. Pada pertengahan 2015, di suatu malam Minggu di warung kopi di Jalan Toddopuli Raya, Makassar, Ammar mengembuskan asap rokoknya, "Pokoknya lanjut lagi. Tujuannya jelas, menjadi dosen. Dengan begitu kita memiliki kesempatan untuk meneliti, menulis, dan melakukan banyak hal."

Meski berlatar belakang ilmu yang berbeda, kami punya gairah yang sama.

Beberapa kali tawaran kerja datang kala itu, namun tetap saja ditolak. Ada pertanyaan yang tak kunjung menemukan jawabannya yang membuat kami kekeh akan pilihan lanjut sekolah, "Mau kerja sampai kapan?"

Secara tidak sadar ternyata kami tiba di Quarter Life Crisis. Agar tidak terjebak, kami pun berpura-pura menutup mata, terus berjalan, namun sayangnya harus terantuk. Hingga saat ini, perjalanan untuk mencapai tujuan tadi tampaknya harus dijeda.

Waktu berlalu dengan cepat, setahun berselang Ammar dan saya pun tenggelam di pilihan yang pertama tadi. Dia harus pergi pulang Makassar-Jakarta untuk mengikuti tes masuk pegawai negeri, sedangkan saya bolak balik kantor-kosan di daerah Kelapa Gading, Jakarta Utara.

Menjelang 2018 bukannya menyampaikan kelulusannya masuk di instansi pemerintahan, Ammar malah membalas pesan saya dengan menyatakan diri akan pindah ke Kalimantan untuk bekerja di sebuah NGO. Sementara saya, baru saja mengirimkan pesan singkat ke mama untuk memintanya menikahkan saya dengan Ade. Hal ini untuk menjawab pertanyaannya, "Sampai kapan kita akan begini?"


Di adat Bugis, urusan ini memang diserahkan kepada orang tua. 

Mama mengiyakan. Di tahun ini dia memang telah merencanakan untuk menikahkan anak pertamanya. Seminggu setelahnya, tepatnya di minggu ketiga Desember 2017 saya pun memulai sebuah pekerjaan baru di biro iklan di daerah Kuningan, Jakarta Selatan.

Waktu berlalu dengan cepat, setelah Maret dilakukan Mappettuada dan tanggal akad telah ditentukan. Ade dan saya beranjak mengurusi undangan pernikahan serta hal-hal kecil yang bisa kami persiapkan dari Jakarta.

Penasaran dengan hajatan ini, saya memutuskan untuk menghabiskan libur lebaran di Makassar. Menginjakkan kaki di kota yang telah didiami selama bertahun-tahun untuk pertama kalinya setelah hampir 9 bulan tidak pulang membuat saya kikuk.

Situasi ini seperti bertemu dengan kawan lama, saling tatap, berpelukan, dan melontarkan pertanyaan, "Kamu dari mana saja?"

Sekarang sudah hari Minggu pukul tiga dini hari. Saya mengingat perjalanan ke rumah Ade setelah acara Mapparola. Waktu itu juga berada di kitaran pukul tiga, namun sore hari. Ada pertanyaan yang menggantung di kepala saya, "Tidakkah perjalanan paling menyedihkan adalah ketika kamu meninggalkan orang tuamu di rumah tempat kamu lahir dan tumbuh besar?"

***

Nih buat jajan