Berkelana Bersama Kelana

buku kelana

"Pilih yang mana ya?" tanya saya ke Herdi.

Dia tidak menjawab. Diambilnya buku Arundhati Roy sambil membalik dan membaca tulisan-tulisan di belakangnya. Hingga saat ini saya masih mempertanyakan istilah untuk potongan tulisan di belakang buku. Mungkin kamu tahu?

Oiya, kami masih di kereta di perjalanan kembali ke Jakarta saat memutuskan untuk ke Gramedia Matraman. Sebelumnya, saya, Ade, dan Herdi menghabiskan pagi di pasar modern BSD dan mampir ke roti nogat yang terkenal itu.

Baca juga: Mie Ayam Kampung & Roti Nogat BSD

Karena harus shift siang,  Ade tidak ikut. Jadilah saya dan Herdi yang melanjutkan perjalanan dengan menumpang Transjakarta di stasiun Palmerah ke Matraman

Sesampainya di Gramedia Matraman, secara tidak disadari kami berpisah. Menyusur lorong-lorong rak buku sastra, saya secara acak mengambil sebuah buku berjudul The God Small Things karya Arundhati Roy, pemenang  Booker Prize 1997.

Buku ini memang telah lama menjadi incaran saya.

Sambil menentengnya saya terus menyusuri rak-rak buku dan kembali terhenti di deretan buku-buku perjalanan. Di akhir, saya memutuskan untuk membatalkan The God Small Things dan memilih Kelana.

Perjalanan Darat dari Indonesia ke Afrika

Buku Kelana

Di bawah judul besar Kelana, terdapat 7 kata yang tampak click bait bagi saya—Perjalanan Darat dari Indonesia ke Afrika.

"Alah, paling juga buruk," ucap saya dalam hati. Pasalnya, saya sudah sempat membeli beberapa buku perjalanan dan tidak saya selesaikan karena isinya mengecewakan.

Saya kepalang pasang standar untuk buku-buku perjalanan seperti Life Traveler-nya Windy Ariestanty dan triloginya Agustinus Wibowo.

Meskipun saya mengalihkan pandangan ke buku-buku lain, toh saya masih kepikiran Kelana. Ya sudah, saya dengan terpaksa mencari buku yang telah terbuka dan membacanya halaman per halaman.

Sesampainya di halaman 13, saya berhenti. "Sialan! Kok nagih?"

Apa yang memikat saya di pembacaan pertama adalalah si penulis mau mengakui bahwa dia adalah turis dan hanya melihat segala sesuatunya dari permukaan.

Buku ini hanyalah catatan perjalanan dan rekaman interaksi penulis dengan orang-orang yang dia temui sepanjang jalan. Tapi, ditulis secara serius dan terstruktur. Yang paling penting, pendek-pendek.

Iya, kebanyakan dari catatan perjalanan yang saya baca terlalu self centre tanpa substansi.
"Saya memutuskan untuk memulai perjalanan darat karena saya ingin menyusuri kilometer demi kilometer bumi... ingin melihat bagaimana orang-orang hidup dengan adat dan budayanya di sepanjang jalan." (hal.1)
Buku Kelana

Perjalanan ini dimulai dari Riau ke Malaka, Malaysia dengan menaiki Kapal Feri. Selanjutnya, di negara-negara Indocina penulis menggunakan bus dan beberapa kali kereta hingga ke Cina dan Mongolia.

Menyaksikan peta perjalanannya di bagian awal, buku ini membuat saya terkagum-kagum.

Ketika tiba di Mongolia, penulis disambut oleh cerita-cerita Jenghis Khan. Secara tidak langsung, saya belajar banyak mengenai keberadaan seorang pemimpin dan sebuah bangsa nomaden yang menaklukkan banyak tempat di dunia ini.

Namun, kebesaran Jenghis Khan kini hanya tinggal cerita. Keberadaan istana megah atau kuil yang indah tidak tampak di Mongolia sebagai sisa-sisa dari kejayaannya. Yang ada hanyalah keberadaan keluarga nomadem yang tinggal di kompleks ger, rumah tenda di tengah padang.
"...lokasi ini adalah tenda musim panas Keluarga Dorjuren. Dalam setahun mereka berpindah rumah tiga sampai empat kali, sesuai musim." (hal.78)
Buku Kelana

Dari Ulaanbaatar, Mongolia si penulis melangkah ke Rusia menggunakan kereta Trans Siberia yang tersohor itu sambil menyusuri danau tertua di dunia, yakni Danau Baikal. Ada banyak kisah-kisah heroik mengenai kebesaran sebuah negara adidaya di masa lalu pada bagian ini, apalagi perjalanannya memang melalui Moskwa—ibu kota Rusia.

Hingga saat ini, jarak dari Indonesia telah mencapai 10.141 kilometer.

Dalam banyak hal penulis memang diuntungkan oleh platform bernama Couchsurfing. Sang penulis dipertemukan oleh banyak orang-orang asyik di setiap daerah yang disinggahinya. Tak jarang menimbulkan percakapan-percakapan yang juga menohok saya.
"Di Jakarta kamu tidak pernah jalan kaki, ya?" Oh, jelas tidak, Pak. Kami berada di ranking satu dalam daftar kota yang warganya tidak suka berjalan kaki. (hal.115)
Ada beberapa orang yang disebut-sebut oleh penulis dan menarik perhatian pembaca, misalnya Arthur pada perjalanan pulang ke Yekaterinburg, Illia yang menjadi host-nya di Tatarstan yang juga sempat keliling Indonesia, serta Ibby yang ditemui di Latvia yang menolak untuk dikotak-kotakkan ke dalam sebuah kebangsaan.

Syukur, penulis berhasil sampai di Benua Afrika, tepatnya di Kota Rabat. Total jarak dari Indonesia yaitu lebih dari 23.181 kilometer. Jika kamu mengambil peta, bisa dilihat bahwa dia telah mengeliling setengah dari lingkar bumi.

Btw, it means bumi itu datar, gaes 😂

Penulis, Famega Syavira Putri

Buku Kelana

Menariknya, perjalanan ini dialami dan dituliskan oleh seorang perempuan bernama Famega Syavira Putri. Di bagian belakang Kelana, Famega dituliskan pernah bekerja di berbagai media, seperti Detik, Tempo, Yahoo Indonesia, dan Rappler. Saat ini dia bekerja di BBC Indonesia.

Keberaniannya untuk berjalan sendiri melintasi tempat-tempat yang asing membuat saya malu karena hingga saat ini paspor saya cuma punya satu stempel 😁

Namun, ini tak jadi soal. Yang patut dipertanyakan adalah kenapa di berbagai tempat di belahan dunia lain, isu pelecehan seksual masih saja terjadi?

Pasalnya, Famega beberapa kali hampir mengalaminya di dalam perjalanan daratnya dari Indonesia hingga Afrika. Buku ini hadir tidak untuk memberikan jawaban, tapi untuk membuat kita berjalan-jalan.

Yeay or Neay

Sama seperti ulasan-ulasan sebelumnya, saya tidak akan memberikan rating berupa angka pada buku yang telah saya baca. Tapi, pertanyaan apakah saya merekomendasikannya atau tidak.

Kelana adalah sebuah buku dengan total 264 halaman yang diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) 2018. Ukurannya terbilang kecil dan tidak terlalu tebal sehingga bisa saya bawa berkelana kemana-mana dan baca di Transjakarta, di halte, di lift, dan di sela-sela pekerjaan kantor.

Baca juga: The Deepest Stories of Asean

Jika kamu penyuka cerita-cerita perjalanan, Kelana pun saya rekomendasikan untuk kamu baca.

Buku ini akhirnya membuat saya lega karena ada buku perjalanan yang sebagus Windy dan Agustinus tulis. Ya, walaupun seperti kata Famega, yang menyadur Chairil Anwar, bahwa perjalanan adalah kesunyian masing-masing.

***

Nih buat jajan