Merenungi Lara Tawa Nusantara
Di panggung mewah Ideafest 2018, Menteri Pariwisata
Indonesia dengan berapi-api memaparkan cara menggaet turis di era revolusi
industri 4.0.
“New Direction for Indonesia Tourism: bikin produk
pariwisata, buat yang Instagramable, dan viralkan!” serunya.
Berkat petunjuk ini pula saban waktu di media sosial selalu
ramai tagar-tagar dengan frasa nama daerah atau acara adat atau
perayaan yang diada-adakan di Indonesia. Setelah membaca Lara Tawa Nusantara
beberapa minggu lalu, saya jadi kepikiran kalau membuat industri pariwisata,
“Tidak semudah itu, Ferguso!”
Lara Tawa Nusantara adalah kumpulan reportase Fatris MF
menjelajah beberapa daerah di Indonesia mulai dari Kalimantan, Bali, Sulawesi,
Lombok, dan Sumatera yang merentang dari tahun 2015 hingga 2017.
Perkembangan teknologi dan kecepatan internet membuat banyak
tempat di negara dengan lebih dari 17.000 pulau ini menjadi terkenal. Jika dulu
orang-orang yang berjalan dan menuliskan cerita-ceritanya hanya boleh dihitung
dengan jari, maka tidak dengan sekarang.
Tulisan bergenre perjalanan bak jamur di musim hujan.
“…website travel (yang jumlahnya kelewat banyak untuk
disebutkan) mengabarkannya tiap saat dengan bahasa yang mendayu-dayu, yang
menggugah, seakan semua tempat di republik ini adalah tempat yang indah dan
mesti dikunjungi,” halaman XIII.
Sayangnya, tulisan perjalanan tanpa menghadirkan manusia
sebagai tokoh utama di dalamnya tidak akan membuat tulisan tersebut bernyawa.
Fatris MF mendatangi pelosok, daerah-daerah terpencil dan terlupakan walau di atlas dan Google Map namanya terpampang tapi kita tidak tahu banyak tentangnya, dan bertemu dengan orang-orang tersebut.
Salah satu hal yang menarik bahwa di Indonesia ini ada orang bernama Kakap, Mesin, Arab, hingga Eveready; merek batu baterai.
Fatris MF mendatangi pelosok, daerah-daerah terpencil dan terlupakan walau di atlas dan Google Map namanya terpampang tapi kita tidak tahu banyak tentangnya, dan bertemu dengan orang-orang tersebut.
Salah satu hal yang menarik bahwa di Indonesia ini ada orang bernama Kakap, Mesin, Arab, hingga Eveready; merek batu baterai.
Kalimantan
Kalimantan menjadi pembuka kita dalam menjelajah buku yang dicetak
pertama pada Juni 2019 dan melempar saya kepada, barangkali—merupakan berita
bohong pertama yang saya temui di layar telepon genggam: Tragedi Sampit.
Masih terngiang betul di benak saya video dengan format .3gp
itu mengeluarkan raung-raung dari para keluarga yang mengalami pemenggalan
kepala.
Meski di video tersebut tidak tampak korbannya.
Meski di video tersebut tidak tampak korbannya.
“Ada yang berkata peristiwa ini sebagai pemusnahan etnis,
ada juga bilang: Orang Dayak selama ini telah cukup sabar,” halaman 3.
Beratus tahun sebelum video itu muncul, tepatnya pada 1881,
Carl Block merilis bukunya The Headhunters of Borneo yang bertutur mengenai
suku pemenggal kepala yang mendiami Kalimantan.
Hal inilah yang menjadi bagian favorit saya di mana buku terbitan Mojok ini dengan sabar menyodorkan kepada pembacanya referensi buku yang ditulis orang
Barat setelah mengelilingi berbagai tempat di Indonesia.
Kalimantan dengan gelarnya sebagai salah satu paru dunia
juga terlihat menyedihkan di buku ini.
Pohon-pohon ditebangi, hutan-hutan kian menyempit. Sebagai seorang yang tinggal di Jakarta dua tahun belakangan, saya merasa ditampar oleh beberapa pertanyaan.
Pohon-pohon ditebangi, hutan-hutan kian menyempit. Sebagai seorang yang tinggal di Jakarta dua tahun belakangan, saya merasa ditampar oleh beberapa pertanyaan.
“Bukankah kayu-kayu besar telah berganti perkebunan, dan
hasilnya disedot ke Jakarta sana? Bukankah di Jakarta orang-orang membutuhkan
tisu untuk menyeka air mata dan ingus, bahkan belahan pantat mereka,” halaman
28.
Sulawesi
Dari Kalimantan Fatris melarungkan pembaca ke Sulawesi bertemu kapal pelaut Bugis yang tersohor se-antero bumi.
“Apa? Pinisi? Kalau Cuma itu ji alasan kita ke sini, pulang
maki saja! Sudah tidak ada lagi namanya pinisi!” halaman 69.
Tampaknya kapal kayu ini memang sudah benar-benar tinggal
nama. Tak ada lagi navigator paling ulung di lautan yang hanya dipandu oleh
pola ombak dan kotoran burung saat manusia hari ini telah hidup berdampingan
dengan mesin dan GPS.
Jika di Sulawesi Selatan ada pinisi yang megah, maka di
Sulawesi Barat ada sandek yang sederhana namun disebut-sebut sebagai perahu layar
tercepat sejagat raya.
Sayangnya, menurut buku setebal 349 halaman ini; manusia telah tiba di masa mesin telah merobek layar dan solar telah menggeser dayung.
Sayangnya, menurut buku setebal 349 halaman ini; manusia telah tiba di masa mesin telah merobek layar dan solar telah menggeser dayung.
Satu-satunya kejayaan perihal laut yang bisa disaksikan hingga
kini di Sulawesi yaitu Orang Bajo. Kelompok masyarakat di tenggara
Sulawesi ini menjadikan laut sebagai daratan mereka: menetap dan beranak pinak.
Naik ke daerah pegunungan tepatnya di Toraja, pembaca akan
mencium amis darah dalam pesta kematian termahal di dunia.
“Upacara kematianlah yang membuat Toraja pertama kali
dikenal dunia. Pada 1972, upacara kematian Raja Puang Sangalla digelar
besar-besaran dan diliput National Geographic,” halaman 99.
Tak lama berselang, pada 1980, Toraja pun menjadi destinasi
wisata kedua setelah Bali. Hal ini mengingatkan saya dengan seorang mantan
gubernur Sulawesi Selatan yang acap kali memperingatkan, “Jangan mati sebelum
ke Toraja!”
Oh, bicara tentang agama.
Orang-orang terpecil jauh dari Jakarta ini tidak kalah bijak dari orang-orang di lini masa. Sebutlah seorang nenek penganut ajaran Aluk Tomatua di Mamasa, Sulawesi Barat, “Saya itu susah memercayai agama, sebab penganutnya kebanyakan pendusta dan pencuri. Untuk apa saya mengubah cara saya menyembah Tuhan, to, saya tidak mencuri dan menyakiti orang lain,” halaman 152.
Orang-orang terpecil jauh dari Jakarta ini tidak kalah bijak dari orang-orang di lini masa. Sebutlah seorang nenek penganut ajaran Aluk Tomatua di Mamasa, Sulawesi Barat, “Saya itu susah memercayai agama, sebab penganutnya kebanyakan pendusta dan pencuri. Untuk apa saya mengubah cara saya menyembah Tuhan, to, saya tidak mencuri dan menyakiti orang lain,” halaman 152.
Jika dia ngetwit, saya yakin pastilah twitnya akan ramai.
Di Indonesia, jauh sebelum 5 agama yang diakui negara masuk
mencari pemeluk, masyakarat kita memang telah punya keyakinannya masing-masing.
Keberadaan agama-agama tua ini pun didokumentasikan dengan baik oleh
orang-orang Barat.
Salah satunya Kees Bujis dalam Power of Blessing from The
Wilderness and From Heaven: Transformations in The Religion of the Toraja in
Mamasa Area of South Sulawesi, Leiden: KITLV Press, 2006.
Sumatera
Selesai dengan beragam ritual di Toraja dan Mamasa, Fatris
FM menyeberangkan pembacanya ke Sumatera dan Aceh, daerah yang kata profesor
antropologi, Suwarto Adi, “paling susah ditaklukkan Belanda.”
Dari bacaan ini pula saya perlahan paham dengan Gerakan Aceh
Merdeka (GAM). Bahwa masyarakat Aceh memang hampir tidak pernah dijajah: kecuali
oleh negaranya sendiri.
Pada satu hari di 1873, Kohler—ahli strategi perang
Belanda, berniat menaklukkan Aceh yang justru berakhir dengan kematiannya. Masih
di tahun yang sama, Belanda tampaknya belum jera. Dikirimlah pasukan beribu-ribu
orang yang lagi-lagi diakhiri dengan kekalahan kompeni.
Aceh baru benar-benar ‘takluk’ saat tsunami menghantamnya
pada 2004 dan Perjanjian Helsinki diteken pada 2005. Di Negeri Serambi Mekah
ini pula, Fatris FM, kembali mengolok-olok Jakarta melalui secangkir kopi.
“Kopi Aceh tak seperti di kota-kota lain. Arabika dengan
seduhan “V60” yang tak karuan, harganya 27.000 rupiah di Kemang, Jakarta. Di
sini bisa saya dapatkan hanya 8 ribu rupiah,” halaman 203.
Sumatera menghadirkan banyak kisah-kisah menarik untuk ditilik.
Hal ini tidak meluruhkan lara di dada saya jika harus mengingat petunjuk
pariwisata di era revolusi industri 4.0.
Perjalanan kian intens kala Fatris FM bertemu dengan Pasha.
Teuku Paisal Saputra, S.Pdi nama aslinya dengan cita-cita ingin menjadi artis
yang kini berakhir sebagai seorang make
up artist.
“Tapi, orang tua menentang. Laki-laki kok suka make up! Pekerjaan perempuan!” halaman
216, “Alhamdulillah, saya bisa membiayai orang tua saya umroh. Orang tua sudah
paham aku. Aku mencintai apa yang aku jalani.”
Bukan hanya hutan dan kepercayaan yang hilang di negara berslogan
pariwisata Wonderful Indonesia ini; tapi juga sebuah kota kecil yang tersohor
di masa silam bernama Barus.
Kota yang telah eksis di dunia perdagangan internasional sejak abad ke 8 ini boleh dibilang memegang peranan penting dalam sejarah rempah-rempah dunia.
Kota yang telah eksis di dunia perdagangan internasional sejak abad ke 8 ini boleh dibilang memegang peranan penting dalam sejarah rempah-rempah dunia.
“Barus, kata Sitor Situmorang, dalam Toba Na Sae, Sejarah
Lembaga Sosial Politik Abad XIII-XX, sejak abad ke-5 telah disinggahi perahu
layar antar benua sebagai pelabuhan pengekspor kemenyan dan kamper,” halaman
257.
Bali
Dari kota yang hilang pembaca digiring ke kota yang tidak
bakal pernah hilang: Bali.
Di awal, pria kelahiran Padang, Sumatera Barat ini menyerang
kita pertanyaan yang jawabannya sudah jelas, “Orang-orang dari berbagai penjuru
bumi tetap saja bermimpi untuk ke sini: Legian, Kuta, Seminyak, Sanur, Tanah
Lot, Jimbaran, Ubud. Apa yang mereka, masyarakat “dunia industri” itu cari ke
Bali?” halaman 285.
Mumet dengan pertanyaan-pertanyaan, Fatris FM menyuapi
pembaca dengan kisah makanan-makanan Padang yang ada di hampir setiap daerah di
Indonesia.
Yeay or Neay?
Bagi kamu yang suka dengan cerita-cerita perjalanan, maka
buku Lara Tawa Nusantara wajib dibaca. Tidak butuh waktu lama bagi saya untuk
melahap cerita-ceritanya karena setiap kisah punya tokoh dengan latar menarik.
Saya hanya kelamaan merenung tiap kali menyelesaikan satu bab.
Belum lagi hadirnya foto-foto dokumenter menjadikan saya
selalu penasaran tiap kali melepas buku ini.
Terakhir, buku ini tampaknya berhasil memenuhi ekspektasinya untuk bertemu dengan pembacanya yakni saya atau mungkin juga kamu.
Terakhir, buku ini tampaknya berhasil memenuhi ekspektasinya untuk bertemu dengan pembacanya yakni saya atau mungkin juga kamu.
***
Post a Comment