Tibalah Kita di Desember Akhir Dekade


"Berjalan tak seperti rencana adalah jalan yang sudah biasa, dan jalan satu-satunya, jalani sebaik kau bisa," FSTVLST.

*

Ada malam di awal-awal November 2019 saya menghabiskan waktu memindahkan barang dari kosan ke kontrakan. Menyambut Desember, kami harus segera berpindah.

Butuh waktu untuk menyesuaikan dengan tempat tinggal baru sambil menunggu bayi yang bakal lahir.

Sambil mengangkat barang, Ade tiba-tiba berujar, "Setiap tahun kita pindahan."

"Dan tahun depan kita pindah meninggalkan Jakarta," balas saya dalam hati.

Perbincangan ini kemudian melempar saya ke satu tengah malam di Desember 2017. Kala itu saya pindah kosan dari Pulogadung ke area Tomang.

Mendekat ke Jakarta Pusat karena diterima di sebuah agensi digital untuk posisi SEO Content Writer. Lokasinya waktu itu masih di kitaran Gatot Subroto. 

Tak banyak barang yang saya angkut malam itu. Hanya satu koper, satu tas gunung, dan dua-tiga totebag.

Pertengahan 2018, setelah menikah, Ade dan saya menempati tempat tinggal baru. Tak jauh dari kosannya dulu. Urusan mencari kosan ini memang agak sulit.

Meski aplikasi digital pencari kosan sudah ada di smartphone, tetap saja kami harus melakukannya secara manual.

Pasalnya, berada di lokasi yang strategis yakni tepat di belakang RS Dharmais dan RS Harapan Kita di mana setiap hari ada banyak keluarga pasien yang mencari tempat tinggal sementara tidak membuat para pemilik kos-kosan lantas mendaftarkan kosannya di aplikasi tersebut.

Bisnis kos-kosan di daerah ini terbilang seksi.

Jadilah kami harus menyusuri lorong dan gang di siang bolong.  Setelah berhari-hari mencari, tibalah kami di sebuah kosan yang baru buka berlantai dua. Harganya hampir dua kali lipat dari tempat saya dan Ade sebelumnya. Fasilitas laundry dan wi-fi harus kami tukar dengan kamar mandi dalam dengan Air Conditioner (AC).

Sampai di sini semuanya baik-baik saja: berjalan seperti rencana.

Urusan pindah-pindah ini kemudian melempar saya ke awal dekade 2010-2019. Semasa menyelesaikan SMA di Sengkang, saya pindah ke Makassar dan menumpang di rumah tante untuk melanjutkan kuliah di UIN Alauddin Makassar.

Kebiasaan pulang malam dan adanya kebisaan tidur jam 10 malam di rumah tersebut membuat saya memikirkan tempat lain yang lebih fleksibel dalam waktu.

Hasilnya, saya menempati rumah yang dibeli mama setahun sebelumnya. Sejak dibeli dan dipugar, rumah tersebut belum pernah ditinggali seorang pun sehingga butuh waktu beberapa minggu untuk membuatnya benar-benar dapat dihuni.

Urusan membersihkan ini dibantu oleh seorang teman, Ikram: kini seorang polisi di Palu, Sulawesi Tengah. Dia seorang teman yang memang mau diajak bersusah-susah. Jika dihitung mundur saat tulisan ini dibuat, saya telah mengenalnya selama kurang lebih 9 tahun.

Tempat tinggalnya yang tidak pasti selama di Makassar membuat saya mengajaknya serumah.

Lulus kuliah di UNM Parangtambung (iya, saya hanya setahun di UIN karena kemampuan Matematika saya yang buruk dan akan kewalahan jika diteruskan di jurusan Teknik Informatika) hendak pindah rumah lagi.

Sialnya, saya belum punya ide pindah ke mana.

Di kampus saya menghabiskan lebih dari 5 tahun berkuliah. Saya sungguh menikmati semua proses pembelajaran di kelas, berteman dengan orang-orang di dalam dan di luar kampus, serta membuat berbagai projekan-projekan kecil sehingga saat selesai diwisuda saya kebingungan.

Dalam banyak wacana, kondisi ini disebut sebagai Quater Life of Crisis.

Secara asal, saya berhasil meyakinkan mama untuk mengambil kelas bahasa Inggris di Pare, Kediri sambil bekerja lepas sebagai salah seorang Editor in Chief di Pusat Damai BNPT RI.

Tujuannya tidak lain untuk berburu beasiswa, menempuh S2, dan kembali ke kampus sebagai dosen.

Di perjalanan saya dipertemukan dengan berbagai orang dari beragam latar belakang. Mereka semua punya cita-cita yang tidak main-main sehingga membuat saya ciut.

Membandingkan diri sendiri dengan orang lain memang tidak bisa dihindari. Hal ini pun membuat saya menghabiskan waktu lebih lama di Pare; kurang lebih 8-9 bulan selama 2016 dan tidak pernah ke mana-mana.

Selepas perjalanan tersebut saya pulang. Menemani mama di Sengkang, ngalor ngidul tentang banyak hal dalam hidup, serta makan makanan Bugis yang tidak akan pernah ada duanya.

Dalam kenyamanan tersebut, satu waktu di pertengahan 2017 saya mendapatkan tawaran pekerjaan di Jakarta sebagai Copywriter merangkap desainer grafis. Lokasinya jauh di Kelapa Gading, Jakarta Utara.

Saya menghabiskan dua jam lebih di perjalanan bersama Ade siang itu. Dia menemani saya pindah dan mencari tempat tinggal yang tidak jauh dari kantor.

Setelah kontrak berakhir, di pengujung Desember 2017, saya pun dipertemukan dengan pekerjaan yang dilakoni hingga saat ini. Mengingat letak kosan yang jauh dari Kelapa Gading ke Gatot Subroto, Jakarta Selatan, saya pun memutuskan pindah sehari sebelum hari pertama kerja dimulai.

Kamu tahu, di Jakarta tidak ada lagi jalanan yang lowong di mana orang bisa berkendara semulus wajah artis K-Pop. Semua macet dan tersendat sehingga setiap hari orang akan menghabiskan waktu berjam-jam di jalanan.

Saya pernah mencoba menumpang Transjakarta dari Kelapa Gading ke selatan Jakarta dan menghabiskan lebih dari tiga jam. Hal ini jelas tidak masuk akal sehingga saya pun memutuskan pindah agar waktu di jalan bisa lebih singkat.

Pada pertengahan 2018, tepatnya di bulan ramadan; lokasi kantor kami harus pindah. Waktu itu sebulan sebelum saya menikah dengan Ade sehingga tidak lagi kepikiran untuk mendekat di lokasi kantor yang baru.

Biarlah saya yang mengeluarkan biaya transportasi ke kantor. Ade cukup jalan kaki saja. Keputusan inilah yang masih kami pegang terus dan berakhir di kontrakan yang kami huni sekarang.

*

Ade sedang tidur saat saya menuntaskan tulisan ini. Dia baru saja pulang kerja, makan, dan akhirnya tertidur.

Hingga saat ini usia kehamilannya sudah mencapai 34-35 minggu sehingga bulan depan (yang di mana juga tahun depan) jika semuanya berjalan lancar; kontrakan kami akan dihuni oleh satu orang lagi.

Begitulah hidup membawa saya selama dekade ini. Beberapa sesuai rencana, beberapa harus meleset. Agak sulit tentunya memprediksi apa yang bakal terjadi di waktu-waktu berikutnya, tapi Ade dan saya punya mimpi untuk segera menemukan tempat tinggal baru di luar negeri sana.

***

Nih buat jajan