Parenting di 2022

parenting-tahun-ini

Tadi siang sepanjang jalan dari Samata-Hertasning saya benar-benar mengantuk. Untung jalanannya macet, jadi bisa curi-curi tutup mata.

Bagian ini jangan ditiru, berkendara sambil curi-curi tutup mata.

Sebenarnya, saat menuliskan ini, saya sudah capek sekali. Posisi saya di samping Aira menemaninya tidur.

Seharian kami keluar rumah. Berenang di Dewi Sri, niatnya mau ke Gramedia Pettarani, tapi terjebak macet, jadi kami memilih pulang saja.

Parenting di 2022 berdarah-darah.

Saya bahkan beberapa kali berpikir untuk meninggalkan keluarga ini. Tapi, satu waktu saat kami makan, Ade bilang kalau saya adalah satu-satunya penetralisir dari semua kekacauan ini.

Saat memutuskan pulang ke Makassar di usia Alinea yang ke 10-11 bulan, kami berharap mendapatkan circle system; orang-orang yang mau membantu kami dalam proses pengasuhan ini.

Nyatanya, tidak sama sekali. Kami mengalami judgment, Alinea justru mendapatkan banyak larangan ini-itu di mana semua ini mempengaruhi batin kami dalam menjalani proses membesarkan anak.

Bahkan di 2023 kami berharap bisa pindah ke Jakarta dan memulai hidup berempat.

Iya, Aira lahir pada 21 Februari 2022. Mengenai ini, saya sebenarnya tidak berekspektasi apa-apa. Liat tanggal itu? Saat Aira sudah lahir, saya baru kepikiran, kenapa dia tidak lahir di 22 Februari 2022 supaya tanggalnya cantik? 😅

Tapi, ya sudahlah.

Proses kelahiran anak kedua ini ternyata jauh lebih cepat dibanding proses anak pertama. Saya hanya ke bagian administrasi sebentar, trus tiba-tiba Ade menelpon menyuruh saya bergegas karena ia sudah merasakan sakit yang luar biasa. Pas dicek, ternyata bayinya sudah ada di panggul, kepalanya sudah kepegang.

Aira lahir dan tumbuh dalam waktu yang tidak terasa. Sayangnya, proses dari hari ke hari yang kami lalui ternyata tidak mudah. Bahwa kami sudah pernah melalui hal serupa di Alinea: melahirkan, mengurusi makannya, dan mengajarinya jalan; ternyata bukan jaminan kalau semuanya akan berjalan dengan lancar.

Kenyataannya kami masih punya Alinea yang usianya waktu itu beranjak 3 tahun dan ia masih putuh perhatian penuh dari kedua orang tuanya. Apalagi mamanya.

Ade masih harus membagi perhatiannya ke Alinea sambil menyusui Aira. Alinea sering kali cemburu dan tidak suka pada Aira. Jadilah hingga tulisan ini dibuat, yang terdengar setiap hari adalah tangis Aira yang kenal pukul atau bentak atau tangis Alinea yang kesal saat mainannya direbut oleh adiknya.

Perkara ini, mertua saya akan dengan sangat mudah menyalahkan Alinea. Melarang memukul adiknya dan harus mau berbagi mainan.

Saya tidak sepakat untuk hal ini. Dalam hati saat menyaksikan Alinea ditegur, saya selau berujar bahwa bukan dia yang salah; dan dia harusnya tidak disalahkan.

Meski secara usia Alinea lebih tua 2 tahun dibanding adiknya, pada dasarnya ia sedang dalam proses mencerna semua ini.

Sesekali saat Alinea dihakimi, ia kerap pergi menyendiri dengan muka menunduk. Atau ia akan memasang wajah kebingungan. Karena semua ini, beberapa hari lalu saat kami main ke Playground, Alinea menendang seorang anak hingga ia menangis kencang dan mendorong anak yang lainnya saat akan memanjat perosotan.

Ada perilaku impulsif yang dilancarkan kepada anak-anak yang secara usia lebih muda darinya.

Bagaimana dengan Aira?

Aira saat mendengarkan suara kencang ia akan menangis. Bahkan ketika riuh suara hujan di luar rumah. Tidak hanya itu, Aira juga sering kali menunjukkan kemampuannya untuk mempertahankan mainan yang ingin didapatkannya dengan cara mengedan atau berteriak.

Begitulah hari-hari berlalu di 2022.

Di sela-sela kekacauan ini semua saya mau tidak mau harus tetap bekerja. Untuk urusan bekerja saya harus menyiasatinya.

Karena kedua anak ini tidak pernah tidur bersamaan, apalagi di jam tidur siang; mau tidak mau saya harus bekerja saat mereka sudah tidur malam. Atau kalau sudah capek seharian mengurusi keduanya, saya akan bekerja di subuh hari. Siangnya, hanya sebentar-sebentar saja untuk urusan meeting atau ada kerjaan mendadak.

Saya membenci orang tua saya yang tidak bisa berbuat apa-apa, juga mertua saya yang jarang sekali turun tangan membantu kami dalam mengurusi Alinea dan Aira dan hanya sering kali membuat runyam semuanya.

Sayangnya, saya dan Ade tidak punya hak untuk menyalahkan mereka sebab kami tidak punya perjanjian untuk urusan membesarkan anak. Satu kali mertua saya bahkan melontarkan kalimat, "Lah, itu kan risiko punya anak."

Iya, saya tau ini semua adalah risiko. Seandainya ada orang yang memberitahu saya bahwa urusan rumah tangga dan punya anak itu sangat kompleks dan berdarah-darah, maka hingga hari ini dan selamanya—saya barangkali tidak akan mau menikah dan punya anak.

Tapi, mari melihat semua ini dari sudut pandang yang lain.

Saya dan Ade menyaksikan diri kami jauh lebih berbeda dari sebelumnya. Berbeda dalam artian; kami lebih mandiri dan tabah, lebih belajar mengatur strategi, serta lebih kuat secara mental.

Jika beranak satu bagi kami masih terasa seperti baru mendorong kapal dari tepi laut, maka beranak dua bagi kami terasa seperti berada di tengah lautan dengan gelombang yang ganas.

Tidak ada tempat berpegangan sama sekali. Kapal yang kami tumpangi bocor di sana sini. Sesekali kami mencoba melambaikan tangan berharap ada yang menolong, tapi tak ada yang datang.

Hingga akhir 2022 ini, kami sepertinya merasa selamat sebab gelombangnya sudah tidak seganas sebelumnya. Hanya saja, kapal kami masih bocor yang artinya kami masih harus menimba air di dalamnya agar tidak tenggelam.

***

Nih buat jajan