Sastra dan Kepenulisan untuk Masa Depan

hubungan-sastra-kepenulisan-dengan-perkembangan-diri

Menjelajah dunia sastra sering kali diidentikkan dengan berlayar di lautan kata, merasakan gelombang emosi dan segenap estetika yang tiada hentinya membelai kesadaran. Di sisi lain, kepenulisan, atau bermain dengan kata-kata, adalah upaya mendorong imajinasi dan menatap realitas, menciptakan warna-warni kehidupan dalam bentuk simbol verbal.

Dari premis ini saya kepikiran satu pertanyaan. Apa sebenarnya peran kedua elemen ini terhadap perkembangan diri seseorang? Mari kita membahasnya satu per satu.

Sastra dan Kepenulisan di Indonesia

manfaat-sastra-dan-menulis

Data UNESCO 2016 menunjukkan bahwa tingkat literasi di Indonesia mencapai 95,38%. Angka ini mungkin terdengar menjanjikan, namun jika kita gali lebih dalam, kita akan menemukan bahwa 'literasi' dalam konteks ini hanya merujuk pada kemampuan membaca dan menulis pada usia 15 tahun ke atas.

Definisi ini tidak mencakup pengetahuan sastra dan kepenulisan yang menurut Silvia Montoya, di paper Defining Literacy; faktor-faktor yang bisa dikatakan sebagai komponen penting dalam memahami dan menggunakan informasi yang dibaca dan ditulis secara efektif.

Makanya, menarik untuk mempertimbangkan bagaimana pendekatan literasi yang lebih luas agar bisa diintegrasikan dalam program pendidikan dan pembelajaran di Indonesia, sehingga bisa membawa kita ke masa depan yang lebih baik.

Malcolm Gladwell, dalam bukunya The Tipping Point, berpendapat bahwa fenomena besar sering kali dimulai dari perubahan kecil, perubahan yang dapat menyebabkan 'titik balik’ pada suatu situasi. Dalam konteks ini, kita dapat sebut sastra dan kepenulisan sebagai 'perubahan kecil' yang berdampak besar pada perkembangan diri.

Bangsa Indonesia, yang kaya akan kesenian dan budaya, sebenarnya memiliki tradisi sastra yang kuat melalui sajak, cerita rakyat, dan novel. Sastra membantu kita 'membaca' dunia dari berbagai prespektif, lebih empati, dan mampu menghargai keberagaman. Mengenali dan menghargai sastra mampu mendorong kita untuk memahami konteks kehidupan yang lebih luas, meraih pemahaman emosional yang mendalam, dan, pentingnya, memperkuat identitas diri dan nasional.

Sementara itu, kepenulisan mengajarkan kita banyak hal, di antaranya:

  1. Memahami, Menganalisis, dan Mengkomunikasikan Ide: Kepenulisan membantu kita dalam memahami, menganalisis, dan menyampaikan pemikiran serta ide kita dengan efektif dan menarik.
  2. Mengajarkan Kedisiplinan dan Tanggung Jawab: Melalui kepenulisan, kita belajar tentang kedisiplinan dan tanggung jawab.
  3. Merepresentasikani Diri: Setiap kata yang ditulis menjadi cerminan dari diri kita, termasuk pandangan, emosi, nilai-vnilai, dan keraguan.
  4. Merawat Pemikiran Kritis: Kepenulisan juga berperan dalam membantu merawat dan melatih kemampuan berfikir kritis, logis, dan analitis.
  5. Meningkatkan Kepercayaan Diri dan Kemampuan Komunikasi: Dengan berlatih menulis, kepercayaan diri dan kemampuan komunikasi dapat terus berkembang.

sastra-dan-menulis-dan-masa-depan

Dari kedua elemen tersebut, kita dapat pahami bahwa sastra dan kepenulisan memiliki peran sentral dalam membangun emosi, intelektual, dan karakter seseorang. Memelintir Gladwell bahwa membaca dan mengapresiasi sastra berlatih menulis, adalah 'perubahan kecil' yang dapat membawa kita ke titik balik dalam perkembangan diri.

Ditambah lagi dengan fakta bahwa sastra dan kepenulisan juga bisa menjadi alat yang efektif untuk membangun bangsa Indonesia yang lebih baik, dengan lebih jumlah banyak individu yang berpikir kritis, empatik, dan menerima perbedaan.

Menabur Benih Sastra di Lereng Medini

heri-chandra-santoso

"Dari lereng pegunungan di Jawa Tengah, berbicara sastra bukanlah hal yang mustahil." Inilah yang dipegang teguh oleh Heri Chandra Santoso, seorang jurnalis kelahiran Kendal, 22 Mei 1982.

Dia adalah salah satu penggagas Komunitas Lereng Medini (KLM), sebuah komunitas seni dan sastra di Kecamatan Boja, Kendal, yang bergerak meyakinkan masyarakat bahwa sastra tidak hanya bisa, tapi juga berhak untuk diakses dan diapresiasi oleh semua lapisan masyarakat, termasuk mereka yang tinggal di pedesaan.

Gagasan ini kelahiran dari latar belakang dan semangat Heri sendiri. Lulusan Fakultas Sastra Universitas Diponegoro ini bersama dengan Sigit Susanto, seorang pegiat kesusastraan yang bermukim di Swiss, berjuang membuka ruang bagi pelajar desa untuk belajar dan mengeksplorasi sastra dan budaya.

Komunitas Lereng Medini, berdiri sejak tahun 2008, memanfaatkan keindahan dan kesejukan alam pegunungan Medini - gunung yang menjadi latar kehidupan sehari-hari masyarakat Boja. Namun, benih semangat ini sudah ditanam sejak dua tahun sebelumnya, yaitu ketika mereka membuka Perpustakaan Gratis 23 “Pondok Maos” pada tahun 2006. Perpustakaan ini mengubah rumah Sigit di Desa Bebengan menjadi pusat pembelajaran dan apresiasi sastra. Sebagian besar koleksi bukunya adalah karya-karya sastra, dari buku-buku sastra lokal hingga sastra asing.

"Sebelum belajar sastra, kita perkenalkan mereka dengan bacaan," kata Heri.

Mantan jurnalis ini percaya bahwa membaca adalah jembatan awal untuk memahami dan mencintai sastra. Oleh karena itu, sebagai bagian dari program KLM, kelompok baca sastra pun dibentuk. Bersama-sama, mereka membaca dan membahas karya-karya sastra, meresapi keindahan kata dan bahasa, dan membangun pemahaman yang lebih dalam terhadap dunia dan diri melalui halaman-halaman buku.

Melalui KLM, Heri dan rekan-rekannya berhasil membawa sastra dari sudut-sudut kota ke perdesaan, membuktikan bahwa sastra bukanlah milik kaum elit, melainkan harus dapat diakses dan dikagumi oleh semua orang.

Di lereng Medini, pertarungan antara setiap susunan kata tidak hanya terjadi di atas kertas, tetapi juga di tengah angin dan sunyinya pedalaman, bersama suara-suara muda yang mulai berani bicara. Proses ini adalah secercah cerita Heri Chandra Santoso dan komunitas Lereng Medini, perjuangan mereka, dan cinta mereka terhadap sastra.

Mengajar dan Menginspirasi Melalui Tinta

irwan-bajang

Selain Heri, ada juga Irwan Bajang; seorang cendekiawan muda dari Sleman, DIY Yogyakarta, berkomitmen untuk memberdayakan generasi baru penulis melalui pendidikan dan penerbitan.

Alumni Fakultas Komunikasi Jurusan Hubungan Internasional UPN Veteran Yogyakarta ini mendirikan "Independent School" pada tahun 2011, sebuah platform pendidikan tulis-menulis untuk siswa SMP hingga mahasiswa, bahkan komunitas tertentu.

Momen kebangkitan kesadaran tentang pentingnya tulis-menulis membuat Irwan merasa bertanggung jawab untuk berbagi pengetahuan dan keterampilan yang ia miliki. Dengan suasana belajar yang santai namun penuh antusiasme, Irwan dan timnya mengajarkan siswa dan anggota komunitasnya mengenai seluk-beluk dunia penulisan dan penerbitan. Semua dilakukannya secara cuma-cuma, murni dari keinginannya untuk melihat lebih banyak penulis berbakat bermunculan dan berkembang.

Namun Independent School tidak hanya berhenti sampai di aspek pendidikan, mereka juga menekankan pentingnya publikasi dengan mendirikan "Indie Book Corner", sebuah platform penerbitan mandiri. Dalam konsep ini, peran penerbitan buku digabungkan dengan proses pendidikan, dengan harapan memperkaya pengalaman siswa dan memberi mereka dorongan motivasi untuk terus berkarya.

“Sekolah ini punya sayap penerbitan Indie Book Corner. Konsepnya, menggabungkan antara sekolah atau wadah pendidikan dan wadah penerbitan. Sehingga perkawinan kedua hal itu melahirkan kreativitas,“ ujar Irwan Bajang.

Dengan ini, Irwan berhasil menciptakan ekosistem kreatif bagi penulis-penulis muda, merangsang pertumbuhan kreativitas mereka, dan memberi mereka alat dan ruang untuk berekspresi melalui kata-kata. Bukan hanya memberikan pendidikan, tetapi juga memberikan wadah dan dukungan untuk para penulis muda ini agar bisa berbagi suara mereka dengan dunia.

Kisah Irwan Bajang adalah bukti bahwa kekuatan penulisan dan kepercayaan pada potensi setiap individu dapat membuka pintu yang belum pernah dilihat sebelumnya.

Kesimpulan

Sastra dan kepenulisan memegang peran penting dalam pembangunan individu dan masyarakat. Hal ini juga membantu memahami dan mengapresiasi keberagaman, memperkuat identitas diri dan nasional.

Kepenulisan menjembatani komunikasi ide secara efektif, mengajarkan disiplin dan merawat pemikiran kritis. Inisiatif pengenalan sastra pada masyarakat pedesaan oleh Komunitas Lereng Medini dan upaya Independent School dalam mendidik generasi baru penulis menunjukkan betapa pentingnya sastra dan kepenulisan.

Melalui sastra dan kepenulisan, kita bisa membangun masyarakat yang lebih baik, berpikir kritis, empatik, dan menghargai perbedaan. Hingga kelak bermanfaat di masa depan Indonesia.

***

Nih buat jajan