Berhenti Melihat Anak-Anak Sebagai Anak-Anak

Melihat Anak-Anak Sebagai Anak-Anak

Saya tuh suka melongo sendiri saat melihat Alinea dan Aira bermain bersama.

Betapa keduanya, meski belum bisa lancar dan fasih berbicara, tapi bisa saling memahami. Alinea bisa mengatur Aira, dan Aira bisa menurut perkataan Alinea.

Atau saya suka kaget saat Alinea menegur saya.

"Papa, kalau mau tidur sikat gigi dulu, ya!"

"Papa, kok kamu nggak sikat gigi? Aku udah."

Lah, bisa negur nih bocah. Sederhana, tapi menohok.

Soalnya, apa yang dia katakan itu adalah apa yang dikatakan oleh Ade ke dia.

Makanya, melalui tulisan kali ini saya mau bilang kalau orang dewasa ini sebaiknya berhenti melihat anak-anak sebagai makhluk kecil yang tidak berdaya dan tidak tau apa-apa. Justru sebaliknya, kitalah orang dewasa yang harus belajar dari anak-anak.

Belajar dari Anak-Anak

Berhenti Melihat Anak-Anak Sebagai Anak-Anak

Kita tentu sepakat dong kalau setiap anak punya kemampuan belajar dan adaptasi yang tinggi.

Mereka mampu menyerap informasi dan belajar dari lingkungan di sekitarnya. Menganggap mereka tidak tau apa-apa hanya membuat kita mengabaikan potensi mereka untuk memahami, belajar, dan berkembang.

Sewaktu di Makassar, Alinea sering kali tanpa permisi dilampaui haknya oleh nenek-neneknya. Contoh sederhananya, saat digendong oleh orang dewasa dia tidak ditanyai. "Mau digendong nggak?"

Mungkin karena tampak kecil dan tidak punya hak untuk memberikan pendapat, ia oleh orang dewasa langsung saja digendong.

Atau ini, kejadian kemarin. Di lift saat kami mau naik, kami satu lift dengan tiga ibu-ibu. Salah satu yang berdiri di samping Alinea langsung mencubit pipinya.

Ia kaget.

Padahal mah, anak-anak seperti orang dewasa; juga punya emosi dan pemikiran mereka sendiri. Kemampuan mengakui ini penting untuk perkembangan emosional dan sosial yang sehat.

Kenapa Kita Harus Berhenti Melihat Anak-Anak Sebagai Anak-Anak?

Berhenti Melihat Anak-Anak Sebagai Anak-Anak

Jika diberi kesempatan dan support untuk belajar, anak-anak dapat mengembangkan kemandiriannya.

Melihat mereka sebagai individu yang kompten akan membantu mereka membangun kepercayaan diri dan kemampuan mengatasi masalahnya.

Contoh paling sederhana yang saya dapatkan adalah perkara ingin membantu mencuci piring.

Saya paham betul kalau membiarkan Alinea mencuci piring sendirian, maka wastafel akan banjir, sisa-sisa makanan berhamburan, dan busa sabun akan di mana-mana.

Tapi, jika saya tidak membiarkannya belajar, kapan dia akan bisa mencuci piringnya sendiri?

Ya tunggu dia besar.

Melarang anak, selama tidak membahayakan, sebaiknya tidak dilakukan. Sebab melarang dan membatasi anak akan membuat dia stuck dalam belajar. Ia tidak akan menjadi pembelajar dan rasa ingin taunya tidak akan berkembang.

Setidaknya, ini yang saya pahami selama empat tahun.

Sekarang, pertanyaannya, mengapa setiap orang dewasa harus berhenti menjadi sok tau dan egois dan suka seolah-olah paham semua hal dibandingkan dengan seorang anak kecil?

Anak-anak, apalagi mereka yang berada di usia balita; sedang berada di tahap eksplorasi. Mereka belajar lewat pengalaman dan pertanyaan. Saat kita orang dewasa sok tau, maka hal ini akan mengecilkan rasa ingin tau alami mereka.

Artinya, kita menghambat proses mereka belajar. Belum lagi dengan kepercayaan diri.

Anak-anak itu perlu ruang untuk berekspresi dan membuat kesalahan sebagai proses belajar. Sikap sok tau orang dewasa akan mengurangi kepercayaan diri mereka dan membuat mereka takut mencoba hal baru atau berbagi pemikiran dan perasaan mereka.

Coba lihat diri kita, seberapa kita sering kali dihadapkan pada ketakutan-ketakutan saat ingin mencoba hal baru. Kita juga tidak jarang malas untuk mengemukakan pendapat pribadi saat diminta.

Makanya, mulai sekarang kita sebaiknya berhenti melihat anak-anak sebagai makhluk tak berdaya, tak tau apa-apa. Dan berhenti berpikiran bahwa harus kita semua yang mengajarkan semua hal kepada mereka.

***

Nih buat jajan