Ada Car Free Day di Kampung Inggris

alamat kampung inggris


















Sayup-sayup musik berdentum tak jauh dari Stadion Canda Bhirawa. Memasuki perempatan Jalan Jendral Sudirman dan Jalan Pahlawan Kusuma Bangsa dari Jalan Anggrek, saya mendapati tiga orang polisi lalu lintas sedang berdiri di depan plang pemalang jalan. 
Di sekeliling mereka ada sales girls Oppo yang membagikan brosur ditemani maskot raksasanya yang bergoyang-goyang menyapa orang-orang. Karena penasaran, saya yang mengayuh sepeda mendekati kerumunan ini. Jalanan tidak seperti hari-hari Minggu biasanya.

Tak terhitung jumlah orang berpakaian olahraga yang berjalan santai. Selamat datang di Car Free Day (CFD) Pare!

Tepat tanggal 7 Agustus 2016 Wakil Bupati Kediri bersama unsur muspida meresmikan hari bebas kendaraan bermotor di Kecamatan Pare tepatnya sepanjang Jalan Jendral Sudirman. Saya merasa agak aneh sekaligus senang, kota kecil ini punya CFD.

Sejarah Car Free Day

Awalnya, kegiatan seperti ini hanya ada di Eropa. Adalah Belanda yang pertama kali menggelarnya pada 1956. Selanjutnya di Prancis pada 1995 diadakan kegiatan “En ville sans ma voiture”. Di Inggris, 1997, melalui British Environmental Transport Association (ETA) digelar pula National Car Free Days.

Selang setahun, tepatnya 21 Juni 1998, Jerman mengadakan Car Free Mobility Day diikuti oleh Italia dan Belgia. Dan pada Oktober 2000 di Chengdu, Cina pun digelar Car Free Day.

Menariknya adalah tidak lama setelah Cina, pada 2001 di Jalan Imam Bonjol Jakarta Pusat kegiatan hari bebas kendaraan bermotor ini pun digelar untuk pertama kalinya. Menyusul kemudian kota-kota di seluruh Indonesia.

CFD sebenarnya merupakan kampanye untuk mengurangi tingkat pencemaran udara di kota-kota besar di seluruh dunia yang disebabkan oleh kendaraan bermotor. Sejarah panjang perjalanan CFD membawanya tiba di Pare, sebuah kota kecil berjarak kurang lebih 103 kilometer dari kota Surabayakota metropolitan terbesar kedua di Indonesia setelah Jakarta.

Car Free Day di Kampung Inggris

Kehadiran CFD di Pare kemudian menawarkan hiburan baru dari aktivitas belajar di Kampung Inggris. Saya dan kamu tentu paham betul bagaimana rasanya menikmati hiburan setelah seminggu belajar.

Pun dengan masyarakat Pare yang memiliki latar pekerjaan yang berbeda-beda. Tiap Minggu pagi dari pukul 6 hingga 10 pagi Jalan Jendral Sudirman akan hiruk pikuk oleh aktivitas hari bebas kendaraan bermotor.

Hampir di depan tiap-tiap toko besar di sepanjang jalan tersebut akan digelar senam yang bisa diikuti oleh siapapun. Ini adalah hal pertama yang bisa kamu lakukan jika sedang di CFD Pare—senam. Menghambur dan berbaur mengikuti gerakan pemandu.

Sayangnya, saya tidak suka senam. Saya memilih berjalan dan menyinggahi apapun yang menarik bagi saya, terlebih makanan. Akan ada banyak makanan yang dijajakan CFD Pare dengan harga murah dan enak.

Olehnya itu, berburu kuliner adalah alternatif lain selain senam. Teman saya  pernah berseru, “Gagal diet lagi!” Sedangkan seorang lagi pernah menceritakan dengan bangganya bahwa dia telah menyicipi makanan-makanan di sana. Oke, ini lucu. Saya tidak bisa membayangkan dia memakan semua makanan yang ada di jalan sepanjang lebih dari dua kilometer itu.

Selesai makan, kamu juga tidak akan kesulitan menemukan rupa-rupa minuman, cocktail yang populer itu salah satunya. Selain itu, ada juga kakak-kakak gemes dan ibu-ibu muda berjualan jilbab, busana muslimah, bahkan daster. Sambil menunggui ibunya berjualan atau berbelanja, anak-anak juga punya hiburannya sendiri berupa odong-odong dan aneka permainan.

Baca juga: Banyak Cara Menuju Kampung Inggris

Foto: Jumardan Muhammad
Jika kamu tidak ingin mencoba senam atau mencoba makanan yang dijual, CFD Pare menawarkan kamu pilihan untuk bermain dan berswafoto dengan musang, sugar glider, atau ular. Mereka milik komunitas reptil Pare yang nongkrong saban Minggu pagi.

Sebenarnya masih banyak hewan aneh yang tidak saya tahu namanya, saya pun malas untuk bertanya, mungkin kamu mau kesana dan memberi tahu saya nama-nama mereka? Berkabar ya.

CFD Menguras Biaya Kampung Inggris

Eh tapi, omong-omong, satu-satunya yang menguras biaya hidup saya di CFD Pare adalah seorang ibu yang melapak buku bekas—asli, dan langka. Konon, dia dan suaminya memang pembaca buku garis keras sekaligus kolektor buku-buku tua.

Saya sempat membeli Macbeth-nya Shakespeare dan Scene of London Life-nya Charles Dickens bersampul beludru. Saya rasa kita sepakat bahwa buku langka memang kadang tidak murah.

Sampai di sini, saya merasa bahwa CFD di Pare tidak hanya menjadi kampanye untuk mengurangi polusi udara tapi juga menjadi pemicu perputaran roda ekonomi serta ruang rekreasi bagi semua orang. Enam bulan sejak meninggalkan Pare, saya masih bisa membayangkan senyum dan tawa bahagia orang-orang di tiap Minggu pagi yang berjalan kaki dengan teman atau keluarga mereka tanpa harus diklasoni motor atau mobil.


***

Nih buat jajan