Hal-hal ini terjadi di 2016 (2)
Masjid Raya Kabupaten Wajo di shalat Idul Fitri 1437 H/2016 M. Foto: Jumardan Muhammad |
3. Tengah
Tahun II (Agustus-Oktober)
Saya beridul
fitri di Sengkang. Di malam lebaran saya duduk di teras bersama bapak. Dia semakin fasih menggunakan Facebook, mengomentari postingan orang-orang di berandanya. Lima hari sebelum lebaran saya tiba di Makassar dan Ade
menjemput saya di bandara. Kami tidak bertemu setelah hampir 4
bulan. Dia menghabiskan separuh 2016-nya di Jakarta dan kini sudah menetap
di sana. Pertemuan kami kemudian diisi dengan percakapan-percakapan panjang
tentang banyak hal yang terjadi, tentang orang-orang baru yang kami temui.
Dia memang pacar yang baik sekaligus teman diskusi yang cerdas. Salah satu percakapan yang paling membekas adalah pendapatnya tentang bagaimana kami orang introver harus beradaptasi dengan cepat terhadap lingkungan baru. Sebab jika tidak, tidak akan ada hal yang bisa dilakukan dan kita hanya akan terjebak dengan pikiran-pikiran kita sendiri.
Dia memang pacar yang baik sekaligus teman diskusi yang cerdas. Salah satu percakapan yang paling membekas adalah pendapatnya tentang bagaimana kami orang introver harus beradaptasi dengan cepat terhadap lingkungan baru. Sebab jika tidak, tidak akan ada hal yang bisa dilakukan dan kita hanya akan terjebak dengan pikiran-pikiran kita sendiri.
“Saya tahu kalau
kamu adalah introver, tapi tolong, kamu harus menyesuaikan pada dunia yang
terus berubah. Bukan dunia yang harus menyesuaikan denganmu,” sergahnya pada
perbincangan tentang seorang pribadi tertutup lainnya.
Dunia berubah
dengan sangat cepat, pun dengan waktu. Tinggal sementara di lingkungan baru
memaksa saya sebagai introver untuk harus menyesuaikan dan beradaptasi
sesegera mungkin. Bertemu dan berteman dengan orang-orang yang berasal dari
daerah yang berbeda membuat saya awalnya kikuk. Awal kedatangan butuh 2 minggu
untuk merasa nyaman dengan lingkungan baru. Akhir Agustus saya kembali ke Pare
dan saya tidak harus beradaptasi banyak karena sebelumnya saya berada pada
tempat sama.
Jalan Anyelir pukul 05.30 pagi. Kawasan ini adalah kawasan paling ramai di Kampung Inggris sebab di jalan inilah berdiri kursusan pertama di Pare. |
Seorang pengajar malah menjawabnya, “Karena intensitas belajar bahasa Inggris selama sekolah tidak cukup
dan tidak efektif, makanya ke sini.” Hal menarik lainnya adalah banyak
anak-anak Makassar di Kampung Inggris. Saya mengingat ketika
kelas pertama yang saya ambil memasuki sesi perkenalan dan pengajarnya
menanyakan, “Kenapa banyak sekali orang Makassar di sini? Bisa jadi Kampung
Inggris ini akan berubah menjadi Kampung Makassar.”
Menjelang umur seperempat abad saya baru tahu bahwa jawaban tidak hanya Yes atau No saja, tapi juga ada Not Given. |
Agustus hingga
Oktober saya habiskan di Pare, tidak kemana-mana sebab saya tidak sependapat
dengan teman-teman yang sering menggombal—kita harus refreshing ke tempat baru
untuk menyegarkan pikiran yang penat setelah lama belajar.
4. Akhir
Tahun (November-Desember)
Saya menerima
telepon di akhir Oktober tentang Kareba yang menjadi salah satu tim redaksi
yang lolos ke Jakarta untuk mengikuti pelatihan duta damai lanjutan di Jakarta
dan bertemu dengan teman-teman redaksi lainnya dari Jakarta, Medan, Yogyakarta.
Namun, bagian paling sulitnya adalah dari 12 orang tim redaksi, hanya 6 orang
yang diberangkatkan. Sebab kerja tim redaksi ini bukan kerja perorangan namun
kerja tim dan keseluruhan teman-teman yang ada di Kareba hingga 6 bulan setelah
pelatihan masih aktif menulis dan membuat karya terkait anti propaganda paham
radikalisme dan terorisme.
Unggun api di Ciawi, Bogor. |
Pemerintah
Indonesia yang sadar akan bahaya ini kemudian membentuk BNPT RI. Salah satu
divisinya adalah Pusat Media Damai (PMD). Divisi ini kemudian dikhususkan untuk
menjadi media anti propaganda paham radikalisme dan terorisme di dunia maya.
Karena para terorisme mengincar orang-orang muda maka PMD kemudian membentuk
kaki tangan yang digerakkan oleh anak-anak muda dari berbagai kota se Indonesia.
Sebab cara terbaik melindungi anak-anak muda dari paham radikalisme dan
terorisme adalah dengan mengajak anak-anak muda lain sebagai teman yang bisa
menjauhkan mereka dari bahaya tersebut. Digunakanlah dunia maya—dengan memaksimalkan
semua media sosial untuk saluran penyebarannya. Anak-anak muda yang tersebar di
berbagai kota ini menerima tema beragam tiap minggu dari PMD. Tema mingguan yang
diberikan adalah hasil analisa terkait pergerakan paham radikalisme dan
terorisme. Tema-tema ini diolah oleh tim-tim redaksi bentukan PMD dengan
beragam bentuk seperti—karya tulis, karya grafis, animasi, dan video.
Melindungi anak muda dengan cara anak muda. Sebab tak ada yang bisa mengerti
anak muda selain anak muda itu sendiri. Halah!
Demikianlah.
Saya rasa apa yang dilakukan pemerintah dengan melibatkan kaum muda untuk
melakukan pergerakan dan menyelesaikan masalah adalah solusi cerdas.
Saya dan tim redaksi Kareba mengikuti pelatihan duta damai lanjutan di Jakarta dan Bogor dari Senin hingga Kamis. Saya berangkat dari Surabaya dan teman-teman yang lain berangkat dari Makassar. Ada banyak hal yang saya pelajari dari sana. Salah satunya adalah benang merah dari bincang-bincang Nukman Luthfie pengamat media sosial, Kepala BNPT RI, Ketua Ikatan Dai Indonesia, yang dimoderatori Tina Talisa bahwa apa yang Kareba kabarkan di dunia maya tidak akan berguna jika sepi pengunjung dan tidak ada yang memerhatikan. Pembuatan judul adalah hal penting dari penyajian konten. Copywriter yang handal dibutuhkan dalam hal ini. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah haruskah kami ‘menjual diri’ dengan judul yang norak? Saya tidak menangkap jawaban Nukman terkait hal ini, terlalu mengambang.
Saya dan tim redaksi Kareba mengikuti pelatihan duta damai lanjutan di Jakarta dan Bogor dari Senin hingga Kamis. Saya berangkat dari Surabaya dan teman-teman yang lain berangkat dari Makassar. Ada banyak hal yang saya pelajari dari sana. Salah satunya adalah benang merah dari bincang-bincang Nukman Luthfie pengamat media sosial, Kepala BNPT RI, Ketua Ikatan Dai Indonesia, yang dimoderatori Tina Talisa bahwa apa yang Kareba kabarkan di dunia maya tidak akan berguna jika sepi pengunjung dan tidak ada yang memerhatikan. Pembuatan judul adalah hal penting dari penyajian konten. Copywriter yang handal dibutuhkan dalam hal ini. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah haruskah kami ‘menjual diri’ dengan judul yang norak? Saya tidak menangkap jawaban Nukman terkait hal ini, terlalu mengambang.
Kareba Duta Damai terpilih
sebagai salah satu tim yang mempresentasikan hasil kerjanya selama 6 bulan
terakhir di depan para pejabat BNPT RI. Saya memang yakin Kareba menang
tampilan sejak dipresentasikan di Makassar untuk pertama kalinya. Dan ternyata,
setelah dibandingkan dengan tim redaksi dari kota lainnya kami masih unggul.
Walaupun dari segi pengunjung, Kareba miskin. Apa yang saya prediksikan benar,
tampilan dan konten merupakan syarat utama untuk sebuah website. Jika Kareba
menang di visual maka tim redaksi dari Pojok Duta Damai, Yogyakarta, yang merupakan teman presentasi kami
unggul di riset dan analisa yang mereka kerjakan. Tulisan-tulisan yang mereka tampilkan
juga jauh lebih berat nan bernaas.
Sekira tujuh
atau delapan tahun lalu saya sering menerima wawasan kebangsaan tentang
Indonesia. Hingga saat itu saya tak pernah lagi mendapati hal tersebut.
Pengalaman tentang ke-Indonesiaan saya dapatkan kemudian dari bacaan dan perbincangan-perbincangan
dengan orang-orang, itupun jarang. Tapi di malam terakhir pelatihan duta damai,
saya kembali menerima wawasan kebangsaan dari salah seorang pimpinan di BNPT
RI. Ini kemudian menjadi semacam amunisi untuk masa-masa mendatang.
Selesai
kegiatan, Ade menyarankan saya ke kawasan Kota Tua karena dia belum bisa
menemui saya di hari itu. Di sana saya menghabiskan seharian dengan
berkeliling. Minum kopi di pagi hari di Kopi Es Tak Kie, kedai kopi yang
berdiri sejak 1929 di kitaran Glodok, Jakarta Barat. Kopi Es Tak Kie ini sering
wara-wiri di linimasa instagram saya
lengkap dengan ulasannya yang bikin ngiler.
Saya yang memang gemar berada di warung kopi yang biasa saja merasa seperti
menemukan harta karun, apalagi kedai kopi ini berada di tengah-tengah kawasan
pecinaan. Saya menghabiskan hampir dua jam di sana, duduk dan mondar-mandir di
dalam kedai sambil memerhatikan foto-foto di dinding, memerhatikan si pembuat
kopi dan para pengunjung yang di dominasi orang Tionghoa. Matahari kian
meninggi, saya menuju ke Kota Tua. Mengunjungi museum-museum yang ada di sana. Di
museum Fatahillah yang dibangun pada tahun 1700-an, memerhatikan runut Jakarta di
masa lalu dari miniatur, lukisan-lukisan, hingga perabotan rumah tangga membuat
saya terkagum-kagum. Jika memang diberikan pilihan saya memang selalu ingin hidup
masa lalu, sebelum semua yang ada sekarang datang menginvasi. Museum selanjutnya
yang saya datangi adalah museum seni rupa dan keramik Indonesia. Mengunjungi
museum di Indonesia memang selalu seperti ziarah kubur. Yang ada adalah sepi
dan potongan-potongan sejarah dalam bentuk patung, lukisan, dan berbagai artefak
yang fisiknya sudah tidak lagi utuh. Tidak sedikit patung di sana yang dibantu
berdiri tegak oleh tali yang membentang. Tepat di seberang pintu selatan stasiun Kota
Tua, di gedung Olveh, ada Sarasvati yang berkantor di sana—majalah seni dan
gaya hidup. Di hari itu sedang ada pameran The Trade of Innovations, salah
satunya memajang desain paviliun Indonesia di Frankfurt Book Fair 2015.
Kota Tua Jakarta. |
Kalau mau jujur, dari segi rasa, kopi susu yang saya sesap pagi itu sebenarnya kalah dengan kopi di warkop daeng sija di jalan pelita Makassar. |
"Selama toko buku ada, selama itu pustaka bisa dibentuk kembali. Kalau perlu dan memang perlu, pakaian dan makanan dikurangi," Tan Malaka, Madilog. |
Minggu siang,
saya mengunjungi Abad Fotografi di Galeri Nasional. Pameran fotografi yang
memajang karya para dedengkot seniman foto Indonesia. Kali ini tidak bersama
Ade, kami berpisah di depan Galeri Nasional, dia harus masuk kerja dan saya
harus ke Halim Perdana Kusuma sejam setelahnya sebab tiket kepulangan ke Surabaya jam 4 sore.
Pertemuan yang singkat itu merupakan pertemuan terakhir kami di 2016.
Ade dan saya. |
***
Saya menyelesaikan tulisan ini lima menit sebelum kelas jam 5 pagi di mulai. Tiga hari ke depan hari pertama di 2017 akan tiba. Saya sudah menyusun rencana-rencana di 2017. Semoga Tuhan juga menghendaki. Kita manusia, hanya bisa berencana, berusaha, dan berdoa. Kemarin saya juga telah memperpanjang nama domain blog ini. Semoga di 2017 saya lebih rajin mencatat keseharian. Bulan terakhir dalam almanak ini memang sungguh membantu kita untuk melihat dunia dengan cara yang unik : tentang kenangan dan harapan—tentang bagaimana kehidupan kita di tahun lalu atau akan seperti apa kita di tahun mendatang. Selamat berlibur dan selamat tahun baru!
*Judul tulisan ini meminjam judul lagu FSTVLST, Hal-Hal Ini Terjadi. Ini tulisan bersambung, sebeluumnya bisa dibaca di http://www.jumardanm.com/2016/12/hal-hal-ini-terjadi-di-2016-1.html
Post a Comment