Buku Ini Tidak Cheesy, Tapi Spicy


Iya, awalnya saya mengira kalau buku ini bakal berisi tentang cerita-cerita perjalanan bersekolah di luar negeri.

Kamu datang, merasakan gegar budaya, foto-foto di berbagai tempat, merasa pendidikan di luar jauh lebih sulit, dan berakhir dengan kisah heroik seorang pelajar Indonesia yang mendapatkan gelar sarjana.

Setelah menghabiskan seminggu lebih bergelut dengan pemikiran-pemikiran sang penulis, saya pun sadar bahwa buku ini harusnya tidak menggunakan kata sifat Cheesy di judulnya, tapi Spicy. Kenapa?


Buku ini saya temukan di rak buku lantai dua Erasmus Huis. Perpustakaan di Pusat Kebudayaan Belanda ini pada dasarnya hanya menyediakan buku-buku berbahasa Belanda. Namun, ada sebagian rak yang menyediakan tempat untuk buku Indonesia yang berkaitan dengan negara penjajah kita.

Adalah seorang Yuhendra yang dua kali mengunjungi Belanda dengan tujuan studi.

Pertama, di 2006 dia mendapatkan kesempatan Short Course. Kedua, di 2008 dia memeroleh peluang untuk melanjutkan studi master di mana kedua-keduanya dibiayai oleh beasiswa negara setempat.

Latar Belakang Penulis



Dari biodata di halaman terakhir buku terungkap bahwa si penulis memang telah menulis sejak kuliah  di Padang, Sumatera Barat. Baru setelah itu dia menjadi wartawan di berbagai media cetak.

Kemampuannya dalam menyajikan kata-kata inilah yang berhasil membuat Cheesy Notes From Holland tampil berbeda dengan buku-buku perjalanan menempuh studi di luar negeri lainnya.

Tak ayal, cerita-ceritanya sering kali membuat saya lupa diri saat membaca.

Buku yang pertama kali terbit pada 2014 ini sebenarnya lebih layak disebut refleksi perbandingan dua negara antara Indonesia dengan Belanda dari segala sisi. Penulis pun tidak mencoba self-centered dengan menceritakan romantisme belajar di negeri orang.

Bab per Bab


Dengan ketebalan mencapai 240 halaman, Yuhendra membagi cerita-cerita ke dalam 20 bagian.  Pria Padang ini mengawali bukunya dengan cerita berjudul Whisper di mana ia harus berurusan dengan nama belakang yang sebenarnya tidak dimilikinya.

Kamu tahu kan kita sering kali diwajibkan mengisi nama depan dan nama belakang saat berhadapan dengan lembar formulir. Nah, di negara kincir angin, hal ini pun menjadi sesuatu yang harus dipenuhi.

Setelahnya Cheesy Notes From Holland membawa kita ke perbandingan Winter dan Summer; tentang betapa kita harus bersyukur dengan matahari yang bersinar cerah sepanjang tahun. Soalnya, orang-orang Barat begitu menghargai Summer.

Wajar saja jika mereka kemudian punya libur musim panas.


Kita semua tentu sepakat bahwa saat berkunjung ke suatu tempat, tidak lengkap rasanya jika tidak berswafoto. Aktivitas ini pun dilakukan oleh si penulis dan para mahasiswa yang sedang belajar di Belanda.

"Sejauh yang saya lihat, wisatawan bule lebih suka foto-foto objek wisata dibading diri mereka. Mereka lebih suka mengabadikan keindahan alam, pedagang sayur, buruh pasar, selokan tersumbat, dan segala macam yang mencerminkan tempat yang mereka singgahi." halaman 39.

Kita barangkali patut berbangga bahwa buku ini tidak melulu menampar kita, tapi juga menceritakan kelebihan masyarakat Indonesia yang membuat profesor di Belanda geleng-geleng kepala. Kita pandai memanfaatkan barang bekas yang tidak lagi dipakai oleh orang berkulit putih ini.

"Satu hal yang saya salut dari orang Indonesia adalah kreativitas mereka memanfaatkan barang-baran rusak. Bagi kami, begitu rusak ya langsung buang, beli baru, atau ke tempat reparasi, meski itu sebenarnya tidak baik dari segi lingkungan," halaman 72.


Memasuki bagian tengah buku, Yuhendra dengan sangat rapih mendeskripsikan transportasi di seluruh daerah di Belanda. Sesuai judulnya Berkaca Pada Sistem Transportasi Belanda, bab ini pun sukses membuat saya berkaca.

Hadirnya sistem dan armada yang layak dan tepat waktu membuat orang-orang di sana lebih mengandalkan transportasi umum dibandingkan dengan kendaraan pribadi.

Hal ini jelas bisa dijadikan pelajaran berharga buat pemerintah untuk menciptakan sistem yang baik dan menjadi pengingat buat masyarakat umum untuk lebih aktif memanfaatkan Transjakarta, KRL, atau MRT ketimbang ribet bergulat dengan aturan ganjil genap.

Oiya, tahukah kamu bahwa Belanda merupakan satu-satunya negara di Eropa yang jumlah sepedanya lebih banyak daripada jumlah penduduknya? 😏

"Bersepeda tidak mencerminkan status kaya atau miskin seseorang. Bahkan, orang kaya pun lebih memilih bersepeda daripada naik mobil," halaman 101.

Yay or Nay


Jika harus memilih satu bab yang menjadi favorit di Cheesy Notes From Holland, saya akan memilih Dunia Tanpa Kelas. Orang-orang Belanda tidak meniadakan istilah "Pembeli Adalah Raja" sehingga setiap kali kamu berbelanja di toko atau supermarket, maka kamu sendirilah yang harus membungkus belanjaan tersebut.

Hal remeh yang ternyata punya benang merah terhadap eksistensi kita sebagai seorang manusia.

Pun dengan orang kaya dan orang miskin, mereka tidak punya jurang untuk hal tersebut sehingga di Belanda agak susah menilai seseorang berharta atau tidak dari penampilannya. Lagi-lagi jelas bahwa hal ini berbanding terbalik dengan kita masyakarat Indonesia.

"Bukannya tidak ada yang lebih kaya, namun kalau ada yang ingin tampil lebih, ada pemukiman lain bagi mereka yang berkelas dan berpenghasilan lebih. Yang pasti, mereka tidak bisa pamer kepada tetangganya yang kurang beruntung," halaman 92.

Meski terbit 5 tahun lalu dan ditulis pada rentan 2006-2010, buku ini jelas masih sangat relevan untuk dibaca. Ada banyak pelajaran berharga dari Belanda yang dapat kita terapkan.

Di beberapa bagian, buku ini punya banyak lelucon yang berhasil membuat saya mengulas senyum.


Yang tidak kalah menariknya adalah anggota DPR serta pejabat pemerintahan yang sedang studi banding. Para wanita akan memasuki setiap toko-toko branded dan para lelaki akan menyusuri Red Light District "mencari perempuan-perempuan untuk begituan."

Maksud saya, bagaimana mungkin serombongan beliau yang terhormat berangkat ke Eropa, berbelanja, foya-foya, menghabiskan uang rakyat, dan pulang tanpa impelementasi yang jelas?

Sialnya, hingga hari ini, kebiasan-kebiasaan tersebut masih saja terus berlangsung.

Itulah kenapa saya lebih memilih menggunakan kata sifat Spicy dibandingkan kata Cheesy untuk judul buku ini. Buku terbitan Diva Press ini lebih banyak berisi paragraf-paragraf pedas, namun dengan bahasa yang lebih ringan sehingga semua orang bisa terhubung, termasuk kamu.

Selain itu, jika kamu menyukai cerita-cerita perjalanan atau senang melakukan perjalanan, maka buku ini wajib masuk dalam tas kamu selama perjalanan untuk dibaca.

***

Nih buat jajan