Makan Apang di Kebon Kacang

apang-kebon-kacang-jakarta

Dari akun Instagram Dari Halte ke Halte saya menemukan Apang di Kebon Kacang, Jakarta. Membeli kue tradisional Bugis ini lalu membawa ingatan saya di suatu malam bertahun-tahun silam.

Sesudah menunaikan salat maghrib, mama menyalakan Vespa Sprintnya di garasi. Dia menyambar jaket parasut yang kami beli beberapa minggu lalu di pusat cakar (istilah kami untuk menyebut pakaian bekas).

"Kalau mau ikut, pakai baju, pakai jaket."

Sebagai seorang anak yang duduk di bangku kelas 4 SD dan tinggal di kota kecil, keluar malam tentu menjadi ajakan yang sangat sulit ditolak. Soalnya, keesokan harinya saya bakal menceritakan pengalaman ini kepada teman-teman sekelas.

Lagi pula, saya jarang sekali mendapatkan izin untuk keluar malam dari mama.

"Mau ke mana, Ma?"

Dia keluar rumah, mendorong motornya, lalu menaikinya. Tanpa menunggu jawaban, saya pun melompat ke sadel belakang.

"Hidungmu tutup!"

Mama mengingatkan dengan suara yang terbawa angin malam. Maklum, sebelum dan setelah lahir saya merupakan anak yang sakit-sakitan dengan tubuh kurus dan berat badan seperti tidak terurus. Jika diingat-ingat, saya bahkan pernah tidak ke sekolah selama 6 bulan dan keluar masuk rumah sakit selama waktu tersebut.

Melewati sebuah tanjakan dan lapangan, kami tiba di pertigaan jalan di kitaran Pasar Mini Sengkang. Tepat di sudut, Mama berhenti dan memarkir motor. Baru setelah itu saya tahu kalau kami keluar untuk membeli Apang.

Di sebelah kiri kami, seorang perempuan paru baya duduk bersila dengan lampu pelita berbahan minyak tanah duduk dengan tungku di depannya. Dia dengan telaten membuka tutup sebuah panci. Memindahkan isinya dan menggantinya dengan yang baru.

Ada dua tiga orang di sekitarnya juga melakukan hal yang sama. Mereka sama-sama menjual Apang. Waktu menjualnya terbilang unik, selepas salat maghrib hingga pukul 10 malam.

Harga sepotong apang dijajakan 500 perak kala itu. Saya ingat betul mama memesan Rp 5.000, 10 potong untuk kami bawa pulang.

Apang Kebong Kacang


apang-kebon-kacang-jakarta

Ingatan inilah yang membayang saat saya mengayuh sepeda dan menemukan sebuah rumah dengan baliho memanjang di kiri kanan pintunya.

Berada di Jakarta selama bertahun-tahun dan tidak pernah pulang selama setahun belakagan membuat saya kerap kali dihajar rindu terhadap segala hal terkait tempat di mana saya menghabiskan masa kecil. Sialnya, tidak ada yang bisa saya lakukan selain mengingat.


Beruntung, seperti yang saya katakan di awal, akun Instagram Dari Halte ke Halte satu hari mengunggah foto Apang di Jalan Kebon Kacang XI, Jakarta Pusat. Seusai membaca captionnya dan menggeser-geser fotonya di layar hape, saya lalu berpindah aplikasi dari Instagram ke Chrome.

Saya mengecek Google terkait Apang di Kebon Kacang sebagaimana yang diunggah oleh Dari Halte ke Halte. Dari Google Map saya tahu kalau lokasinya tidak jauh dari tempat kami tinggal.

Jadilah saya merencanakan perjalanan naik sepeda di satu pagi ke penjual Apang tersebut. Yang berjualsn adalah sepasang suami istri. Sang istrilah yang oleh suami disebut bersuku Bugis dan punya ide berjualan Apang di Jakarta.

Untuk tiap potong Apang dihargai Rp 2.000. Sekadar coba-coba saya memesan 10 potong yang lalu dimasukkan ke dalam kotak putih. Seperti apa rasanya?

Saya lupa kapan terakhir makan apang.

Pada dasarnya, Apang terbuat dari bahan seperti tepung beras, terigu, daun pandan, dan gula merah. Bahan-bahan ini kemudian dicampur, dibagi-bagi ke dalam cetakan, dan dikukus. Sebagai pelengkap, Apang dimakan bersama kelapa parut.

Agak sulit membandingkan Apang di Kebon Kacang dengan Apang lainnya. Sependek ingatan saya melalui indera pengecap, saya tidak doyan dengan Apang yang lengket. Barangkali karena proses pembuatan atau bahannya yang tidak tepat, sehingga hasilnya kurang sempurna.

Sementara Apang kali ini hadir dengan rasa yang lembut dan tidak lengket di langit-langit mulut.

apang-kebon-kacang-jakarta


Bagaimana tidak si pembuatnya, laki-laki Jawa yang menikahi perempuan Bugis bertahun silam; meletakkan timer di samping pancing raksasanya. Satu untuk Apang, satu untuk kelapa parut yang digunakannya.

"Istri saya orang Bugis," jawab si laki-laki saat saya tanyai Bugis apa.

Sedangkal pengetahuan saya, suku Bugis pada dasarnya perantau dan suku Bugis yang paling banyak menyebar di berbagai tempat adalah Bugis Wajo.

Di buku Migrasi dan Orang Bugis yang ditulis oleh Andi Ida Kesuma menyebutkan bahwa orang-orang Bugis sudah merantau sejak abad ke-15. Pemicu utamanya zaman itu adalah perang dan adanya ketidakadilan yang terjadi di daerahnya.

Hampir di seluruh pesisir pantai dapat ditemukan dengan mudah komunitas orang Bugis.

Sementara di Jalan Kebon Kacang XI ini saya bertemu seorang perempuan berjilbab yang berasal dari Belawa, Wajo.

"Saya di sini sejak tahun '92," ujarnya dalam bahasa Bugis logat Belawa.

"Wah, itu saya baru lahir, Bu," balas saya.

Usaha yang dijalankannya ini sudah berlangsung setahun. Selain Apang, pasangan suami istri ini juga berjualan Jalangkote seharga Rp 3.500 per biji. Mereka berjualan dari pukul 9 pagi hingga pukul 5 sore atau bakal lebih cepat jika Apang dan Jalangkotenya sudah habis.

Tempatnya yang tidak begitu luas ini selalu dipadati pembeli. Kami tidak menghabiskan banyak waktu untuk mengobrol karena pembeli terus berdatangan dan tempatnya kian menyempit.

Saya memasukkan sekotak putih Apang dan memasukkannya ke kantong belanjaan. Saya pamit mengucapkan terima kasih dan seorang ibu menggantikan posisi saya di hadapan suami istri itu.

Di perjalanan pulang saya menggenjot sepeda lebih cepat sambil senyum-senyum. Tidak sabar menikmati Apang bersama secangkir kopi hitam. Aih!

***

Nih buat jajan