Lebih Baik Tidak Makan Daripada Tidak Merokok


"Saya merokok sejak kelas dua SD. Sama kakekmu dibolehkan saja."

Begitu kalimat bapak yang sering diucapkannya ketika saya menyinggung tentang bahaya merokok. Dia akan bercerita panjang lebar mengenai kebiasaan merokok ini.

"Dulu kami mengisap ico' yang digulung-gulung ke dalam kertas. Karena berenang seharian di danau, kami butuh penghangat."

Ico' ini tembakau di daerah Bugis. Daerah tempat bapak besar adalah di pesisir Danau Tempe, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan dan dia menghabiskan masa kecilnya membantu kakek yang seorang nelayan di danau tersebut. 

Bapak punya saudara 9 orang. 5 di antaranya laki-laki dan semua merokok. Begitu pula sepupu-sepupunya yang rumahnya tak jauh dari rumah kakek; semua merokok.

"Sepulang sekolah dan sehabis makan siang, saya, ommu, dan sepupu lainnya disuruh ke danau bantu-bantu kakekmu dan pulang saat hari sudah gelap," kenangnya dalam bahasa Bugis. Jika akhir pekan tiba, maka mereka akan menghabiskan hari di sana dan setiap subuh mampir ke pelelangan ikan.

Dingin yang menyergap pun menjadikan ico' sebagai penghalaunya.

Saat masih duduk di bangku kelas dua SMP saya sempat dikagetkan oleh berita tentang bapak yang tiba-tiba strok.

"Panggilan kepada Ardan. Ditunggu oleh orang tuanya di gerbang sekolah sekarang juga."

Begitu pelantang suara sekolah di suatu siang. Saya yang masih tengah belajar di kelas sontak meminta izin kepada guru yang mengajar saat itu.

Berlari kecil saya mendapati bapak tak bergerak di jok tengah mobil. Ada mama di sampingnya.

"Saya mau ke Pare-Pare sama bapakmu. Dia kena strok. Ini kunci rumah dan uang. Barangkali 3 hari. Hati-hati di rumah, ya!"

Saya masih mematung ketika mobil yang mengangkut bapak berlalu. Kota Pare-Pare yang bakal ditempuhnya selama 3 jam perjalanan memang punya rumah sakit yang terbilang lengkap.

Sebelum dirujuk ke Kota Makassar, pasien dari Sengkang, Kabupaten Wajo biasanya disarankan ke Pare-Pare terlebih dahulu. Fasilitas kesehatannya terbilang lebih lengkap.

Namun, itu dulu sekira 2005.

dampak-buruk-rokok-terhadap-kesehatan

Sepulang dari Pare-Pare, kebiasaan merokok bapak tiba-tiba terhenti. Oleh dokter, dia disarankan untuk berhenti merokok karena strok ringan yang menerpanya sebab ada kemungkinan strok lanjutan bakal terjadi jika bapak masih melanjutkan kebiasaan ini.

Baca juga: Alasan Tepat Berhenti Merokok

Saya ingat betul rokok bapak adalah Surya Gudang Garam. Pasalnya, saya sering kali dimintai tolong untuk membelikannya rokok. Dalam sehari dia bisa menghabiskan 5-6 bungkus rokok.

Hal ini saya hafal betul karena saban kali sebelum mengantar saya ke sekolah, bapak akan singgah ke Toko Senang; toko serba ada yang menjual berbagai barang kebutuhan dengan harga yang relatif lebih murah dibandingkan di tempat lain.

Dia biasanya menggenggam 5 bungkus Surya dan memasukkannya di bagasi motor vespanya.

Kelima bungkus rokok itu pun bakal tandas sebelum matahari tenggelam dan malamnya saya akan melipir ke warung dekat rumah untuk membelikannya sebungkus lagi.

Di dalam rumah, di ruang keluarga, bapak senang sekali menonton televisi sambil merokok bersama kami. Seorang istri dan dua orang anaknya. Seperti yang kita tahu bersama, keadaan ini jelas sangat berbahaya, tapi apa daya kami sudah utarakan dan hasilnya masih sama.

Sepulang dari Pare-Pare, bapak benar-benar berhenti merokok. Dia mengganti rokoknya dengan permen Relaxa saat keinginan merokok itu muncul.

Dari hari ke hari, dia semakin gelisah. Tubuhnya mendadak tampak lebih gempal dengan kemampuan melakukan aktivitas fisik yang menurun. Jadilah dia kembali ke rumah sakit untuk mendapatkan konfirmasi dari dokter mengenai keadaannya ini.

Tak kunjung membaik, bapak kembali merokok. Di suatu siang di akhir pekan dia memanggil saya, "Ardan, belikan Class Mild di Mama Ani."

Saya yang manut saja pun beranjak ke warung dekat rumah. Kata orang-orang yang saya tahu belakangan, Class Mild agak lebih ringan dibandingkan Surya.

Selang beberapa minggu, tubuh bapak kembali seperti semula. Tidak gendutan dan lebih semangat dalam beraktivitas. Seolah rokok adalah obat.

Oleh mama, alokasi anggaran rumah tangga yang sudah diaturnya sedemikian rupa pun kembali harus dipecah oleh biaya sebungkus rokok bapak. Pasalnya, rokok ini juga mengambil banyak uang bulanan keluarga.

Terkait keuangan yang harus dibagi ke dalam pos kebutuhan pokok dan kebutuhan rokok, saya teringat lagi dengan kelakar seorang teman yang merokok. Lebih baik tidak makan daripada tidak merokok. Lah, kok bisa?

Kebutuhan Rokok vs Kebutuhan Pokok

dampak-negatif-rokok

Saat bapak dengan sangat aktif merokok, saya ingat betul sebungkus Surya Gudang Garam dihargai 12 ribu hingga 14 ribu. Terakhir, saat menuliskan postingan ini saya mengecek harga Surya Gudang Garam setiap bungkus adalah 24 ribu.

Hal ini jelas menjadi pertanyaan. Kok bisa? 😕

Di portal berita saya menemukan jawabannya. Menurut Kepada Badan Pusat Statistik, harga rokok terus naik karena inflasi yang terjadi sebesar 0,01% setiap bulannya.


Kenaikan harga rokok ini mau tidak mau membuat masyarakat Indonesia berjibaku dengan kebutuhan pokok. Sialnya, hampir dengan mudah kita temui sehari-hari masyarakat dari kalangan menengah ke bawah adalah perokok aktif.

Akhirnya, harga kebutuhan pokok dan kebutuhan rokok menjadi dua hal yang terus berdampingan saban waktunya.

Saya barangkali bisa bersyukur sebab kebutuhan rokok ini tidak ada di dalam anggaran rumah tangga kami yang masih seumuran jangung ini.

Pernah satu dua kali saya mencoba merokok saat masih duduk di bangku kelas 5 SD dan kelas 2 SMP. Percobaan pertama saya diajari oleh teman-teman lingkungan tempat tinggal saya.

Dulu, di lorong kompleks Pepabri ada sebuah studio musik di mana saya menghabiskan sore hingga malam hari di sana. Menonton orang bermain musik atau sekadar menonton film di televisinya yang berlayar lebar.

Seperti yang kamu tahu, hampir seluruh anak nongkrong yang ada di sana waktu itu merokok. Saya yang masih sekolah dasar beberapa kali ditawari sebatang rokok dan sempat saya coba. Belum habis satu batang, saya buang.

Rasanya tidak enak sama sekali 😖

jumlah-perokok-di-indonesia


Di waktu lain, oleh teman-teman SMP saya, saya juga ditawari rokok. Hampir sama dengan seluruh anak baru gede yang penasaran terhadap hal-hal yang dilakukan oleh orang dewasa, saya kembali mencoba merokok.

Saya tidak pernah membeli sebungkus rokok, tapi cuma per batang. Hanya untuk membuktikan kepada teman-teman saya kalau saya juga bisa merokok. Meski pada kenyataannya, saya tidak menyukainya.

Belakangan baru saya sadari kalau di tongkrongan saya adalah minoritas.

Bukannya apa, menghisap sebatang rokok itu benar-benar menyebalkan. Rasaya pahit dan baunya akan menempal lama di badanmu. Istri saya bahkan pernah nyeletuk, "Bahkan BH saja bisa bau rokok kalau berada di tengah-tengah para perokok."

Saya tumbuh di keluarga perokok aktif. Baunya sudah saya hafal betul. Barangkali karena itu saya tidak suka rokok, bahkan baunya.

Jadinya saat berkeluarga kebutuhan pokok ini tidak terganggu oleh kebutuhan rokok.

Rokok VS Kemiskinan


Setelah makanan, rokok filter; khususnya, adalah penyumbang terbesar kemiskinan. Hal ini jelas tidak perlu lagi dipertanyakan.

Bayangkan saja, kamu berasal dari keluarga ekonomi menengah ke bawah. Ayahmu seorang perokok dan untuk biaya bulanan rumah tangga saja ibumu sering mengeluh. Sementara harga rokok dari hari ke hari semakin mahal dan ayahmu seolah tidak bisa hidup tanpa rokok.

Seperti yang telah saya ungkap sebelumnya, saya punya seorang teman yang fasih betul terhadap kondisi ini. Dia memilih untuk tidak makan daripada tidak merokok jika harus dihadapkan pada dua pilihan ini.

Di perkotaan, pengaruh rokok terhadap kemiskinan sejumlah 11,07% dan di pedesaan angkanya berada di 10,21%.

Data-data ini bersumber dari masa di mana sebelum pandemi Covid-19 menghantam Indonesia. Krisis kesehatan seolah berbanding lurus dengan krisis ekonomi, sehingga jika BPS merilis data terbaru terkait hal ini; kita semua tentu sudah tahu hasilnya.

Kebutuhan pokok kian berjibaku dengan kebutuhan rokok. Jumlah para pekerja yang harus makin dirumahkan meningkat.

total-pekerja-phk-di-indonesia

Apabila ingin berhenti merokok demi menyelamatkan kebutuhan pokok dan yang paling penting sih kesehatanmu dan keluarga, maka tempat berkaca paling baik adalah pada apa yang M Nur Kasim lakukan sebagai Ketua RT 1/RW 3 dari Kampung Bebas Asap Rokok dan Covid-19 di Cililitan Jakarta; yang bekerja sama dengan seluruh pihak yang ada di daerah tersebut.

Salah satu aturan yang dibuat dan dijelaskan di Talk Show Ruang Publik KBR - Pandemi: Kebutuhan Pokok vs Kebutuhan Rokok, yakni tidak boleh merokok di dalam rumah. Hal ini jelas melempar ingatan saya ke masa kecil yang melihat bapak dengan santainya merokok di ruang keluarga.

bahaya-rokok-bagi-kesehatan

Kebayang di masa pandemi seperti ini masih ada orang yang dengan tega merokok di dalam rumah. Yha, walaupun itu rumah sendiri, tapi tetap. Selalu pikirkan orang-orang di sekitarmu.

Nah, demi menegakkan aturan ini, Pak Nur, tidak serta merta menghukum seseorang. Dia hanya bakal memberikan teguran keras jika orang tersebut datang kepadanya untuk keperluan administrasi surat menyurat agar aktivitas merokok di dalam rumah tidak terulang lagi.

Jika sudah seperti ini, jelas sudah bahwa yang kita perlukan adalah kerja sama dari semua pihak demi menekan angka kemiskinan yang disebabkan oleh kebiasaan ini, sehingga tidak ada lagi istilah lebih baik tidak makan daripada tidak merokok.

Lebih baik uang rokok disimpan untuk uang kebutuhan pokok. Iya ga? 😉

***

"Saya sudah berbagi pengalaman pribadi untuk #putusinaja hubungan dengan rokok atau dorongan kepada pemerintah untuk #putusinaja kebijakan pengendalian tembakau yang ketat.

Anda juga bisa berbagi dengan mengikuti lomba blog serial #putusinaja yang diselenggarakan KBR (Kantor Berita Radio) dan Indonesian Social Blogpreneur ISB. Syaratnya, bisa Anda lihat di sini." 

***

Nih buat jajan