Budaya Timur Itu Tidak Cocok untuk Membesarkan Anak

parenting style budaya timur

Ini sepengalaman saya momong dua anak; satu usia 4 tahun dan satunya lagi usia 2 tahun.

Masa' tiap kali ketemu orang dewasa baru, seorang anak harus salim? Masa' tiap kali ketemu orang dewasa baru, harus langsung akrab dan ditoel-toel?

Kita aja nih sebagai orang dewasa, rasa-rasanya akan langsung menolak tiap kali ketemu orang baru dan langsung harus salim.

Bukan karena kamu hanyalah keluarga atau teman orang tua, jadi harus salim dan langsung akrab.

Jadi, ceritanya saya selalu tidak nyaman saat ada orang dewasa yang kenalan dengan Alinea dan Aira; yang mengharuskan cium tangan dan membolehkan ditoel-toel.

Meski, si anak menolak, si orang dewasa sok tau ini tetap memaksa dengan cara menjulurkan tangannya untuk dicium.

Sebenarnya budaya cium tangan kepada orang dewasa ini hanyalah salah satu budaya timur atau budaya lokal yang tidak cocok digunakan untuk membesarkan seorang anak. Ada banyak alasannya dan semua alasan tersebut adalah alasan sederhana demi si anak.

Faktor Kesehatan

Kita tidak tau tangan kamu itu habis menyentuh atau memegang apa saja. Tentu ada banyak kuman dan bakteri di sana yang bisa saja berpindah ke seorang anak.

Tau nggak sih, sebuah studi dari University of Arizona nemuin bahwa tangan manusia itu bisa mengandung lebih dari 3.200 jenis bakteri dari 150 spesies berbeda?

Saat kuman dan bakteri ini pindah, maka si anak rentan sekali mengalami infeksi karena sistem imunnya yang belum sempurna.

Kalau sudah terinfeksi, mereka bisa saja jatuh sakit. Yang ngurus bukan kamu 'kan, wahai orang dewasa sok tau?

Saya, Ade, Alinea, dan Aira punya asuransi dari kantor. Kalau sakit, kami berobat pakai itu.

Untuk bisa mendapatkan asuransi dari kantor, saya tentu saja harus bekerja setengah mati. Belum lagi kalau si anak ini mengeluh dan menangis dan tantrum karena sakit.

Masalah saya sebagai orang tua bisa dobel.

Makanya, demi kesehatan, tidak usahlah kita pakai koreo jabat tangan dan cium tangan. 

Faktor Kesiapan

Sadar nggak sih kalau anak-anak itu hanya percaya sama ibu dan bapaknya?

Trus ujug-ujung mereka harus mempercayai orang dewasa yang baru pertama kali bertemu. Namanya kepercayaan itu butuh proses dan harus didapatkan.

Menurut psikolog terkenal, Erik Erikson, anak-anak itu melewati fase 'Trust vs Mistrust' di tahun-tahun awal kehidupan. Jadi, mereka belajar untuk percaya atau nggak percaya sama orang lain berdasarkan cara mereka dibesarkan.

Kalau kita maksa anak untuk akrab atau salim sama orang yang baru dikenal, bisa jadi kita malah bikin mereka bingung dan nggak nyaman. Mereka butuh waktu untuk bisa percaya sama orang lain.

Beberapa anak memang tidak ada masalah dengan kondisi seperti ini. Beberapa anak bisa dengan sangat mudah menyambut orang baru.

Bahkan tidak jarang ada yang percaya aja kalau diajak ngobrol sama orang asing.

Tapi, kita tentu tidak boleh menggeneralisasi dong?

Masa' orang dewasa nggak bisa merasa sih?

Kalau berdebat, orang dewasa bisa aja bilang gini.

"Saya kan nenekmu, masa' tidak salim dan cium?"

Mohon maaf nih. Meski secara garis keturunan kita dekat sekali, tapi belum tentu seorang anak bisa langsung percaya dong. Dan saya, sebagai seorang anak belum tentu bisa siap berhadapan dengan kamu.

Faktor Agama dan Kepercayaan

Wah, kalau yang ini sungguh sangat sensitif. Beberapa orang tua barangkali akan dengan semangat mengenalkan agama kepada anaknya sejak dini. Ini tentu saja tidak ada yang salah.

Saya adalah salah satu di antaranya yang mengalami perkenalan agama sejak dini. Salah satu impian terbesar orang tua saya adalah ingin anaknya masuk sekolah agama dan jadi ustad. Waktu kelas satu SMP saya sempat sekolah di SMP Muhammadiyah setahun.

Alasannya, karena waktu itu ada kelas yang bahasa pengantarnya pakai bahasa inggris dan bahasa arab. Sistem belajarnya full day school jam 8 sampai jam 5 sore.

Tapi, karena kelasnya kekurangan guru dan hanya sebatas program-program di brosur saja, makanya saya dipindahkan ke sekolah negeri.

Saya menghabiskan setahun di sana. Saya belajar tentang organisasi Muhammadiyah karena waktu itu sempat ikut beberapa kali pelatihan, yang aduh, saya lupa namanya.

Kebanyakan masyarakat kita di Indonesia menganut agama keturunan. Artinya, agama apa yang dianut oleh orang tuanya, itulah yang langsung diturunkan ke anaknya. Tidak perlu dipertanyakan, cukup langsung dijalankan.

Saya waktu aqil baligh beberapa kali mengalami pukulan saat malas salat. Katanya, kalau sudah aqil baligh dan masih malas salat, orang tua bisa memukul anaknya.

Nah, masalah agama dan kepercayaan inilah yang membuat seorang anak sedari dini wajib menghafal berbagai doa, surah-surah pendek, dan mengucapkan salam saat bertemu dengan orang lain.

Salam dan salim ini adalah satu rangkaian koreografi seorang anak kepada orang tua. Nggak boleh nggak karena nanti berdosa.

Kalau anak perempuan, dia wajib mengenakan hijab sedari kecil. Seandainya kandungannya di luar, mungkin si anak akan mengenakan hijab sejak kandungan demi menutup aurat.

Padahal mah, balita itu adalah usia bermain.

Mode defaultnya ya hanya main dan mengeksplor dunia di sekelilingnya. Kalau main dan mengenakan hijab, mereka akan kepanasan, rambutnya tidak jarang lepek, dan penampilannya bisa jadi acak-acakan. Setiap kali saya melihat anak-anak seperti ini, saya selalu kasihan.

Kalau main tuh pakaiannya harus dibikin senyaman mungkin agar ia tidak kesulitan dan bisa tetap nyaman dan fokus dalam bermain. Soalnya, proses bermain inilah yang jadi salah satu faktor tumbuh kembang yang optimal.

Sebuah penelitian di Psychological Science menunjukkan bahwa anak-anak yang dibesarkan dengan pendekatan yang sangat kaku dalam hal agama dan kepercayaan cenderung punya tingkat stres yang lebih tinggi.

Maksudnya, kalau kita maksa anak-anak mematuhi aturan agama yang ketat tanpa memberi mereka ruang untuk bertanya atau mengerti kenapa mereka harus ngelakuin itu, kita bisa bikin mereka stres. Bukan berarti nggak boleh ngajarin agama, tapi harusnya kita juga ngasih mereka ruang untuk main dan jadi diri mereka sendiri.

*

Intinya, bisa nggak sih anak-anak itu jadi anak-anak saja tanpa intervensi orang dewasa?

Toh, mereka selalu menemukan cara dan jalannya saat kesulitan. Proses belajar mereka itu sangat cepat loh. Jadi, nggak perlu intervensi berarti oleh orang dewasa.

Di budaya timur, seluruh aspek kehidupan anak-anak ini ditentukan dan diarahkan oleh orang dewasa. Mereka tidak pernah punya kesempatan untuk memilih karena sebagai orang dewasa yang tau segalanya; anak-anak hanya butuh dibentuk tanpa membiarkan mereka membentuk dan menemukan dirinya sendiri.

***

Nih buat jajan