10 Cara Jadi Orang Tua yang Baik Menurut Psikolog
Kalau ada yang nanya “Gimana sih caranya jadi orang tua yang baik?”, jujur saya sendiri sebagai seorang bapak dengan dua anak perempuan, Alinea (5 tahun) dan Aira (3 tahun) masih sering bengong.
Saya dan istri, Ade, nggak jarang debat “Ini kita harus tegas apa kasih kelonggaran ya?” atau “Harus diselesaikan sekarang atau tunggu dulu ya?”
Faktanya, jadi orang tua itu bukan masalah nyari rumus yang paling benar.
Seperti yang dibilang Alsi Mega Marsha Tengker atau Caca Tengker, Psikolog Klinis, anak nggak butuh orang tua yang sempurna. Anak butuh orang tua yang hadir, mau belajar, dan bisa mengakui kalau salah.
Sementara dari buku parenting Adele Faber & Elaine Mazlish, Siblings Without Rivalry, saya belajar bahwa konflik antar saudara bukan musuh yang harus dihapuskan, tapi kesempatan belajar yang bisa menguatkan mereka.
1. Orang Tua Nggak Harus Sempurna
Ada kalanya saya pengin jadi “superdad” di mana saya selalu sabar, selalu paham, nggak pernah salah.
Tapi realitanya, saya bisa juga marah karena capek pulang kerja, atau nggak sengaja membentak anak.
Caca Tengker bilang, “Anak nggak butuh orang tua yang flawless. Yang lebih penting adalah kemampuan melakukan repair.” Maksudnya, setelah kita salah ya bilang maaf, perbaiki, dan tunjukkan kalau salah itu manusiawi.
Saya pernah marah ke Alinea karena dia tumpahin air di sofa.
Malamnya, sebelum tidur, saya bilang, “Tadi papa salah ngomong keras-keras, ya. Papa marah, tapi seharusnya bisa ngomong lebih pelan.”
Dia cuma senyum dan bilang, “Iya, Papa.”
Dan momen itu bikin saya sadar, anak justru belajar lebih banyak dari cara kita memperbaiki kesalahan ketimbang upaya kita untuk terlihat sempurna.
2. Ajarkan Empati & Menghargai Orang Lain
Aira itu pernah ada di fase suka bilang, “Punyaku!” setiap kali mainan disentuh orang lain. Kadang bikin Alinea kesal karena adiknya nggak mau berbagi. Begitu pun sebaliknya.
Menurut Caca, anak-anak memang punya tahap perkembangan.
Di usia tertentu, mereka masih egosentris dan belum bisa berbagi.
Kalau dipaksa, justru bahaya karena mereka bisa tumbuh jadi people pleaser yang nggak bisa mempertahankan miliknya sendiri.
Kuncinya? Role model.
Anak belajar dari contoh.
Kalau saya dan Ade suka berbagi (entah makanan atau waktu), anak pun akan lebih mudah menirunya.
Insight dari Siblings Without Rivalry
Faber & Mazlish menekankan pentingnya validasi perasaan anak.
Jadi kalau Alinea protes, “Papa, Aira ambil mainanku!”, daripada langsung bilang, “Ya udah kasih aja,” lebih baik saya bilang, “Kamu kesal karena adikmu ambil tanpa izin, ya?”
Dengan begitu, anak merasa dimengerti.
Satu lagi, hindari membanding-bandingkan.
Misalnya, “Kok kamu nggak seperti kakakmu?” atau “Adikmu lebih nurut.”
Menurut buku ini, bahkan perbandingan positif bisa bikin anak merasa terjebak dalam “peran” tertentu (si pintar, si nakal, si pendiam).
Dan itu bisa merusak hubungan jangka panjang.
3. Menghadapi Konflik Kakak-Adik
Di rumah, konflik antara Alinea dan Aira itu sehari-hari. Rebutan mainan, saling dorong, atau sekadar “Aku duluan!”
Menurut Caca, rivalitas atau persaingan antara anak itu normal.
Jangan buru-buru jadi wasit yang selalu turun tangan.
Biarkan anak belajar menyelesaikan konfliknya sendiri. Intervensi hanya kalau sudah berlebihan, misalnya sampai saling memukul.
Prinsip yang dipakai: connection before correction.
Sebelum menegur, pahami dulu perasaan mereka. Misalnya, “Kakak kesal karena adik nggak mau gantian, ya? Adik juga sedih karena pengin main terus.”
Buku Siblings Without Rivalry menyarankan problem-solving meeting.
Jadi, setelah konflik reda, ajak anak duduk bareng: masing-masing ceritakan versinya, lalu sama-sama cari solusi.
Ade sering pakai metode ini: “Oke, Alinea maunya apa? Aira maunya apa? Bisa nggak kalian gantian tiap 5 menit?” Ternyata, mereka mau coba. Kadang berhasil, kadang gagal. Tapi ya itu proses belajar.
Selain itu, jangan lupa hindari melabeli anak.
Kalau kita sering bilang, “Kamu kan kakak, harus ngalah,” lama-lama anak pertama merasa “korban” terus. Begitu juga sebaliknya.
4. Tegas Tapi Tidak Kasar
Saya dan Ade sepakat, disiplin tetap penting. Tapi “tegas” beda dengan “kasar.”
Caca menegaskan, kekerasan fisik dan verbal sama-sama meninggalkan luka di otak anak. Jadi marah-marah atau membentak itu bisa sama membekasnya dengan cubitan.
Kalau konflik memanas, gunakan bahasa deskriptif.
Misalnya, “Aku lihat kalian saling dorong, itu nggak boleh.” Lebih efektif daripada langsung menuduh, “Kamu nakal banget!”
Dan kalau situasi berbahaya (misalnya mereka mau jatuhin mainan berat ke kepala), pisahkan dulu, baru ajak bicara setelah suasana tenang.
5. Belajar Empati
Ada satu momen yang bikin saya banyak belajar.
Waktu itu Alinea jatuh dan nangis karena kalah lomba lari di sekolah. Naluri saya pengin bilang, “Nggak apa-apa, lain kali pasti menang!” Tapi saya tahan.
Saya ingat yang dibilang Caca: anak boleh merasa sedih, kecewa, bahkan marah. Tugas kita bukan menghapus rasa itu, tapi mendampingi.
Saya bilang, “Kamu kecewa ya karena kalah? Papa juga pernah kalah lomba, rasanya nggak enak.
Tapi Papa bangga kamu mau coba.” Dia peluk saya sambil nangis, tapi setelah itu dia lebih cepat move on.
Dari Siblings Without Rivalry, saya belajar bedanya empati yang sehat dengan ikut larut.
Kalau anak patah hati nanti (amit-amit), kita nggak perlu ikut benci sama pacarnya. Cukup validasi perasaan dan temani.
Tambahan penting: quality time one-on-one.
Kadang saya ajak Alinea jalan berdua, atau Aira berdua saja. Menurut Faber & Mazlish, waktu eksklusif ini bikin anak merasa istimewa, sehingga mengurangi rasa bersaing.
Dan satu hal penting: equal is less. Adil bukan berarti sama rata, ya.
Anak punya kebutuhan berbeda, jadi perlakuan kita juga bisa berbeda.
6. Menumbuhkan Growth Mindset & Grit
Di rumah, Ade sering khawatir: “Kalau semua kebutuhan anak kita siapin, nanti mereka jadi manja nggak ya?”
Caca punya jawaban menarik bahwa anak nggak butuh orang tua sempurna. Mereka butuh orang tua yang mengajarkan bahwa salah itu wajar, gagal itu normal, dan ada kesempatan memperbaiki.
Jadi, kalau Alinea kalah lomba, saya nggak buru-buru hibur dengan hadiah. Saya bilang, “Kamu udah coba, dan itu hebat. Kalau mau, kita bisa latihan lagi.”
Dari Faber & Mazlish, ada konsep expect the unexpected. Jangan bentuk standar hidup anak serba sempurna. Biarkan mereka coba, gagal, lalu coba lagi. Dari situlah tumbuh grit dan growth mindset.
7. Sembuhkan Luka Masa Kecil Kita
Satu hal yang jarang dibahas dalam parenting adalah kita juga membawa luka masa kecil.
Caca bilang, banyak perilaku orang tua muncul bukan dari niat jahat, tapi dari luka lama yang belum sembuh.
Misalnya, kalau dulu kita sering dimarahi tanpa penjelasan, kita bisa tumbuh jadi orang tua yang terlalu permisif. Karena takut anak merasa seperti kita dulu.
Atau sebaliknya, jadi terlalu keras karena ingin “anak nggak senasib”.
Padahal, kata Caca, hal terpenting adalah sadar dulu.
Setelah sadar, kita bisa pilih: apakah ini keputusan karena kebutuhan anak, atau karena luka kita dulu?
Melakukan refleksi seperti ini bisa mengubah pola besar dalam keluarga.
8. Biarkan Anak Belajar dari Luka & Kegagalan Kecil
Sebagai orang tua, wajar kalau pengin anak selalu bahagia. Tapi Caca mengingatkan:
“Semakin kita berusaha menghindarkan anak dari luka, semakin mereka takut salah.”
Saya pernah lihat Aira jatuh dari kursi kecil. Luka di lututnya kecil, tapi tangisnya besar.
Naluri saya pengin gendong dan bilang “udah-udah.”
Tapi saya biarkan dia nangis sebentar, lalu tanya, “Sakit ya? Mau plester atau peluk dulu?”
Dia berhenti nangis dan bilang, “Peluk dulu.”
Itu momen yang kelihatan sederhana, tapi sesungguhnya melatih dua hal, yaitu empati dan ketangguhan.
9. Dampingi Eksplorasi Minat Anak Tanpa Tekanan
Caca bilang, bakat dan minat itu dua hal yang berbeda.
Kadang bakat terlihat lebih cepat, tapi minat butuh waktu untuk berkembang.
Sebagai orang tua, tugas kita bukan memutuskan, tapi menyediakan ruang.
Sebagai contoh, saya lihat Alinea suka menggambar, sementara Aira suka nyanyi. Kami nggak buru-buru daftarin ke kursus atau lomba. Kami lebih suka lihat dulu: apa mereka benar-benar menikmatinya?
Dengan begitu, mereka belajar menemukan diri mereka sendiri, bukan sekadar memenuhi ekspektasi orang tuanya.
10. Parenting Adalah Kerja Tim
Terakhir, cara jadi orang tua yang baik adalah bekerja sama dengan pasangan.
Satu hal yang saya syukuri dari peran Ade: kami belajar jadi tim.
Kadang saya yang panik duluan, dia yang tenang. Kadang sebaliknya. Tapi kami sadar, anak butuh konsistensi.
Caca menekankan pentingnya komunikasi antar orang tua. Kalau ayah dan ibu sering berdebat di depan anak tentang keputusan, anak bisa bingung tentang siapa yang harus diikuti.
Jadi kami punya kesepakatan kalau nggak sepakat, bahas di belakang. Di depan anak, kami tetap satu suara.
Setelah itu baru dievaluasi lagi berdua sambil ngopi atau nonton.
Intinya
Setelah lima tahun jadi bapak, saya makin sadar bahwa sebenarnya yang ngajarin kita jadi orang tua itu anak-anak kita sendiri.
Alinea dan Aira adalah “guru besar” yang tiap hari kasih PR ke saya dan Ade. PR-nya bukan matematika, tapi kesabaran, konsistensi, dan cinta tanpa syarat.
“Jangan berusaha jadi sempurna. Anak butuh orang tua yang mengajarkan bahwa manusia itu bisa salah, tapi juga bisa memperbaiki,” Cara Tengker.
Dan Faber & Mazlish mengingatkan kita bahwa jangan takut dengan konflik antar anak. Justru di sanalah mereka belajar hidup bersama.
Jadi, kalau ada yang tanya: “Gimana cara jadi orang tua yang baik?” Jawabannya mungkin sederhana, yaitu hadir, adaptif, dan terus belajar.
***

.jpg)

.jpg)


Post a Comment