Hengkang ke Hong Kong

Jalan-jalan-ke-Hong-Kong

Saya sedang memikirkan diksi yang tepat untuk menjelaskan proses ibu menyusui dengan menggunakan kata yang lebih sederhana ketika menemukan frasa Hengkang ke Hong Kong.

Beberapa hari sebelumnya saya terlibat rapat panitia persiapan jalan-jalan ke Hong Kong. Seorang kawan bertanya ke orang-orang yang hadir, "Kira-kira tema yang tepat apaan ya?"

Dia mengajukan pertanyaan ini sambil menatap saya.

Saya salah tingkah. Saya kewalahan jika harus ditodong seperti ini. Saya butuh waktu untuk berpikir dan jawabannya jelas tidak akan didapati di ruang tersebut.


Sesudah "Hengkang ke Hong Kong" disepakati, desain baju kaos pun dibuat, plakat dirancang, dan agen-agen perjalanan berlomba mengajukan penawaran.

Tepat tanggal 4 April 2019 kami berkumpul di terminal 2D Bandara Soekarno Hatta pukul 06.00 WIB.

Jalan-jalan-ke-Hong-Kong

Mendarat di Bandara dan ke Ladies Market

Perjalanan ke Hong Kong ditempuh selama kurang lebih 5 jam. Perjalanan ini merupakan penerbangan pertama saya yang terlama.

Beruntung pesawat yang kami tumpangi adalah Chathay Pacific; maskapai penerbangan yang berpusat di Hong Kong.

Di pesawat saya diselamatkan oleh layar kecil di hadapan saya yang mempunyai beragam akses hiburan, mulai dari nonton film dan serial, dengar podcast dan musik, hingga melihat ke depan pesawat melalui akses kamera depan yang ditayangkan.

Baca juga: Bukan 3, tapi 4 Podcast Indonesia Ini yang Belakangan Saya Dengarkan

Oiya, kami juga disuguhi makanan berat, makanan ringan, hingga rupa-rupa minuman.

Sesudah pesawat mendarat, kami menuju tempat makan siang. Lokasinya berada di dalam bandara dan statusnya di dalam mall. Bingung kan?

Iya, bandara ini punya mall. Di sinilah drama-drama Hong Kong terjadi untuk pertama kalinya. Meski ada banyak makanan yang tampak enak tersaji di meja, namun hampir seluruhnya hambar.

Keluar dari bandara saya terperangah dengan apa yang ada di sekeliling bandara internasional ini. Sejauh mata memandang, hanya ada gunung dan apartemen. Pun sepanjang perjalanan menuju Ladies Market.

Jalan-jalan-ke-Hong-Kong

Keterkejutan saya berlanjut sesampainya di destinasi wisata pertama Hengkang ke Hongkong ini. Ada banyak manusia dengan penampakan yang berbeda berjalan cepat-cepat, tertib menyeberang, serta gedung-gedung berplang bahasa Mandarin dan bahasa Inggris.

Ladies Market ini tampak seperti pasar dadakan terdiri dari lapak-lapak beratap terpal dengan barang jualan yang beragam mulai dari gantungan kunci, kaos, patung, hingga perintilan-perintilan gadget; kecuali makanan.

Nah, untuk makanan sendiri ada banyak street food yang berlokasi di pinggir jalan yang terpisah dari Ladies Market. Kami berkeliling hingga maghrib menjelang di daerah ini sebelum bertolak ke Holiday Inn Express Kowloon East.

Jalan-jalan-ke-Hong-Kong

Sebelum ke Garden of Stars

Sesampainya di kamar saya membereskan barang, mandi, mengganti pakaian, mengecas baterai kamera, dan merebahkan badan. Sambil mengecek foto di hape, saya kepikiran, "Masa' iya saya langsung tidur? Padahal masih jam 9."

Hotel tempat kami menginap terhubung dengan mall dan stasiun MTR (di Jakarta sebutannya MRT). Maka dari itu, saya kepikiran untuk mengeksplornya. Bersama seorang kawan saya mengelilingi mall dan tanpa sengaja berakhir di luarnya.

Kami berjalan sejauh 3 kilometer untuk mencari Starbucks terdekat, namun berhenti di McDonalds. Saya lagi-lagi terperangah dengan suasana malam di kawasan tersebut.

Hanya ada 1 atau 2 mobil yang melintas. Udara terasa dingin. Beberapa berjalan dengan anjingnya, beberapa berjalan menunduk ke smartphone, sisanya terengah-engah sambil berlari. Sementara lampu jalan dengan cahaya kuning berkedip-kedip.

Situasi ini seperti pemandangan di film-film.

Jalan-jalan-ke-Hong-Kong

Paginya saya terbangun dengan kaki yang berat karena jalan kaki. Kamu tahu? Untuk urusan jalan kaki, orang Hong Kong salah satu yang terkuat.

Kalau kata teman saya, "Badan orang di sini ramping-ramping, betisnya persis talas Bogor."

Pagi-pagi sekali di restoran hotel tempat kami menginap sudah terdapat berbagai macam makanan dan minuman untuk sarapan.

Sayangnya, banyak teman yang kemudian mengeluh karena, lagi-lagi, makanannya hambar.

Begitulah, orang Hong Kong tampaknya tidak memanfaatkan dengan baik rempah-rempah.

Jalan-jalan-ke-Hong-Kong

Sebelum melanjutkan perjalanan hari kedua di daerah jajahan Inggris ini, kami mengambil satu ruangan untuk workshop. Setelahnya, barulah kami beranjak ke Garden of Stars.
Jangan mengaku ke Hong Kong kalau belum pernah ke sini!" ujar pemandu kami.
Sayangnya, saya tidak menghabiskan banyak waktu di tempat ini karena mengejar salat Jumat yang kemudian mempertemukan saya dengan banyak orang Indonesia lainnya yang berprofesi sebagai tenaga kerja Indonesia di Hong Kong.

Di depan Kowloon Mosque ada banyak perempuan Indonesia yang berjualan rupa-rupa makanan Indonesia, mulai dari nasi pecel, sate, ayam geprek, hingga bakwan. Hampir semuanya berjilbab dan berbicara dengan medok Jawa.

Jalan-jalan-ke-Hong-Kong

Waktu Senggang

Di hari ketiga Hengkang ke Hong Kong kami diberikan satu hari waktu senggang. Saya dan seorang kawan membeli one day pass tiket MTR seharga 65 HKD.

Oiya, nilai tukar rupiah waktu itu untuk 1 HKD sama dengan 1830 rupiah.

Seusai sarapan kami menumpang MTR dengan tujuan stasiun Quarry Bay. Dari sana kami berjalan kaki sekira 10 menit untuk sampai di Yik Cheong Building; sebuah apartemen yang tampak monstrous bagi saya.

Jalan-jalan-ke-Hong-Kong

Posisinya di kelilingi oleh gunung-gunung sehingga untuk mencapai bangunan ini kami harus melalui jalanan yang menanjak.

Suasana di sekeliling terasa hangat.

Para lansia berjalan dengan anjing yang menuntunnya, sekerumun orang mengantri di penjual daging, trem yang melintas, lampu lalu lintas yang berbunyi ketika lampu hijau untuk pejalan kaki menyala.

Oiya, tentang kesukaan warga Hong Kong memelihara anjing ini sebenarnya bukan tanpa sebab. Bagi banyak warga sana, memiliki anak terbilang cukup merepotkan. Soalnya, untuk melahirkan seorang anak dibutuhkan surat izin dari pemerintah.

Surat inilah yang harus diperlihatkan sebelum melahirkan. Tanpa surat izin kamu tidak akan mendapatkan bantuan medis untuk melahirkan. Begitu penjelasan dari pemandu kami.

Di kanan jalan menuju Yik Cheong Building, cericip serangga musim panas terdengar seperti di film Doraemon atau Sinchan. Matahari terik menyiram namun udara tetap sejuk.

Sejak pertama kali menginjakkan kaki, saya selalu bertanya-tanya.
Bagaimana bisa manusia-manusia ini tinggal di bangunan menjulang seperti ini?
Faktanya, kota ini memang dirancang sebagai kota modern yang berkiblat ke barat, namun dengan tampilan budaya timur. Hal ini bermula dari kerja sama Cina dan Inggris di akhir tahun 1600.

Jalan-jalan-ke-Hong-Kong

Di zaman dinasti Qing tersebut Inggris menyukai semua hal yang dipunyai oleh Cina mulai dari porselen, sutra, hingga teh herbal. Untuk semua barang-barang tersebut, Inggris siap membayarnya dengan perak.

Seiring waktu perak yang dimiliki Inggris habis dan harus diganti dengan opium. Alat tukar inilah yang memicu perang antara Inggris dan Cina yang berakhir pada penyerahan pulau Hong Kong kepada Inggris pada tahun 1842.

Dengan cepat Inggris kemudian membuat garis batas dengan penduduk lokal Cina sehingga terdapat pembangunan yang berbeda di kedua daerah seperti penggunaan nama-nama jalan, pengoperasian trem, serta penggunaan bus tingkat dua yang mirip dengan bus di London.

Seluruh hal-hal tersebut bisa kamu saksikan di Hong Kong hari ini.

Jalan-jalan-ke-Hong-Kong

Pulang ke Jakarta

Saya mendatangi beberapa tempat wisata di Hong Kong, mencicipi makanan-makanan yang hambar, serta membaur di antara turis-turis dari berbagai belahan dunia.

Di hari Minggu siang kami meninggalkan hotel menuju bandara untuk kemudian pulang ke Jakarta. Hong Kong memberikan pengalaman baru sekaligus memanggil kembali untuk datang.


***

Nih buat jajan