Sarapan dan Mainan
Sesudah memeriksakan kehamilan Ade di dokter Hadi, kami
menuju parkiran rumah sakit. Jarum jam menunjukkan pukul 10.30 dan kami baru
akan sarapan.
Sejak merantau dan tidak tinggal lagi bersama dengan mama,
saya kerap melewatkan sarapan. Terlebih saat Ade dan saya tinggal seatap. Kami
selalu bangun telat, sarapan pun terlewat.
“Makan dulu, tidak boleh keluar rumah sebelum makan!”
perintah mama tiap kali saya akan berangkat sekolah.
Perintah ini berulang saban pagi beberapa puluh tahun saat
saya masih duduk di bangku SD. Entah kenapa, dulu setiap akan berangkat sekolah
saya malas sekali sarapan. Bosan dengan omelan mama setiap pagi, saya pun
memilih jalur aman dengan sarapan.
Hasilnya, saya pun tumbuh menjadi anak yang doyan makan.
“Baru kali ini saya lihat orang makan pagi pake nambah,”
tegur tante saya di satu pagi. “Tapi tak apa, lanjut saja.”
Ketika berpindah ke bangku SMP, saya pun tidak lagi
diperintah untuk makan. Yang ada, saya yang mencari makanan tiap kali akan
berangkat. Tak tanggung-tanggung sarapan saya adalah nasi dengan lauk ikan atau
telur dan sayur agar tidak seret. Sesekali segelas susu terhidang di meja
makan.
Menu-menu makan pagi ini pun tak terlewatkan hingga saya
menyelesaikan bangku SMA. Kebiasaan ini kemudian membentuk saya menjadi pribadi
yang tidak cepat lapar dan aktif berpikir saat teman-teman saya suka
menghabiskan banyak waktunya di kantin.
Hal ini pula yang barangkali menghindarkan saya dari rokok.
Kamu tahu kan kalau kantin sekolah sering kali dijadikan
tempat persembunyian untuk merokok? Ada semacam rahasia umum di sekolah antara
siswa dan orang-orang yang berjualan di kantin.
Di kantin rumah sakit tempat saya sarapan dengan Ade kami
bercerita banyak hal tentang masa kecil, salah satunya scooter.
Ada masa di bangku SD salah seorang teman saya ke sekolah
dengan menaiki scooter. Sebagai sebuah kota kecil di selatan Sulawesi, barang
tersebut jelas menjadi barang mewah. Teman saya membelinya di Makassar, ibu
kota Provinsi Sulawesi Selatan.
Sebagai seorang anak yang apa-apa dibatasi, scooter tersebut
sontak bikin saya cemburu. Betapa menyenangkannya menjadi anak kecil yang
berlimpah dengan mainan.
Setiap kali saya ingin membeli mainan, mama selalu melarang.
Dia akan bertanya banyak hal jika saya mengajukan proposal membeli mainan, “Untuk
apa?” atau “Harganya berapa?”
Meski saya sudah berpanjang lebar, saya jarang sekali
mendapatkan mainan.
Beberapa mainan yang saya ingat antara lain mobil Tamiya dan
Beyblade. Sialnya, kedua mainan ini memerlukan uang lagi untuk
menyempurnakannya dan hal ini membua saya harus memutar otak untuk mengajukan
proposal lainnya.
Satu barang yang saya tidak minta, tapi dibelikan begitu
saja oleh mama yaitu sepeda.
Kala itu libur sekolah. Sepupu saya dari Enrekang ke
Makassar dan kami bertemu di rumah nenek. Dia mendapatkan sepeda dan mama tampaknya
tidak ingin kalah. Saya juga dibelikan sepeda sehingga saya dan sepupu memiliki
sepeda yang persis sama. Usia kami memang hanya beda setahun.
Satu-satunya mainan yang mama berikan tanpa saya harus
mengajukan proposal adalah buku.
Di suatu siang, saat saya duduk di bangku kelas 5 SD, mama
datang dengan seikat buku. Sebagai seorang guru Bahasa Indonesia senior di SMA,
dia dipercayakan untuk memilah buku-buku yang ada di perpustakaan.
Buku-buku yang ada di tempat baca tersebut terdiri dari
beberapa copy sehingga satu dari setiap dari buku tersebut diambilnya dan dibawa
pulang. Saya ingat betul beberapa judul yang ada di ikatan buku tersebut
bersumber dari Penerbit Balai Pustaka.
Di libur sekolah lainnya, mama sempat mendengus sepulang
dari Makassar.
“Itu totalnya satu juta,” ujarnya.
Adik saya membeli buku dengan harga sejuta. Ada beragam
jenis buku yang dibawanya waktu itu, mulai dari fiksi hingga biografi. Hal ini
dipicu oleh seikat buku yang mama bawa. Kami jadi suka buku dengan genre fiksi
dan selalu haus dengan buku-buku baru.
Maklum, di Sengkang waktu itu hampir tidak ada buku-buku
dengan genre fiksi. Adanya buku bacaan salat dan beberapa buku pelajaran dari
beragam penerbit. Oh, satu lagi! LKS.
Sarapan saya dan Ade tandas. Saya sempat menegur saat dia lagi-lagi
memesan es alpukat.
“Banyak DHA-nya.”
“Oiya, untuk otak ya!” seru saya sambil berdiri membayar sarapan
kami.
***
Post a Comment