Strawberry Parenting untuk Membangun Koneksi dengan Anak

Strawberry parenting adalah pola asuh responsif yang mengutamakan validasi emosi

Pernahkah kamu merasa dipandang sebelah mata oleh generasi orang tua kita saat sedang menenangkan anak yang menangis?

Atau mungkin, kamu sendiri pernah merasa ragu ketika memilih memeluk anak laki-lakimu yang sedang tantrum alih-alih membentaknya agar diam?

Menurut pandangan umum yang beredar di masyarakat, generasi orang tua masa kini sering kali dianggap terlalu lunak, terlalu memanjakan, dan melahirkan anak-anak yang rapuh layaknya buah stroberi: tampak indah di luar, tetapi lembek dan mudah hancur saat ditekan.

Istilah ini dikenal sebagai Strawberry Parenting.

Strawberry parenting adalah pola asuh responsif yang mengutamakan validasi emosi dan dialog terbuka demi membangun mental anak yang sehat dan tangguh.

Namun, sebagai ayah kelahiran 1992 yang membesarkan anak Gen Alpha kelahiran 2020 dan 2022, saya mau mengajak kamu untuk melihat ulang definisi Strawberry Parenting ini.

Menurut saya, apa yang sering disalahartikan sebagai "lembek" sebenarnya adalah sebuah upaya sadar untuk membangun koneksi. Jadi, kita tidak cuma memaksakan anak agar mau patuh mengikuti keinginan kita.

Perubahan Gaya Parenting Masa Kini

Strawberry parenting adalah pola asuh responsif yang mengutamakan validasi emosi dan dialog terbuka

Kita perlu memahami konteks besarnya terlebih dahulu.

Laporan IDN Research Institute: Indonesia Millennial and Gen Z Report 2026 menyebutkan bahwa terjadi pergeseran fundamental dalam pola asuh di Indonesia.

Orang tua Milenial dan Gen Z kini meninggalkan gaya pengasuhan otoriter yang mungkin kita alami di tahun 90-an dan beralih menuju gaya pengasuhan yang lebih responsif secara emosional.

Menurut data yang disajikan dalam laporan ini, orang tua muda kini lebih memprioritaskan kecerdasan emosional dan komunikasi dua arah dibandingkan sekadar menuntut anak untuk patuh tanpa bertanya.

Analisis para peneliti di IDN menemukan bahwa fenomena ini bukanlah tanda kelemahan, melainkan respons adaptif terhadap zaman.

Baca juga: 10 Gaya Parenting dan Dampaknya pada Perkembangan Anak

Gen Alpha, anak-anak kita, adalah generasi pertama yang dibesarkan dengan "kurikulum emosional" yang intensif di dalam rumah sejak hari pertama mereka lahir.

Menurut pengamatan saya pribadi sebagai ayah, perubahan ini wajar terjadi. Sebab ingatan masa kecil kita, mungkin "dituruti" adalah sesuatu yang langka, dan "didengarkan" adalah kemewahan.

Namun, menurut standar masa depan yang akan dihadapi anak-anak kita di tahun 2040 nanti, kemampuan mengelola emosi dan bernegosiasi akan jauh lebih berharga daripada sekadar kemampuan baris-berbaris mematuhi perintah.

Mengapa Ayah Milenial Sering Merasa Bersalah?

Strawberry parenting adalah pola asuh responsif yang mengutamakan validasi emosi

Sebagai ayah, mungkin kamu merasakan beban ganda.

Stereotip gender tradisional, seorang ayah haruslah tegas, keras, dan tidak boleh terlalu perasa. Namun, menurut naluri kebapakan kita yang baru, kita ingin hadir dan dekat dengan anak.

Menurut psikologi perkembangan, konflik batin ini sering memicu rasa bersalah pada ayah Milenial.

Dari diskusi dengan banyak teman sebaya saya yang juga kini sudah jadi orang tua, kita sering merasa bersalah jika tidak sengaja membentak anak karena kelepasan emosi. Padahal, menurut cerita para orang tua zaman dulu, membentak atau memukul dianggap metode pendisiplinan yang "normal" dan tidak perlu disesali berlarut-larut.

Menurut laporan IDN Research Institute, tekanan ekonomi dan middle-class squeeze atau himpitan kelas menengah juga turut memperparah kondisi mental orang tua muda.

Logikanya, ketika kita lelah bekerja mencari nafkah tambahan tapi tetap ingin menjadi "ayah yang hadir" secara emosional, burnout sangat mudah terjadi.

Menurut saya, rasa bersalah ini adalah bukti bahwa kita peduli.

Kita sedang berusaha memutus rantai kekerasan verbal yang mungkin dulu kita terima, meskipun prosesnya tidak sempurna.

Memvalidasi Emosi vs Menuruti Keinginan

Strawberry parenting adalah pola asuh responsif yang mengutamakan validasi emosi

Inilah inti masalah yang sering membuat Strawberry Parenting disalahpahami.

Menurut banyak kritikus, orang tua "strawberry" adalah mereka yang selalu menuruti apa mau anak agar anak tidak menangis. Padahal, menurut prinsip gentle parenting yang sebenarnya, ada perbedaan tegas antara empati dan permisif.

Mari kita bedah sebuah studi kasus: Anak kamu (usia 3 atau 5 tahun) tantrum di mal karena minta beli mainan robot seharga 500 ribu, padahal budget sedang tidak ada.

  • Skenario A (Memanjakan/Permisif)

Menurut pendekatan ini, orang tua akan berkata: "Ya sudah, Papa belikan, tapi diam ya, jangan nangis malu dilihat orang." Menurut analisis perilaku, tindakan ini mengajarkan anak bahwa menangis adalah senjata ampuh untuk mendapatkan barang.

Ini adalah "lembek".

  • Skenario B (Otoriter/Keras)

Menurut pendekatan lama, orang tua mungkin akan mencubit atau membentak: "Diam! Papa bilang enggak ya enggak! Dasar cengeng!"

Menurut dampak psikologisnya, anak akan diam karena takut, tapi emosi kecewanya tidak tersalurkan dan ia belajar untuk memendam perasaan.

  • Skenario C (Strawberry Parenting/Validasi Emosi)

Menurut pendekatan yang kita perjuangkan, respons ayah adalah: "Papa tahu kamu kecewa banget robotnya nggak bisa dibeli sekarang. Sedih ya, Nak? Boleh nangis kok kalau sedih. Tapi, jawabannya tetap tidak untuk beli mainan hari ini."

Menurut saya, Skenario C inilah yang sering disalahartikan.

Kita membiarkan anak menangis (memvalidasi emosi), tetapi kita tetap teguh pada aturan (tidak membelikan mainan). Menurut saya, ini bukan lembek.

Justru, menahan diri untuk tidak membelikan mainan sambil tetap sabar memeluk anak yang sedang mengamuk membutuhkan mental baja yang jauh lebih kuat daripada sekadar membentak.

Teknik 3 Menit Validasi

Bagaimana cara menerapkannya tanpa ikut terpancing emosi?

Menurut pengalaman saya menghadapi dua balita, ada teknik sederhana yang bisa kamu coba, yaitu 3 Menit Validasi.

Menurut pakar pengasuhan, momen krusial adalah 3 menit pertama saat anak mulai melanggar aturan atau tantrum.

Jangan langsung masuk ke mode "ceramah" atau "hukuman". Sebab batang otak anak yang sedang tantrum sedang membajak otak logikanya atau prefrontal cortexnya, sehingga apa yang kita bilang tidak akan didengar.

Cara 3 Menit Validasi:

  • Stop dan Leveling

Menurut teknik komunikasi anak, rendahkan tubuhmu dengan cara berlutut atau berjongkok agar matamu sejajar dengan mata anak. Jangan berdiri menjulang seperti raksasa.
  • Namai Emosinya (1 Menit Pertama)

Menurut riset name it to tame it, sebutkan emosi yang mereka rasakan. Katakan, "Kamu marah karena Papa matikan TV ya?" atau "Adek kesal mainannya direbut Kakak?".
  • Validasi Tanpa "Tapi" (1 Menit Kedua)

Menurut prinsip empati, hindari kata "tapi". Cukup katakan, "Wajar kok kalau kamu marah, Papa juga bakal kesal kalau lagi asik nonton dimatiin." Biarkan dia merasa dipahami dulu.
  • Tegakkan Batasan (1 Menit Ketiga)

Setelah tangisannya mereda (biasanya akan mereda jika mereka merasa didengar), baru tegakkan aturan. "Papa mengerti kamu marah, tapi kita sudah sepakat jatah nonton cuma 30 menit. Sekarang waktunya mandi."

Menurut hasil yang saya rasakan, teknik ini tidak menjamin anak langsung diam seketika.

Namun, untuk jangka panjang, anak akan belajar bahwa ayahnya adalah tempat yang aman untuk bercerita, bukan sosok yang harus ditakuti.

Intinya...

Menurut kesimpulan laporan IDN Research Institute 2026, generasi kita sedang mendefinisikan ulang makna sukses dan kebahagiaan keluarga. Menjadi ayah yang Strawberry bukanlah aib.

Jika Strawberry Parenting berarti kita memiliki kulit luar yang lembut (bisa dipeluk, bisa diajak curhat) namun memiliki rasa yang manis dan kaya nutrisi bagi jiwa anak-anak kita, maka menurut saya, label itu layak kita sandang dengan bangga.

Jangan takut dibilang lembek, karena menurut kenyataannya, kamu sedang membangun fondasi mental anak yang sekeras baja untuk masa depan mereka. Semangat, Pak!

Nih buat jajan