Pentingnya Punya Teman Main

pentingnya-punya-teman-main

Jumat siang kemarin, kami main ke rumah salah seorang teman kuliah. Teman kuliah Ade lebih tepatnya. Saya hanyalah bapak-bapak yang mengantar istri untuk bertemu temannya, sambil membawa Alinea dan Aira.

Ini selalu jadi pertanyaan, "Kenapa Alinea dan Aira selalu dibawa-bawa setiap kali kami berdua keluar rumah?"

Jawabannya, ya, karena di rumah tidak ada yang jaga. Ada sih neneknya, hanya saja dia tidak bisa kami andalkan. Mengapa? Bukannya seorang nenek itu akan senang jika bersama dengan cucunya?

Sayangnya, hal ini tidak berlaku di kami sebab si nenek tampaknya lebih tidak sabaran saat membersamai bocil-bocil.

Emosinya suka meninggi jika salah seorang di antaranya menangis atau Alinea yang memanjat dan berlari ke sana kemari. Selain itu, ada terlalu banyak kata 'jangan' yang sering bikin saya melengos. Belum lagi kemampuan bermain dengan anaknya yang kurang atau lebih tepatnya malas bermain.

Jadi, mau tidak mau saya dan Ade harus memboyong semuanya saat bepergian.

Kami tiba di rumah teman tersebut saat Alinea masih tidur di mobil. Ade mengangkatnya masuk ke rumah, sementara saya yang menggendong Aira. Kami disambut si empunya rumah dan mereka bahagia kedatangan dua anak perempuan.

Soalnya, kedua anaknya laki-laki. Saya tidak tahu mengapa orang-orang selalu mau punya anak sepasang; perempuan dan laki-laki.

Yang pertama sudah duduk di bangku SD, sedangkan anak kedua sepantaran dengan Alinea. Anak pertamanya, tentu tidak akan tertarik bermain bersama toddler dan bayi.

Hanya si anak kedua yang keluar kamar dan bermain dengan robot-robotan dan mobil-mobilannya. Alinea mendekat, mengambil salah satu mobil dan membuntuti teman barunya.

Saya tidak menyangka melihat Alinea. Meski Senin-Jumatnya dihabiskan di rumah bersama Papa, Mama, dan adiknya; dia tahu cara bersosialisasi dengan anak-anak seumurannya.

Aspek Sosial Emosional Anak

Tidak seperti anak-anak lainnya yang main dengan anak tetangga atau anak-anak di kompleks, Alinea hanya bermain dengan orang tua dan adiknya.

Bukannya kami melarang, tapi rumah kami berada di ujung lorong. Tidak ada rumah yang nempel di depan belakang, di kiri kanan. Di lorong kami juga tidak ada anak-anak yang bermain di luar rumah.

Jadilah kesempatan bermain dengan anak-anak seumurannya hanya terjadi di Kids Playground di mall. Itu pun jarang. Kalau dihitung-hitung mungkin cuma sebulan sekali, padahal perkembangan dia sedang pesat-pesatnya di mana salah satu aspek yang wajib dikembangkan adalah kemampuan sosial emosional.

Kita semua tentu tahu bahwa aspek sosial emosional anak di Golden Age atau usia emas ini harus diperhatikan.

Soalnya, ada beberapa kasus anak tumbuh secara abnormal. Mereka merasa berbeda dan sulit menerima lingkungan baru di sekitarnya. Hasilnya, saat mereka dewasa ada banyak masalah terkait sosial emosionalnya.

Merujuk pada berbagai jurnal penelitian, jika aspek tumbuh kembang anak ini diasah ada banyak manfaat yang bisa didapatkan si anak, di antaranya:

  • Anak jadi lebih mandiri
  • Ia akan belajar mengenali perasaannya
  • Anak lebih mudah menyelesaikan masalahnya
  • Ia akan lebih terbantu berekspresi

Begitulah, Alinea bermain dengan si anak kedua teman kami. Hanya saja ada ketidakseimbangan yang saya perhatikan.

Teman baru Alinea ini tidak menganggap keberadaan Alinea. Sementara Alinea sangat antusias bermain dan terus mengekor ke mana pun teman barunya ini pergi. Saat si anak berlari, Alinea juga ikut berlari mengikutinya.

Meski saya kasihan melihatnya tidak dianggap, setidaknya saya sudah melihat sebuah proses bahwa ia sebenarnya ingin bermain dengan yang lain.

***

Nih buat jajan