Tidak Enaknya Jadi Bapak

tidak-enaknya-jadi-bapak

Tanggal 26-29 kemarin saya harusnya liburan di Bali. Tapi karena tanggal 25 siang saya tiba-tiba demam dan berlanjut hingga keesokan harinya, saya batal berangkat.

Selain demam, saya juga mengalami radang tenggorokan. Padahal perjalanan ke Bali ini sudah saya bayangkan sejak 3 bulan lalu.

3 bulan sebelumnya, kantor sudah mengumumkan akan membawa kami outing. Waktu itu pilihannya adalah Lombok atau Bali. Mungkin karena suara terbanyak memilih Bali, jadilah kami sekantor outing ke Pulau Dewata.

Eh, saya tidak, ya 😔

Kenapa liburan ini sangat saya impikan? Soalnya, sejak 20 Maret 2020 hingga hari ini kantor memberikan keleluasaan kepada kami untuk bekerja dari mana saja. Ada pilihan WFH, sementara pilihan WFO opsional saja.

Artinya, selama lebih dari 2 tahun saya tidak bertemu fisik dengan teman-teman kerja yang lain. Ditambah lagi, ada banyak karyawan yang masuk selama pandemi ini. Infonya sih, ada total 75 orang yang harusnya diberangkatkan ke Bali.

Baca Juga: 3 Hari 2 Malam di Bali. Ngapain?

Sebenarnya, selain jalan-jalan melepas penat, saya punya banyak agenda ke Bali. Mengobrol dengan teman-teman angkatan sebelum pandemi tentang gosip kantor, mempelajari keterampilan baru yang akan saya jalani di tahun depan, dan segudang agenda lainnya.

Sayang seribu sayang, impian ke Bali ini harus pupus. Saya harus merasakan demam dan radang tenggorokan ini.

Nah, tidak enaknya jadi bapak-bapak ada di bagian ini.

Alasan Sederhana Tidak Enaknya Jadi Bapak

Pertama, demam dan radang tenggorokan ini bukanlah yang pertama bagi saya. Selama 4 bulan terakhir, secara berturut-turut, setiap bulan saya menderita penyakit ini.

Istirahat 3-4 hari harusnya sudah membaik.

Sayangnya, sebagai bapak dua orang anak tanpa pengasuh dan pertolongan orang tua yang minim, saya tidak banyak istirahat.

Alinea tetap butuh tetap main saat mamanya harus menidurkan Aira; yang butuh waktu tidak sebentar. Jadilah, saat Aira sudah mulai ngantuk, saya bertukar peran mendampingi Alinea bermain.

Baca Juga: Pengasuhan Kolaboratif untuk Masa Depan Anak

Dalam kondisi lemas dan demam, saya harus menjawab pertanyaan-pertanyaan Alinea yang mencakup 5W+1H untuk satu hal. Saya juga harus memikirkan permainan apa lagi yang bisa bikin dia betah, sehingga saya tidak harus banyak gerak.

Kedua, karena kami menumpang di rumah mertua; kami berbagi peran. Ibu yang memasak di pagi hari dan mencuci piring, sisanya menyapu dan mencuci pakaian saya kerjakan bersama Ade. Tapi karena Ade harus mengurusi Alinea dan Aira, jadilah urusan menyapu rumah dan mencuci pakaian saya ambil alih.

Nah, menyapu dan mencuci pakaian pun harus dilakukan setelah Alinea dan Aira tidur. Baiknya di malam atau subuh hari. Kenapa? Supaya minim gangguan dan tidak ada drama kepleset karena lantai licin.

Baca Juga: Kelahiran Alinea

"Hari Minggu, tidur seharian enak kali, ya."

Tadi di timeline Twitter ada melintas kalimat ini. Saya lupa kapan terakhir tidur di hari Minggu. Saya bahkan lupa kapan terakhir kali tidur seharian.

Untuk tidur malam rasanya sangat sulit dapat 7-8 jam. Untuk hal ini, Ade juga merasakan hal yang sama selama 3 tahun terakhir.

Baca Juga: Lahiran Anak Kedua

Menjadi orang tua, tidak ada jadwal liburnya. Tidak ada lagi ngopi atau jalan-jalan berdua ke toko buku bahkan ke mall. Selama 24 jam 7 hari ada 2 manusia kecil yang menempel dan membutuhkan kami.

Sialnya, tidak ada yang memberitahu kami tentang hal ini 🙃

Terakhir, tidak enaknya jadi bapak-bapak adalah saat melakukan perjalanan naik mobil.

Yang loading barang ke mobil adalah bapak. Yang menyetir adalah bapak. Yang menurunkan semua barang-barang dari mobil adalah bapak. Untungnya, urusan cuci mencuci mobil saya serahkan ke Car Wash saja.

Jadi, sambil menunggu mobil dicuci, saya bisa membuat tulisan ini hape.

***

Nih buat jajan